Dibalik cerita kelam dan kesalahan besar, ada luka yang tersembunyi mencari kesembuhan.
"Aku membelimu untuk menjadi wanita bayaranku seorang!" -Bara-
"Pilihanku menerima tawaranmu, dan perasaanku adalah resiko dari pilihanku sendiri " -Shafa-
*
Hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia malam hanya untuk pengobatan Ibunya. Lalu, bertemu seorang pria kaya yang membelinya untuk menjadi wanita bayaran miliknya seorang. Bisa terlepas dari dunia malam saja, dia sudah bersyukur dan menerima tawaran itu.
Namun, sialnya dia salah melibatkan hati dan perasaan dalam situasi ini. Mencintai pria yang membayarnya hanya untuk pemuas gairah saja.
Di saat itu, dia harus menerima kenyataan jika dirinya harus pergi dari kehidupan pria itu.
"Aku harus kembali pada istriku"
Dengan tangan bergetar saling bertaut, dada bergemuruh sesak dan air mata yang mulai menggenang, Shafa hanya mampu menganggukan kepalanya.
"Ya, aku akan pergi dari kehidupanmu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Perbedaan
Setelah memberi Ibu obat dan membiarkannya istirahat siang ini, Shafa langsung di tarik Bara ke kamar. Mengukung tubuh Shafa di balik pintu kamar yang tertutup sekarang. Tatapan lekat dari mata tajam itu, bola mata coklat yang selalu membuat Shafa tenggelam dalam tatapannya.
"Jadi, kenapa kau bilang jika aku adalah temanmu?" ucap Bara dengan senyuman tipis menggoda.
Shafa menghela napas pelan, mengalihkan pandangannya dari Bara. Takut dia tidak akan bisa menahan perasaannya sendiri.
"Aku tidak mungkin bilang jika kau adalah pria yang membayarku untuk sebuah gairah"
Bara terdiam, kedua tangannya yang menempel pada pintu kamar tiba-tiba mengepal kuat. "Aku tidak suka dengan ucapanmu barusan! Jangan pernah aku mendengarnya lagi!"
Shafa hanya terdiam melihat Bara yang berbalik meninggalkannya ke ruang ganti. Merasa bingung dengan sikap pria itu, terkadang dia marah hanya karena Shafa mengungkapkan kenyataan yang ada.
"Itu memang kenyataannya, kenapa juga dia harus marah dan tidak suka dengan ucpaanku?"
Shafa duduk di sofa di kamar itu, menunggu Bara keluar dari ruang ganti. Pria itu sudah berganti pakaian lebih santai sekarang, rambutnya masih setengah basah dengan handuk kecil di tangannya yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang basah.
"Keringkan rambutku"
Shafa tidak menjawab apapun, tapi dia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah Bara yang sudah duduk di depan meja rias. Shafa menyalakan alat pengering rambut dan mulai mengeringkan rambut Bara.
Sebenarnya aku sangat ingin menanyakan tentang Aura, tapi jika dia sendiri tidak berniat membahasnya. Aku tidak berani untuk membahasnya.
Shafa hanya memilih diam dan berpura-pura tidak tahu jika istrinya Bara sudah sadar. Shafa hanya menikmati masa-masa terakhir dirinya bisa bersama dengan Bara saat ini.
"Coba cium rambutku, apa wanginya sama dengan rambutmu?"
Shafa mengerutkan keningnya, menatap Bara bingung dari balik pantulan cermin di depan mereka. "Kenapa memangnya? Pasti wanginya sama, kan kita memakai shampo yang sama"
"Tetap aku merasa jika aroma rambutmu lebih harum daripada aku"
"Aneh, mana mungkin berbeda"
Shafa membungkukan wajahnya, mencium wangi rambut Bara. Dan seperti dugaannya jika aroma rambut mereka sama, karena mereka juga menggunakan shampo yang sama.
"Sama ah, aromanya sama"
"Iyakah? Coba aku mencium rambutmu"
Bara berbalik dan mencium kepala Shafa cukup lama dan itu cukup mengejutkan Shafa. "Wah, rambutmu memang lebih wangi. Mungkin karena kau memakai shampo lebih banyak"
Shafa mundur karena merasa terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Bara. Debar jantungnya semakin kencang.
"Sudahlah, kamu selalu membahas tentang aroma rambut"
"Karena rambutmu memang wangi"
Shafa tidak menjawab lagi, dia kembali duduk di sofa dan Bara mengikutinya. Mengangkat tubuh Shafa ke atas pangkuannya dengan mudah. Memeluknya dengan hangat.
"Tubuhmu semakin terasa ringan saja, apa kau tidak makan selama aku meninggalkanmu? Atau mungkin kau terlalu merindukanku?"
Shafa tidak menjawab, melihat Bara yang sekarang memegang tangannya dan mengukur lingkaran tangan Shafa dengan jarinya.
