NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Kultivasi Modern
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."

Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.

Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.

Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.

Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5

Hari itu tampak damai dari luar. Langit Bumi biru tanpa noda awan, burung-burung terbang rendah, dan sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela apartemen keluarga kecil itu.

Namun di ruang tengah, terdapat satu makhluk mungil yang tidak merasakan kedamaian sedikit pun.

Di atas karpet empuk, Asterion—Sang Naga Semesta yang kini terlahir kembali sebagai bayi manusia—duduk tegap dengan wajah serius, kedua mata menatap tajam ke arah depan, seolah sedang menganalisis medan perang.

“Akhirnya... setelah berbulan-bulan hidup sebagai makhluk lunak bernama bayi, aku bertemu musuh terbesarku.”

Sebuah benda bulat... merah... perlahan bergerak ke arahnya.

“Aku bisa merasakan niat membunuh di balik lengkung elastis dan bahan karet murah itu...”

Dan sebelum ia sempat menghindar—

PLAK!

Bola itu menghantam kepalanya tepat di dahi, membuat tubuh kecilnya miring ke belakang dan terguling pelan seperti kura-kura jatuh dari batu.

Asterion terdiam. Wajahnya kosong.

Lalu terdengar suara tawa.

“Hihihi! Asterion kena!”

“Lemparan mu mantul banget!”

“Jangan kena dinding, nanti Mama marah!”

Tiga suara anak-anak meledak dalam tawa. Di hadapan Asterion kini berdiri tiga balita, masing-masing dengan wajah polos, penuh energi, dan... niat iseng.

Yang melempar bola:

Seorang balita perempuan dengan rambut ikal dan kuncir dua, mengenakan dress biru muda dan sepatu berbunyi saat berjalan.

“Mira!” seru seorang ibu dari arah dapur, menghentikan tawanya. “Kamu gak boleh lempar bola ke kepala Asterion! Itu adik bayi, harusnya kamu bersikap lembut!”

Mira mengerucutkan bibir.

“Tapi dia lucu, Ma... pipinya kayak mochi...”

Dua anak laki-laki lain:

Nolan – anak yang lebih pendiam, sedang memainkan mobil-mobilan di dekat meja. Putra dari Bu Alra, seorang wanita berambut pendek dengan tatapan tenang.

Kei – si pemberani dan cerewet, memakai kaus bergambar dinosaurus. Putra dari Bu Liana, wanita enerjik berkacamata bulat dengan tawa renyah.

Dan Mira sendiri adalah anak dari Bu Yura, wanita tinggi langsing yang selalu tampil stylish meski sambil menggendong tas perlengkapan anak.

Mereka bertiga adalah teman-teman lama Elsha, ibu Asterion, dan kini sedang berkunjung dengan anak masing-masing.

Asterion perlahan bangkit, masih dengan ekspresi datar.

Kepalanya sedikit memerah akibat bola tadi.

“Apa ini… cobaan dari semesta?”

“Dahulu aku dihormati sebagai penguasa bintang, musuh Elder Star... dan sekarang, aku menjadi target lemparan bola plastik…”

“Menjadi bayi manusia sangat melelahkan.”

Ia menatap ke arah ibunya, Elsha, yang tengah sibuk menuang jus ke gelas para tamu.

Tatapannya penuh harap. Matanya membulat, bibirnya menekuk pelan ke bawah.

“Ibu… tolong aku…”

“Keluarkan aku dari neraka ini…”

Dan justru pada saat itu—

Elsha berbalik.

Matanya menangkap ekspresi putranya yang seakan habis disiksa kehidupan.

“ASTAGAAAAA!!”

“LIAT MUKANYAAAA!!”

“YA AMPUN DIA MINTA DIPELUK BANGET!!”

“WAAA LUCU BANGETTTT!!!”

“DIA MELIHAT KITA KAYAK MINTA TOLONG!!”

“AKU NGGAK KUAT, AKU MAU GIGIT PIPINYA!!”

Suasana pun pecah.

Elsha dan ketiga ibu lainnya berhambur ke Asterion yang terkapar.

Para balita terdiam, menonton kerumunan orang dewasa seperti menonton parade.

Asterion tak sempat kabur.

Pipinya ditepuk.

Kepalanya dielus.

Tangannya dicium satu-satu.

Dan paling parah...

Bu Yura mengguncangnya pelan sambil berkata, “Ayo senyum, nanti tante traktir es krim~”

“Kenapa kalian menganggapku makhluk lemah…”

“Apakah… karena aku tidak bersisik lagi?”

