Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Apakah Damar Marah?
Pagi itu Stasia bangun seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan untuk Ares, menemaninya makan, lalu bersiap mengantarnya sekolah sebelum berangkat ke kantor. Namun ada yang berbeda hari ini. Sebuah pesan singkat dari Damar masuk di ponselnya: ia tidak bisa menjemput Stasia dan berangkat bersama.
Stasia terdiam menatap layar. Selama ini, apapun kesibukannya, Damar selalu mengusahakan untuk berangkat bersama mereka—bahkan sekadar mengantar Ares ke sekolah. Ada sesuatu yang janggal.
“Ma, kenapa Papa nggak antar Ares sekolah?” tanya Ares polos dari kursi belakang taksi.
“Papa lagi sibuk, Sayang,” jawab Stasia sambil mengelus kepala Ares. “Lagi pula besok weekend. Nanti kita tanya Papa, mungkin Papa mau ajak kita main.”
“Baik, Ma…” Ares mengangguk, meski wajahnya terlihat sedikit kecewa. Anak itu memilih diam, tidak ingin membuat Stasia tambah pusing.
Stasia bisa merasakannya, dan hatinya ikut berat. Ingatannya melayang pada percakapannya bersama Damar semalam, sebelum Damar pulang dari apartemen Stasia.
Flashback
“Sayang, apa kamu mau menikah denganku?” suara Damar terdengar serius.
Stasia terkejut. Tak lama kemudian ia menenangkan hatinya dan tersenyum. “Apa kamu melamarku sekarang?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Lamaran macam apa ini? Kenapa nggak ada bunga? Kamu sama sekali nggak romantis,” godanya sambil terkekeh berusaha menutupi kegugupannya.
Damar menatapnya sebentar. “Jadi kamu mau lamaran romantis?”
“Tentu saja. Perempuan mana yang nggak suka lamaran romantis?”
Damar hanya terdiam. Wajahnya sempat berubah, tapi Stasia tak terlalu memikirkan saat itu. Karena perasaan senangnya benar-benar membuatnya harus bisa mengontrol diri.
Flashback off
Stasia menghela napas panjang di dalam taksi. Apa dia marah karena aku nggak langsung bilang iya? pikirnya.
“Mama…” suara kecil Ares membuyarkan lamunannya. “Ares udah sampai. Mama melamun, ya?”
Stasia tersentak. Mereka sudah tiba di depan sekolah. “Ah, nggak kok. Mama cuma mikirin pekerjaan. Ares sekolah yang pintar ya. Jangan pulang kalau bukan supir nenek yang jemput.”
“Siap, Mama!” seru Ares ceria sebelum berlari masuk.
Stasia melanjutkan perjalanan ke kantor. Sesampainya di lobi, ia berjalan menuju lift. Dan di sanalah ia dikejutkan oleh pemandangan yang tak diduganya—Damar sudah ada di dalam, berdiri bersama beberapa pegawai Starlight.
Dengan ragu, Stasia ikut masuk. Ia berdiri di dekat Damar, berharap sekilas sambutan atau tatapan hangat. Biasanya, di dalam lift, pria itu selalu punya cara untuk menggodanya, mulai dengan menarik ujung pakaiannya, menyentuh jarinya diam-diam, atau sekadar menyenggol kakinya.
Tapi kali ini berbeda. Damar hanya diam, fokus pada tablet di tangannya. Seolah Stasia hanyalah orang asing.
Hingga pintu lift terbuka di lantai tempat kerjanya, Stasia melangkah keluar. Ia sempat menoleh sekilas, berharap Damar setidaknya menatapnya. Namun tidak. Damar tetap menunduk, matanya tak lepas dari layar tab.
Seketika dada Stasia terasa sesak.
Sepanjang hari, Stasia tidak bisa tenang. Pikirannya terpecah, pekerjaannya berantakan. Sejak pagi Damar tidak memberi kabar apa pun. Tidak ada pesan singkat, tidak ada panggilan, bahkan di lift tadi pun pria itu bersikap seolah tak mengenalnya.
