“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS26
Roda kereta kuda berhenti tepat di depan sebuah rumah tak seberapa luas, jauh dari kata mewah, namun masih layak untuk dihuni.
Di halamannya yang kecil, tumbuh beberapa jenis tanaman sederhana — thyme yang merambat di antara bebatuan, daun parsley yang segar menghijau, dan rumpun mint dengan aroma khasnya yang menenangkan. Di sisi kiri, pohon delima berdiri kokoh, buahnya mulai memerah di antara dedaunan. Sementara di dekat pagar kayu, pot-pot berisi rosemary dan oregano tersusun seadanya.
Dari dalam kereta, Yasmin menyingkap tirai dan mengintip ke luar. Keningnya seketika berkerut melihat pemandangan di hadapannya, terlalu sederhana untuk matanya yang terbiasa dengan kemewahan istana.
“Aku ditempatkan di sini? Di rumah kumuh seperti ini?!” desis Yasmin. “Yang benar saja, ini penghinaan namanya!”
Ia lekas turun dari kereta, tatapannya menyapu sekitar dengan wajah tak percaya. Di belakangnya, Safiye tergopoh-gopoh memanggul barang-barang berat, hampir tersandung saat mencoba mengejar langkah cepat hatunnya.
“Kenapa kau lamban sekali, Safiye?!” Yasmin menoleh ke belakang, menatap sengit sang dayang. “Cepat bersihkan gubuk reyot ini! Aku ingin segera beristirahat. Pinggang ku nyaris patah karena tiga hari duduk di kereta tanpa henti!”
Safiye mengangguk lesu, memeluk tumpukan barang di pelukannya. ‘Apa dia kira, hanya dia yang lelah? Kami semua juga sama lelahnya,’ gerutunya di dalam hati.
Selama tiga hari perjalanan, Safiye merasa seolah hidupnya dikutuk di dalam kereta itu. Setiap kali roda berdecit di bebatuan, mulut Yasmin pun tak pernah berhenti mengoceh—mengeluh tentang panas, debu, makanan, bahkan cara Safiye bernapas pun sempat jadi bahan omelan. Tidurnya tak pernah nyenyak, setiap kali matanya terpejam, suara nyaring Yasmin segera membangunkannya.
‘Jika bukan karena takut pada hukuman, sejak hari pertama aku pasti sudah meloncat keluar dari kereta!’
...***...
Ibu Suri baru saja tiba di istana, debu perjalanan masih menempel di ujung jubahnya. Ia memutuskan pulang setelah mendapatkan kiriman surat dari Zeynep Hatun tentang serentetan kejadian di dalam harem.
Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju kamar Esma, ditemani dua pelayan tua yang setia menuntun jalannya. Begitu pintu kamar dibuka, napasnya seakan tertahan di tenggorokan. Matanya membulat, bergetar, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
“Esma?” Ia menilik wajah istri sirri putranya. Bengkak, memar, terdapat beberapa luka — kecantikannya benar-benar hilang.
Melihat kedatangan Ibu Suri, Esma hendak bangkit menyambut. Namun, Ibu Suri buru-buru melarang.
“Jangan. Kau belum sembuh,” ucapnya tegas. Ia kemudian duduk di tepi ranjang, meraih jemari Esma dan menggenggamnya erat. “Bagaimana keadaanmu?”
“Hamba masih perlu banyak istirahat sampai bulan keempat, Ibu Suri.” Esma menjawab pelan sambil mengelus perutnya yang masih datar.
Melihat hal itu, senyum tipis terbit di bibir Ibu Suri. “Aku sudah mendengar kabar itu. Selamat atas darah dinasti yang dititipkan di rahimmu, Esma. Jagalah dengan baik,” ujarnya penuh wibawa.
Esma mengangguk lembut, “Hamba berterima kasih atas ucapan Anda, Ibu Suri. Hamba akan menjaga amanah ini dengan segenap jiwa.” Esma menundukkan kepalanya sedikit, menunjukkan rasa hormat.
Senyum Ibu Suri semakin melebar, memancarkan kelegaan dan kebahagiaan yang tulus. Genggamannya pada jemari Esma semakin erat, seolah menyalurkan kekuatan dan harapan.
