bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Cahaya matahari menerobos masuk melalui sela tirai kamar. Jonathan berdiri di depan jendela kamar mereka, memandangi halaman kecil yang mulai dipenuhi cahaya. Di tangannya, secangkir kopi yang sudah dingin. Ia belum menyesapnya sama sekali.
Nadia masih tertidur, wajahnya tampak damai. Jonathan menarik napas panjang. Malam tadi ia tak bisa tidur. Kata-kata ibunya terus terngiang. Tentang warisan. Tentang tanggung jawab darah. Tentang masa depan anak mereka.
Ketika Nadia bangun, ia mendapati Jonathan sudah mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, terlihat lebih formal dari biasanya.
“ Mas mau ke kampus sepagi ini?” tanya Nadia sambil duduk dan mengusap matanya.
Jonathan menoleh.
“Nggak. Aku mau ke kantor Papa.”
Nadia mengernyit. “Kantor Papa?”
Jonathan berjalan pelan dan duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya.
“Aku sudah pikirkan semalam. Mungkin... ini waktunya aku berubah arah. Demi kamu. Demi anak kita.”
Nadia terdiam. Wajahnya sulit dibaca, antara bingung dan khawatir.
“ Mas... kamu yakin?” bisiknya.
Ia mengangguk.
“Aku tidak menyerah pada mimpi, hanya menundanya sebentar. Aku akan belajar menjalankan perusahaan itu dengan caraku. Dan kalau nanti aku bisa membentuk sistem yang baik, mungkin aku masih bisa mengajar... sambil tetap pegang kendali dari jauh.”
Nadia menarik napas dalam. Ia tahu, keputusan ini bukan hal kecil bagi Jonathan. Tapi ia juga tahu, suaminya bukan pria yang mudah dikendalikan. Kalau ia memutuskan menerima, pasti ada rencana besar di baliknya.
“Aku akan selalu dukung kamu, apapun keputusanmu.”
Jonathan tersenyum, mencium punggung tangan Nadia. “Terima kasih, Sayang.”
...
Hari itu, Jonathan datang ke gedung pusat PT Nusa Nikel Mandiri. Sebuah gedung tinggi dengan logo emas besar menghiasi lobi. Karyawan berlalu-lalang dengan langkah cepat. Beberapa dari mereka melirik pria jangkung yang berjalan bersama asisten ayahnya menuju ruang direksi di lantai 20.
Di ruang rapat luas, Sigit, Lidya, dan beberapa jajaran direksi senior sudah menunggu. Ketika Jonathan masuk, ruangan itu langsung hening.
Sigit berdiri dan menyambutnya dengan jabat tangan hangat.
“Selamat datang di medan sebenarnya, Nak.”
Lidya hanya mengangguk kecil.
“Semoga kamu bisa membuktikan keputusan kami tak salah.”
Jonathan duduk, matanya menatap lurus ke arah papan presentasi.
“Aku terima tawaran ini. Aku akan belajar. Tapi izinkan aku memilih timku sendiri. Aku ingin membangun sistem manajemen yang profesional, bukan sekadar pewarisan kekuasaan.”
Beberapa direksi tampak saling pandang, sedikit terkejut dengan ketegasan Jonathan.
Sigit tersenyum bangga. “Itu yang Papa harapkan darimu.”
Dalam hitungan hari, berita bahwa Jonathan Aditama, mantan dosen dan akademisi muda, ditunjuk sebagai Presiden Direktur baru PT Nusa Nikel Mandiri, tersebar di media. Banyak yang terkejut, banyak pula yang penasaran.
...
Di rumah, Nadia melihat berita itu di ponselnya. Ada foto Jonathan sedang berdiri di depan podium, memberikan pernyataan singkat kepada media. Wajahnya tenang, karismanya memancar.
Ia tersenyum. Dalam hatinya, ada harapan besar. bahwa Jonathan akan mengubah sistem lama menjadi sesuatu yang baru. Dan bahwa kelahiran anak mereka nanti akan menjadi awal dari masa depan yang jauh lebih kuat.
Namun jauh di sudut ruang rapat gedung yang megah itu, Lidya menatap putranya dari kejauhan. Tatapannya penuh pertimbangan.
Semoga kau cukup kuat, Jonathan.
Karena dunia ini... tak pernah sesederhana idealismemu.
...
Hari pertama Jonathan bekerja secara resmi sebagai Direktur Utama PT Nusa Nikel Mandiri dimulai dengan formalitas khas dunia korporat: penyambutan staf senior, tinjauan portofolio, dan pengenalan terhadap struktur organisasi. Namun, ada satu kejutan yang tidak diberitahukan sebelumnya.
“Pak Jonathan, ini sekretaris baru Bapak,” ujar Adrian, asisten pribadi lama keluarga Aditama, sambil mempersilakan seorang wanita masuk ke ruang kerja Jonathan.
Wanita itu melangkah anggun. Rambut cokelat gelapnya dikuncir rapi, bibir merahnya membentuk senyum sopan.
“Selamat pagi, Pak Jonathan. Saya Jessica Ardelia.”
Jonathan mengangguk singkat. “Silakan duduk.”
Jessica membuka iPad-nya dan mulai memaparkan jadwal harian Jonathan dengan tenang, efisien, dan terorganisir. Tidak ada gerakan berlebihan, tidak ada basa-basi yang berlebihan. Ia bekerja cepat dan tepat.