“Apakah karena aku kini… berbau bedak bayi dan bukan api kosmik?”

Mira, yang tadi melempar bola, kini sudah duduk di sampingnya sambil memegangi tangan mungil Asterion.

“Maaf ya… tadi Mira gak sengaja...”

Ia lalu mencium pipi Asterion dengan cepat dan tersipu malu sendiri.

Asterion hanya bisa menatap nanar ke langit-langit.

“Tuan Revenant...

... kalau kau masih hidup... aku ingin menyatakan pengunduran diriku dari takhta naga.”

Sementara itu di dapur, para ibu-ibu sudah mulai sibuk menyusun camilan, memotong buah, dan saling bertukar kabar.

“Liana, kamu masih kerja di Pusat Komando Angkasa?”

“Masih, tapi cuma paruh waktu. Kei sekarang mulai suka main alat pengacak sinyal. Aku takut dia jebol satelit beneran…”

“Ya ampun, Nolan baru kemarin mutusin untuk tidur tanpa boneka. Kemajuan besar!”

“Mira malah ngerusuh terus… Tapi kayaknya dia naksir Asterion deh.”

Elsha tertawa kecil, melirik putranya.

“Asterion... selalu jadi pusat perhatian. Anak ini kayak punya gravitasi sendiri.”

Asterion mendengar itu.

“Tentu aku punya. Aku dulu nyaris menjadi pusat orbit 7 sistem.”

“Tapi sekarang aku hanya... pusat mainan dan air liur.”

Saat waktu berlalu, para ibu menggelar tikar kecil dan mulai menyuapi anak-anak mereka. Mira mencoba menyuapi Asterion bubur dengan sendok miliknya.

“Aaaa... Asterion, buka mulut. Nih, enak…”

“Tidak. Aku menolak. Aku bukan burung yang bisa diberi makan seenaknya.”

Tapi mulutnya secara otomatis terbuka karena refleks.

Sendok mendarat dengan sukses.

“...Pengkhianatan tubuhku dimulai dari otot mulut.”

Suasana di ruang tamu setelah makan siang sungguh hidup. Aroma buah segar, tawa ibu-ibu, dan celotehan anak-anak berpadu jadi simfoni kehidupan yang hangat dan berantakan dalam cara yang manis.

Elsha dan ketiga temannya—Yura, Alra, dan Liana—duduk santai di atas sofa sambil menyeruput teh herbal dan membahas topik-topik harian, dari popok kain vs popok sekali pakai, sampai tips agar anak tidur tepat waktu.

Sementara itu, anak-anak kembali menguasai area tengah apartemen. Boneka, balok mainan, dan mobil-mobilan besar berserakan seperti medan perang habis disapu badai.

Dan di tengah semua itu...

Asterion—sedang dikelilingi oleh tiga balita dengan niat yang terlalu baik untuk ukurannya.

“Halo adik bayi!” seru Kei sambil tersenyum lebar.

“Mari kita bermain!” tambah Nolan, matanya bersinar penuh antusias.

Asterion menatap mereka berdua seperti seorang jenderal yang tahu dirinya akan dikirim ke garis depan tanpa senjata.

“Tunggu—kenapa nadanya menyeramkan…”

Tanpa banyak aba-aba, kedua bocah itu mengangkat Asterion bersamaan—satu di bawah lengan, satu di bawah kaki—dan memasukkannya ke dalam mobil-mobilan besar yang biasa mereka dorong-dorong untuk balapan.

“ASTAGA APA INI?! MEREKA MENJADIKANKU KAPSUL PELUNCUR?!”

Mira di samping mereka hanya menutup mulut sambil cekikikan, “Jangan terlalu kenceng ya!”

Kei mengambil posisi di belakang mobil, Nolan di sisi samping. Mereka saling pandang… lalu—

“SIAP??”

“SIAP!!”

“GASSSSS!!”

VRRRRRRRR—!!

Mobil-mobilan didorong dengan kekuatan khas anak laki-laki yang belum tahu batasan. Asterion terdorong maju dengan kecepatan mengkhawatirkan, melewati tikar, menabrak boneka, hingga menginjak bagian karpet yang tergulung.

“INI GILA! GILA GILAAA!!”

“HENTIKAN!! APAKAH BEGINI CARA KALIAN MENGAJAK BERMAIN BAYI BERUSIA 8 BULAN!!”

Namun nasib berkata lain.

BRAKKK!

Roda depan mobil menyentuh botol susu kosong yang tergeletak di jalur.

Mobil terguncang hebat. Asterion terlempar ke depan seperti meteor lepas landas.

