BOCIL HARAP MENEPI DULU.
*
"
Valencia Remi, seorang gadis muda usia 19 tahun dari desa. Dia memiliki rambut hitam panjang dan mata coklat yang indah. Senyumnya manis dan lembut, membuat semua orang jatuh cinta pada-nya. Cia Pergi ke kota jakarta untuk mengejar impian kuliah di universitas.
*
Cia berteman dengan seorang yang sudah lama tingal di jakarta dan memperkenalkan Kehidupan malam kota yang glamor.
*
Cia mulai terjebak dalam pergaulan bebas dan mengenal Aksa yang menawarkan Kehidupan mewah.
*******
"Jadi Cewek Gue, makan seluruh kehidupan Lo....Gue yang tanggung." Kata Aksa.
*
"Kamu tau kan ? Aku sudah punya pacar." Jawab Cia.
*
*
Penasaran dengan pilihan Cia ? Yuk ikuti kisahnya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Hari pernikahan
0o0__0o0
Langit Jakarta malam itu bagaikan lukisan. Lampu-lampu kota berpendar, seakan ikut merayakan kebahagiaan dua hati yang bersatu. Di sebuah hotel bintang lima yang megah, ballroom telah disulap menjadi taman surgawi di hiasi bunga mawar putih, lily, dan cahaya lilin yang berkilauan.
Ery berdiri di balik pintu besar ballroom, tangannya sedikit bergetar. Gaun pengantin putih yang ia kenakan begitu indah, panjangnya menyapu lantai, dihiasi renda yang berkilau setiap kali terkena cahaya lampu kristal.
Ery menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Di sisinya, ada Cia sahabat sejak kuliah, yang kini menjadi bridal mask untuknya.
“Tenang, Er… ini harimu. Semua mata akan melihat mu, dan mereka akan tahu betapa cantiknya kamu,” bisik Cia sambil merapikan veil yang jatuh di bahu sahabatnya. Senyumnya tulus, penuh kehangatan.
Ery menggenggam tangan Cia sebentar, “Kalau kamu tidak di sini, aku pasti sudah gemetar habis-habisan.”
“Justru karena itu aku di sini. Sekarang… lihat ke depan. Bastian sedang menunggu mu.”
Pintu ballroom perlahan terbuka. Alunan musik lembut memenuhi ruangan. Semua kepala menoleh. Dan di ujung karpet merah, Bastian berdiri dengan tuxedo hitam klasik, matanya tak pernah lepas dari sosok yang berjalan menuju ke arah dirinya.
Tatapan mata Bastian begitu hangat, penuh cinta, membuat dada Ery bergetar. Setiap langkahnya terasa seperti tarian kecil menuju takdir.
Ketika akhirnya mereka berdiri berhadapan, Ery melihat binar di mata Bastian yang hampir membuat-nya menangis.
“Kamu cantik sekali…” bisik Bastian lirih, meski musik masih mengalun.
Ijab kabul berlangsung khidmat, doa-doa di panjatkan, dan ketika sah akhirnya terucap, tepuk tangan serta sorak bahagia memenuhi ballroom. Ery merasa dadanya penuh, seolah dunia berputar hanya untuk momen itu.
Resepsi pun dimulai. Tamu-tamu menikmati hidangan mewah, sementara Ery dan Bastian menerima ucapan selamat satu per satu dari tamu undangan.
Namun di balik semua kilau pesta, Cia tetap hadir diam-diam memperhatikan sahabat-nya, merapikan gaunnya, memastikan senyumnya tetap indah di setiap potret.
Dan ketika tarian pertama dimulai, Bastian menarik Ery ke tengah panggung. Cahaya lampu sorot jatuh pada mereka berdua. Musik orkestra mengalun, dan dunia seakan berhenti.
“Terima kasih sudah datang ke hidupku,” ucap Bastian lembut, suaranya bergetar di telinga Ery.
Ery tersenyum dengan air mata kebahagiaan. “Dan terima kasih karena memilih ku, di antara semua wanita di dunia.”
Mereka menari dalam pelukan, sementara Cia berdiri di tepi panggung. Hatinya dipenuhi rasa haru bukan hanya karena menyaksikan cinta yang begitu murni.
Tetapi juga karena ia tahu, di balik senyum Ery yang kini bersinar, ada sedikit bagian kecil dirinya yang ikut menjaga, menguatkan, dan memastikan semua indah pada waktunya.
Di antara ratusan tamu yang hadir malam itu, ada empat sosok yang tak kalah menonjol. Rava, Jefri, Aksa, dan Lexa sahabat-sahabat terdekat Bastian sejak masih piyik.
Mereka ber-empat duduk di barisan depan, mata mereka tak pernah lepas dari momen sakral yang sedang berlangsung di depan matanya.