“Kabar ini adalah anugerah yang tak ternilai bagi kita semua. Sudah lama istana ini merindukan tangisan bayi, dan kini, harapan itu ada di dalam rahimmu,” katanya lembut.
Ibu Suri bangkit dari duduknya, lalu memberi isyarat kepada kedua pelayan setianya. “Siapkan segala sesuatu yang terbaik untuk Esma. Kamarnya harus dipenuhi dengan kehangatan dan kenyamanan. Panggilkan tabib terbaik untuk memastikan kesehatannya dan bayi yang dikandungnya.”
Ia kembali menatap Esma dengan mata berbinar. “Kita akan merayakan berita bahagia ini sesuai dengan tradisi kerajaan. Akan ada pesta kecil di harem, doa-doa untuk keselamatanmu dan bayi, serta hadiah-hadiah yang pantas untuk seorang calon ibu.”
Ibu Suri mendekat dan mengelus lembut perut Esma. “Darah dinasti ini akan menjadi penerus kejayaan kita. Jaga baik-baik, Esma. Jaga baik-baik.”
Mata Esma berkaca-kaca mendengar ucapan Ibu Suri.
“Hamba sangat berterima kasih atas segala perhatian dan kebaikan Anda, Ibu Suri. Hamba merasa terhormat menjadi bagian dari perayaan ini. Hamba akan melakukan yang terbaik untuk menjaga amanah ini, demi kejayaan dinasti dan kebahagiaan Ibu Suri.”
Esma mencoba tersenyum, meskipun bibirnya masih terasa perih. Ia membayangkan pesta kecil di harem, doa-doa yang dipanjatkan untuknya dan bayinya, serta hadiah-hadiah yang akan diterimanya. Semua itu membuatnya merasa lebih kuat dan bersemangat.
“Hamba akan mengikuti semua saran dan perintah Ibu Suri,” lanjut Esma dengan nada yang lebih percaya diri. “Hamba siap menerima segala persiapan dan perawatan yang akan diberikan. Hamba yakin, dengan dukungan Ibu Suri, hamba akan mampu melewati masa-masa sulit ini dan melahirkan seorang penerus yang sehat dan kuat.”
Esma menundukkan kepalanya sedikit, kembali menunjukkan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam. Ia merasa beruntung memiliki Ibu Suri yang begitu perhatian dan bijaksana. Ia berjanji dalam hati, akan membalas semua kebaikan itu dengan menjaga amanah yang telah dipercayakan kepadanya.
...***...
“Apakah dia tiba dengan selamat?” tanya Rustum Pasha pada sosok pria berbusana serba hitam, separuh wajahnya tertutup kain.
Pria tersebut mengangguk. “Yasmin baru tiba sore ini di tempat pengasingan. Apa kita perlu mengirim bantuan sekarang, Pasha?”
Manik Rustum menyipit, menoleh sengit pada sosok kepercayaannya. “Tidak perlu. Biarkan saja dia di sana. Biarkan saja dia menjalani hukumannya sampai tiba waktunya ia melahirkan. Anak bodoh itu selalu saja menyusahkan. Gara-gara dia, aku terkena imbasnya sekarang!”
Pria tak lagi muda itu kembali murka mengingat mühr-i hümayun yang harus ia kembalikan kepada kerajaan. Dan demi melampiaskan amarahnya, ia pun memberi titah.
“Malam ini kumpulkan para orang kita, kirim mereka ke perbatasan utara—lakukan serangan kecil, ganggu rute pasokan, bakar beberapa gudang, dan culik beberapa kafilah sebagai sandera.”
Sosok berbusana hitam itu mengangguk patuh tanpa berani mengangkat wajah. Ia segera berbalik, melangkah cepat meninggalkan ruangan untuk melaksanakan titah sang tuan. Sementara itu, Rustum Pasha tersenyum lebar, membayangkan kekacauan di perbatasan yang kelak akan membuat tidur Bey Murad tak tenang.
“Inilah akibatnya karena kau berani mempermalukan aku, Murad!”
*
*
*