“AKUUU TERBANGG—TUNGGU...TERBANG!?!?”

Dan…

BUGH!

Ia mendarat… perut duluan.

Diam.

Beberapa detik hening.

Lalu matanya membulat, berkaca-kaca. Napasnya tersengal pelan.

Dan suara itu pecah:

“WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHH!!”

Tangisannya menembus frekuensi suara normal.

Pipi tembemnya memerah, tangan mungilnya mengepal, dan air matanya mengalir deras.

Kei dan Nolan membeku.

“Waduh…” gumam Kei.

“Gawat…” kata Nolan.

Mira menatap keduanya tajam.

“KALIAN BERDUA!!!”

Ia mencubit lengan masing-masing bocah dengan geram, “KENAPA DORONGNYA KENCANG SIH?!”

Kei menjerit kecil. Nolan meringis. Tapi mereka tetap buru-buru meraih Asterion yang tergeletak sambil menangis hebat.

“Maaf yaaa... jangan nangis...”

“Tadi cuma mau ajak main kok...”

Tapi terlambat.

Tangisan Asterion sudah menggema di seluruh ruang apartemen.

“ASTERRRR?!”

Elsha bergegas masuk ke ruang tengah, diikuti oleh tiga ibu lainnya.

Begitu melihat Asterion di lantai, menangis dengan pipi merah dan lecet kecil di dahi, wajah Elsha langsung berubah serius.

Ia langsung mengangkat tubuh mungil itu dan menggendongnya erat.

“Ssst... nggak apa-apa... mama di sini…”

Asterion menggeliat di pelukan, namun tangisannya perlahan mulai mereda saat pipinya dicium dan punggungnya dielus.

Sementara itu...

Kei dan Nolan berdiri kaku di pojok.

Liana dan Alra langsung menghampiri mereka dan—seperti para ibu pada umumnya—mengomel dengan pelan tapi mematikan.

“Kei! Kamu gak boleh main dorong bayi kayak gitu!”

“Nolan, itu adik bayi, bukan boneka! Kalian, itu bisa bahaya!”

Keduanya hanya bisa mengangguk cepat-cepat, wajah mereka memerah.

Yura, si ibu Mira, menghampiri Elsha sambil menunduk sopan.

“Maaf ya, Elsha... anak-anak kami emang kalau udah main bareng suka kebablasan...”

Elsha tersenyum lembut, mengusap kepala Asterion yang kini hanya sesenggukan kecil.

“Tenang aja. Aku tahu kok... mereka cuma... terlalu semangat kenalan. Caranya aja yang... sedikit ekstrem.”

Semua ibu tertawa pelan.

Mira menunduk pelan di pojok, menatap Asterion dengan wajah menyesal.

“Maaf ya, Asterion… nanti Mira yang lindungi kamu deh…”

Asterion—yang masih setengah menangis—berkata dalam hati:

“Kenapa... jatuh rasanya sesakit ini…”

“Sial… kulit lembutku lecet…”

“Dahulu... aku disambar petir bintang dan tidak goyah. Sekarang, satu botol susu membuatku terbang.”

Hari mulai berganti senja. Matahari perlahan turun, memandikan ruang tamu dengan cahaya keemasan yang hangat.

Para ibu mulai merapikan barang-barang, anak-anak mulai lesu setelah bermain dan makan sepuasnya.

Satu per satu mereka berpamitan.

“Terima kasih jamuannya, Sha~”

“Lain kali kita yang gantian undang ya!”

“Asterion... sampai ketemu lagi yaa~”

Setelah pintu apartemen tertutup dan suasana kembali tenang, Elsha menatap ke arah tangan kecil di gendongannya.

Asterion sudah tertidur.

Kepalanya bersandar lembut di bahu ibunya, napasnya pelan, damai… seolah semua penderitaan hari itu telah tertutup oleh rasa aman dalam pelukan.

Elsha tersenyum dan mencium keningnya perlahan.

“Aww... sepertinya bintang kecilku kelelahan, ya…”

Ia membawanya ke kamar, membaringkannya dengan hati-hati di kasur bayi, menutupnya dengan selimut bergambar bintang-bintang, lalu duduk di kursi goyang, menatapnya dalam diam.

“Tidurlah dengan tenang... pahlawan kecil ibu.”

1
Candra Fadillah
hahahahahaha, naga semesta yang perkasa di cubit oleh seorang wanita
Unknown
keren kak, semangat teruss
RDXA: siap terimakasih atas dukungannya /Determined/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!