Rava, dengan senyum tipis, menatap sahabatnya penuh bangga. Ia adalah yang paling serius di antara mereka, dan dalam hatinya ia tahu, malam ini adalah titik balik hidup Bastian.
Jefri, si humoris, sesekali menahan diri agar tidak melontarkan candaan, meski hatinya melonjak bahagia. Baginya, Bastian yang dulu sering bercerita tentang “wanita yang membuatnya jatuh cinta” kini telah benar-benar menemukan rumah.
Aksa, dengan wajah datar'nya merasa terharu, ia tahu perjalanan cinta sahabatnya tak selalu mudah.
Sedangkan Lexa, si paling angkuh, Menatap Bastian dengan tatapan yang sulit di artikan.
Ketika pengumuman itu terdengar, keempatnya berdiri serentak, memberi tepuk tangan paling keras.
“Akhirnya, Bastian soul out!” seru Jefri sambil menepuk bahu Rava, yang hanya tersenyum sambil meepuk singkat punggung tangan Jefri.
Saat resepsi dimulai, mereka bergantian menghampiri Bastian dan Ery. “Bro, lo resmi jadi suami sekarang. Jangan lupa, kita saksi hidupnya,” kata Jefri sambil tertawa, meski suaranya terdengar parau menahan haru.
“Gue bangga sama lo, Bas. Lo pantas dapetin bahagia ini,” ucap Rava, singkat tapi penuh makna.
Aksa menambahkan, “Jaga dia baik-baik. Karena kalau enggak, kita berempat siap jadi pengawal Ery.”
Mereka tertawa bersama, dan Lexa, tanpa ragu, memeluk Bastian erat. Dan Bastian membalas pelukan itu sama erat-nya.
Ery yang berdiri di samping, hanya bisa tersenyum bahagia melihat bagaimana suaminya begitu di cintai oleh orang-orang terdekatnya. Ia tahu, sahabat-sahabat ini adalah keluarga kedua bagi Bastian, dan kini, secara tidak langsung, juga keluarga-nya.
Dari kejauhan, Cia mem-perhatikan pemandangan itu. Ia tersenyum lega, karena Ery kini bukan hanya memiliki Bastian, tetapi juga lingkaran sahabat yang akan selalu menjaga mereka.
Dan ketika musik orkestra kembali mengalun, Ery dan Bastian melangkah ke tengah untuk tarian pertama mereka. Rava, Jefri, Aksa, dan Lexa berdiri, memberi tepuk tangan meriah, seolah dunia ikut menari bersama cinta yang malam itu di ikrarkan.
Malam itu tak hanya jadi milik dua insan, tetapi juga perayaan persahabatan, cinta, dan janji setia yang akan mereka kenang seumur hidup.
0o0__0o0
Kini iris mata Cia dan Aksa saling bertubrukan, Cia melihat Aksa begitu tampan dan gagah dengan balutan jas berwarna silver, sama seperti yang ia kenakan.
Cia dan Aksa saling mengunci dengan tatapan dalam, saling menyiratkan perasaan yang saat ini mereka rasakan. Dan hari ini mereka berdua saling beradu tatapan setelah 1 Minggu tidak komunikasi dan bertemu, pasca ke pantai.
Cia langsung mundur, berbalik mengambil segelas minuman untuk menyegarkan tenggorokan-nya yang terasa kering. Ia duduk Lalu menegak-nya dengan rakus.
Dalam diam Cia bertanya-tanya, ia merasa Aksa seperti berubah, seakan sengaja menjauh dan menjaga jarak dari-nya. Dan itu membuat Ia gelisah, tak tenang, selama seminggu ini.
Dari kejauhan Aksa tetap memperhatikan gadis-nya dengan tatapan mata elang-nya. Sebelum meninggalkan arena kerumunan acara sang sahabat.
Ting...!
Bunyi pesan masuk, Cia langsung membuka hp yang ada di genggaman tangan-nya. Dan ternyata itu pesan dari Aksa yang menunggu dirinya.
"Aku tunggu di rooftop" Isi pesan dari Aksa.
Deg..!
Seketika jantung Cia berdetak kencang, ia baru ingat dengan ucapan Aksa seminggu lalu. Dan sekarang sudah jam 24.00, di mana waktu yang akan menentukan hubungan keduanya, mau di bawah kemana.
Cia meng-genggam erat ponselnya, lalu membuang nafas'nya dalam-dalam. Ia berdiri dan melangkahkan menuju lift untuk menuju rooftop hotel. Detik-detik terasa panjang. Dan tepat ketika jarum jam melewati jam 12 malam.