Biasanya, jam makan siang Damar selalu menanyakan kabar, entah bertanya apakah ia sudah makan, atau sekadar menggoda dan menanyakan menu kantin hari ini. Namun kali ini hening. Hening yang membuat dada Stasia semakin sesak.
Menjelang jam pulang, ponselnya tetap kosong. Tidak ada pesan dari Damar. Stasia menimbang—haruskah menunggu dan berharap mereka pulang bersama, ataukah lebih baik ia sendiri saja? Akhirnya, ia memilih menyerah setelah beberap menit duduk terdiam sendiri di lobi kantor. Ia memutuskan untuk pulang sendiri.
Sore di apartemen juga masih tak bisa menghilangkan gelisah yang merayapi perasaan Stasia. Benar-benar tidak ada pesan ataupun panggilan dari Damar. Berulang kali ia melihat layar ponselnya, nyatanya masih sama.
Stasia tak ingin berlarut, ia harus segera menyelesaikan masakannya, dengan harapan Damar datang dan ikut makan malam bersama lagi. Dan dengan begitu mereka bisa memiliki banyak waktu mengobrol lagi.
Ting tong.
Bel apartemen berbunyi. Stasia bergegas membuka pintu dengan harapan tinggi. Di sana berdiri Ares bersama Mama Rini.
“Lho, Tante kok bersama Ares?” Stasia agak heran.
“Tadinya Tante mau ke sini sendiri. Eh, di lobi malah ketemu cucu ganteng ini.” Mama Rini terkekeh sambil menggandeng Ares.
“Masuk dulu, Tante,” ucap Stasia mempersilakan.
“Ayo, Oma, kita masuk!” seru Ares riang.
Mereka duduk di ruang tamu. Stasia segera menyuguhkan teh serai hangat yang baru saja dibuatnya.
“Kebetulan aku bikin teh serai, Tante.”
“Wah, pas sekali. Harum sekali.” Mama Rini menyeruputnya, lalu tersenyum puas. “Hmm, ternyata memang enak.”
“Terima kasih, Tante. Oh ya, apa Tante ada perlu dengan Stacy?”
Mama Rini meletakkan cangkirnya. “Iya, Tante ke sini mau minta izin ke kamu, tante mau ajak Ares.”
Stasia mengernyit. “Ajak ke mana, Tante?”
“Hanya makan malam sekaligus berlibur di Vila keluarga kita. Tempatnya di dekat pantai. Tante yakin Ares pasti suka. Sekalian besok weekend, biar dia senang-senang berlibur di pantai.”
“Makan malam dan liburan di pantai, Oma?” Mata Ares berbinar. “Ares mau, Oma! Boleh kan, Ma?”
Stasia menatap putranya yang begitu bersemangat. Senyum tipis terbit di wajahnya. “Boleh, Sayang, asalkan Ares nggak nyusahin Oma.”
“Siap, Mama! Ares janji jadi anak pintar.”
"Ah... Manis sekali cucu kesayangan Oma ini..."
Stasia tersenyum hangat melihat bagaiamana Mama Rini memperlakukan Ares dengan baik meski sebenarnya mereka tidak ada hubungan darah.
Atas izin Stasia, Ares akhirnya benar-benar pergi bersama Mama Rini.
Begitu pintu menutup, sunyi kembali menyelimuti apartemen. Stasia duduk memandangi ruang yang biasanya ramai dengan tawa anaknya atau ocehan ringan Damar. Kini hanya sepi.
Beberapa jam kemudian, setelah makan malam sendiri, Stasia berniat masuk kamar lebih awal. Namun bel pintu kembali berbunyi.
Ting tong.
Ia menghentikan langkah, sedikit heran. Siapa lagi malam-malam begini, apakah itu Damar?
Saat pintu terbuka, Stasia terperangah.
“Pak Abas? Kenapa malam-malam ke sini?”