Meski begitu, Jonathan langsung tahu: ini bukan sekadar penempatan profesional. Ibunya pasti punya andil di balik ini.
Dan benar saja. Sore harinya, Lidya menelepon.
“Bagaimana kesanmu tentang Jessica?” tanya Lidya dari seberang telepon.
Jonathan memutar kursinya menghadap jendela. “Profesional. Kompeten.”
Lidya terkekeh kecil. “Bukan cuma itu yang harus kamu lihat. Dia anak sahabat Mama. Cerdas, santun, dan satu kelas sosial dengan kita.”
“Mama…” Nada suara Jonathan terdengar mengeras. “Aku sudah menikah.”
Suara Lidya mendadak dingin. “Dan Mama tidak pernah setuju pernikahanmu dengan Nadia.”
Jonathan menghela napas. “Terlambat, Ma. Dia istriku. Ibu dari anakku.”
“Belum terlambat kalau kamu sadar kamu sedang membuat kesalahan besar,” balas Lidya tajam.
...
Hari-hari berlalu. Jessica tetap menunjukkan profesionalismenya. Ia mengatur jadwal Jonathan dengan rapi, mengoordinasikan rapat, menyiapkan dokumen-dokumen penting, bahkan menggantikan tugas beberapa staf yang lalai. Semua mata di kantor mulai mengaguminya.
Namun, Jonathan tetap dingin. Sikapnya selalu netral, tanpa celah untuk keintiman.
Saat Jessica memberanikan diri menawarkan makan siang bersama untuk mendiskusikan jadwal konferensi luar negeri, Jonathan hanya menjawab singkat,
“Terima kasih. Tapi saya lebih suka makan sendiri.”
Di balik ketenangan wajahnya, Jessica tahu:
pria ini tidak akan mudah disentuh.
...
Malam itu, Jonathan pulang lebih larut dari biasanya. Lampu-lampu rumah sudah diredam, hanya cahaya temaram dari ruang tamu yang menyala. Di sofa, Nadia tertidur dengan posisi duduk, selimut kecil menutupi kakinya yang menggigil. Di sampingnya, buku panduan kehamilan terbuka separuh.
Jonathan mendekat, menatap istrinya dalam diam. Ada rasa bersalah yang menyeruak. Dunia yang baru ia masuki bukan hanya menuntut waktu, tapi juga perhatian yang seharusnya tetap dimiliki Nadia.
Perlahan, ia mengangkat tubuh Nadia dan membawanya ke kamar. Saat menyelimuti tubuh istrinya, tangan Nadia meraih jemarinya, meski matanya masih tertutup.
“Mas capek ya?” gumam Nadia pelan.
Jonathan mengecup keningnya.
“Sedikit. Tapi melihat kamu begini... bikin capeknya hilang.”
Nadia membuka mata, menatap suaminya. “Aku bangga sama Mas... Tapi kalau suatu hari dunia mereka terlalu keras, jangan lupakan dunia kecil kita di rumah ini.”
Jonathan mengangguk. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu: menjaga dunia kecil itu akan jadi perjuangan tersendiri
Jonathan berlalu ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Meski. Air hangat dari pancuran belum mampu meluruhkan penat yang menggumpal sejak pagi. Tapi kini, di kamar yang remang dengan aroma tubuh istrinya yang akrab dan napasnya yang tenang, Jonathan merasa beban itu perlahan mengendur.
Ia menarik selimut, menyelubungi tubuh mereka berdua, lalu memeluk Nadia dari belakang. Tangannya meraba perut sang istri yang mulai membuncit. tanda kehidupan baru yang tumbuh perlahan. Ia mengelusnya pelan, penuh syukur, penuh harapan.
“Ayah di sini,” bisiknya, seolah berbicara langsung pada calon buah hatinya. “Tumbuhlah dengan baik, Nak. Jangan buru-buru besar. Biar Ayah belajar dulu, biar Ayah jadi cukup kuat untuk jadi pelindungmu.”
Nadia menggeliat kecil, masih dalam lelap, namun tangannya terulur meraih jemari Jonathan, menggenggamnya erat. Sebuah isyarat sederhana, tapi cukup untuk meneguhkan hati yang sempat goyah.
Kesunyian menyelimuti kamar. Hanya detak jarum jam dan ritme napas mereka yang terdengar. Jonathan menutup mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan rumah yang selama ini mungkin terlalu ia abaikan.
Dalam pelukannya, ada cinta yang tumbuh. Dalam perut istrinya, ada kehidupan yang menanti. Dan dalam pikirannya, masih ada perang panjang yang harus ia hadapi, antara dunia luar yang penuh intrik dan dunia kecil ini yang ia ingin jaga seutuhnya.
Namun malam itu, Jonathan memilih untuk diam dan larut dalam pelukan. Karena esok, medan tempur akan kembali menantinya. Tapi untuk malam ini… biarkan dunia menunggu.
salut sma Thor pinter bngt. di buat kbakaran jdi Bella gda tempat tinggal lgi klu kebakran...
gda alasan Ntuk Bella bertahan di gubuknya...
Kevin pasti bwa Bella ke kota🥰
smoga kelak Tuhan mmngganti brkali lipat bahagia untukmu bella... atas smua luka dan duka yg km rsakn slm ini...