0o0__0o0
Pintu rooftop berderit terbuka, angin malam langsung menyambut dingin. Cia melangkah masuk dengan hati berdegup kencang, gaun sederhana-nya berkibar pelan diterpa angin.
Pandangan-nya langsung tertuju pada sosok pria tinggi yang berdiri di dekat pagar, menatap lampu-lampu kota Jakarta yang berkilauan.
“Aksa…” panggilnya pelan. Suaranya bergetar, nyaris kalah oleh suara angin.
Aksa menoleh, matanya menatap Cia dengan intens, seakan menembus lapisan terdalam hatinya. Ia melepas jas yang di kenakannya dan tanpa berkata-kata langsung menyampirkan di pundak Cia.
“Kamu dingin,” ucapnya singkat, namun suaranya berat.
Cia menggenggam jas itu erat, lalu menatap wajahnya. “Kamu… kenapa ngajak aku ke sini malam-malam? Setelah seminggu… kamu hilang tanpa kabar. Kamu tahu aku gelisah?”
Aksa hanya terdiam, matanya terus mengunci tatapan Cia.
“Kenapa kamu berubah, Sa ? Kamu menjauh. Kamu bikin aku bingung. Kalau ada apa-apa, kenapa nggak bilang langsung ke aku ?” Suara Cia meninggi, bercampur resah.
“Aku nggak suka kamu tiba-tiba pergi kayak gitu, terus sekarang tiba-tiba ngajak ketemu di jam segini…”
Aksa akhirnya bergerak, langkah-nya mendekat perlahan hingga jarak mereka hanya sejengkal. Tatapan-nya tajam, rahangnya menegang.
“Valen…kamu nggak ngerti perasaan aku.”
Cia terdiam, menelan ludah. “Apa maksud kamu?”
Aksa menarik napas panjang, lalu suaranya pecah dengan emosi yang ia tahan.
“Aku udah capek menahan, Valen. Dari pertama kali gue ketemu lo, gue udah jatuh. Jatuh terlalu dalam sampai kadang aku takut sama diri ku sendiri. Tapi aku terus pura-pura kuat, pura-pura nggak peduli. Karena aku pikir kamu bakal milih orang lain. Aku pikir gue nggak pantas…”
Mata Cia melebar, jantung-nya berdegup tak karuan. “Aksa…” bisiknya pelan.
“Tapi kamu tahu apa yang bikin aku gila?” Aksa menatapnya tajam, nada suaranya naik.
“kamu terus ada di sekitar aku. kamu bikin aku nyaman, bikin aku ngerasa pulang, tapi sekaligus bikin aku tersiksa karena aku nggak pernah tahu pasti… posisi aku di hati kamu itu apa!”
Cia terdiam, tubuhnya kaku. Air mata mulai berkaca di pelupuknya. “Aksa, aku…”
Belum sempat Cia melanjutkan, Aksa melangkah lebih dekat, suaranya semakin bergetar. “Valen…aku nggak butuh jawaban manis. Aku cuma butuh kamu jujur. Kalau kamu emang nggak punya rasa sama sekali, bilang ke aku sekarang! Karena kalau kamu diam…”
Aksa berhenti, suaranya pecah penuh emosi, “…aku anggap itu penolakan. Dan kalau itu terjadi, malam ini juga aku akan pergi. aku sumpah, nggak akan pernah ganggu hidup kamu lagi.”
Cia terisak pelan, air matanya jatuh. “Kenapa kamu ngomong gini sekarang…? Kenapa bukan dari dulu, Sa ? Kenapa harus setelah semua-nya berantakan begini?”
Aksa mengepalkan tangan-nya, menunduk sesaat, lalu kembali menatap-nya dengan sorot mata tajam bercampur luka.
“Karena aku udah nggak sanggup pura-pura lagi, Valen. Aku udah cukup sakit. Dan kalau kamu masih milih diam… jangan salahin aku kalau aku bener-bener pergi. aku nggak akan balik lagi.”
Hening.
Angin malam terasa menusuk tulang. Lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, namun bagi Cia dan Aksa, dunia seolah berhenti berputar.
Aksa mendongak, meng-hembuskan nafasnya sesak. Ia mengangguk singkat, di sertai senyuman miris. Diamnya cia sudah sudah cukup menjawab pertanyaan.
Cia menolak cintanya, maka dari itu Aksa tidak mau memaksa lagi. Ia mundur selangkah, lalu berbalik pergi meninggalkan Cia dengan rasa kecewa dan sakit yang menggerogoti hati-nya.
0o0__0o0
lgsg hapus dari daftar perpus
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
katanya paling jagoan, terutama Aksa.
Aksa terlalu lemah kalo bersangkutan dengan cia, kalo kamu gitu para musuhmu mudah dong ngalahin kamu??