"Tanganmu juga semakin kecil saja, kau benar-benar tidak makan ya"
"Aku makan, kalau tidak makan aku akan mati kelaparan. Tapi memang tubuhku saja yang kecil"
Bara semakin erat memeluk tubuh Shafa yang duduk di atas pangkuannya. Mengecup bahunya dan menghirup aroma tubuh gadis ini.
"Tidak papa, tubuhmu pas juga untuk aku peluk"
Dan Shafa tidak menjawab apapun lagi, dia tahu apa yang Bara inginkan saat kecupan-kecupan di bahu dan lehernya sudah mulai menuntut lebih. Dan Shafa tidak akan menolak, karena dia di bayar untuk ini. Memuaskan Bara dalam gairahnya.
Dan tubuhnya akhirnya berbaring di sofa, pakainnya melayang begitu saja dan tergeletak sembarangan di lantai. Shafa hanya pasrah ketika Bara kembali melakukannya.
Sudut matanya mengeluarkan air, menangis dalam diam sambil menatap pria yang mencari kepuasan di atas tubuhnya sekarang.
Sampai ini berakhir, memang hanya ini posisimu. Kamu hanya jadi pemuas gairahnya saja.
*
Shafa keluar dari kamar saat hampir jam makan malam. Sudah selesai mandi, rambutnya pun masih setengah basah. Dia tertegun saat melihat Ibu yang berdiri tidak jauh darinya sekarang.
"Bu, sudah bangun ya"
Seketika seluruh tubuh Shafa terasa bergetar, hatinya gelisah takut jika Ibu mungkin curiga akan hubungan diantara dirinya dan Shafa.
"Kamu habis mandi ya, dari kamar itu? Bukankah itu ditempati Nak Bara tadi?"
Pertanyaan Ibu membuatnya benar-benar terdiam ketakutan. Berpikir keras untuk mencari alasan yang logis. Shafa harus bisa membuat Ibu tidak curiga lagi diantara dirinya dan Bara.
"Ya, aku hanya ikut mandi saja. Bara masih tidur kok"
Tatapan Ibu jelas menunjukan jika dia tidak percaya akan ucapan Shafa barusan. Karena sejatinya seorang Ibu selalu mempunyai insting yang kuat terhadap anaknya.
"Sini, Ibu mau bicara sama kamu" Ibu menarik tangan Shafa untuk duduk d sofa. "Sha, mungkin ada hal yang Ibu tidak tahu diantara kalian. Tapi, jika itu Bara, sebaiknya jangan. Dia memiliki dunia yang berbeda dengan kita, Sha. Seseorang yang kaya dan berhubungan dengan gadis biasa, hanya akan menimbulkan luka yang dalam. Karena sampai kapan pun, perbandingan dan perbedaanitu akan selalu menjadi hal utama di keluarga mereka"
Ini seperti pengalaman yang pernah Ibu alami. Dan dia tidak ingin jika anaknya harus terjerumus dengan hal yang sama. Dan ... tanpa Ibu ketahui, jika Shafa sudah terlalu jauh terjun ke dalam hal dan masalah yang sama seperti yang pernah dia lalui di masa lalu.
"I-iya Bu"
Jantungnya hampir berhenti berdetak. Shafa sangat takut jika Ibu tahu tentang kenyataannya, mungkin Ibu akan sangat marah dan kecewa padanya. Atau mungkin, Ibu akan kembali kambuh dalam kondisi mental yang terganggu seperti ucapan Dokter jika Ibu jangan sampai menemukan hal-hal yang terlalu mengejutkan dan akan mengganggu pikirannya.
"Yasudah, Ibu sudah memasak untuk makan malam. Ajak Nak Bara untuk makan bersama"
"Iya Bu"
Shafa kembali ke kamar, bertepatan dengan Bara yang baru keluar dari ruang ganti. "Em, Ibu minta aku untuk ajak kamu makan malam bersama"
"Oke, tunggu sebentar aku mau mengeringkan rambut dulu"
Shafa hanya mengangguk, ketika dia berbalik tiba-tiba ada rasa pusing yang begitu kuat. Penglihatannya yang buram, dan seketika berkunang-kunang. Shafa berpegangan pada dinding, mengusap hidungnya yang kembali mengeluarkan darah segar.
"Sha, kau baik-baik saja?"
Shafa langsung mnegendalikan dirinya, mengambil tisu di atas meja dan membersihkan hidungnya sebelum Bara menghampirinya.
"Tidak papa, ayo cepat Ibu menunggu kita" ucap Shafa yang langsung keluar kamar tanpa menoleh pada Bara.
Shafa menatap tisu di tangannya yang penuh dengan darah, membuatnya hanya menghela napas pelan.
"Sha, kamu kenapa? Pucat sekali" ucap Ibu.
Shafa mengerjap pelan, dia menyembunyikan tisu itu di belakang tubuhnya. "Tidak papa Bu, mungkin karena aku lapar"
"Cepatlah makan, kau ini punya maag jangan sampai kambuh karena telat makan"
"Iya Bu"
Bersambung
thour buat ibu Rani sehat kembali dan shafa semoga mendapatkan pengobatan terbaik💪💪💪💪🥰🥰🥰🥰