perjuangan seorang pemuda untuk menjadi lebih kuat demi meneruskan wasiat seorang pendekar terdahulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Kemarahan yang meledak
Perebutan gulungan pun terjadi. Nyi Sangguh dan Matsapati melesat cepat ke arah gulungan yang masih melayang di udara. Kedua orang itu mengerahkan kecepatannya masing-masing.
Ki Pasung yang berniat membantu Nyi Sangguh harus menghentikan langkahnya setelah dihadang oleh Gandama dan Arimba di hadapannya.
"Kau mau ke mana, Ki Pasung?" ucap Gandama, memaksa orang tua itu untuk berdiam diri sambil sesekali memandang ke arah istrinya.
"Sebaiknya kau diam saja di sini, Ki," ucap Arimba.
"Setelah ini, jangan salahkan aku kalau kalian berdua kubuat menyesal," ancam Ki Pasung.
Sementara itu, Rawasana dan Cakra Bayu yang semula bergerak langsung berhenti dan membatalkan niatnya mengejar gulungan itu. Mereka lebih memilih waktu yang tepat untuk bertindak nanti.
Dalam adu kecepatan itu, ternyata Nyi Sangguh lebih unggul dari Matsapati. Tidak heran jika perempuan tua itu mendapat julukan sepasang pendekar hantu darah, melihat kecepatannya yang luar biasa.
"Akhirnya benda ini jatuh ke tanganku." Nyi Sangguh merasa kegirangan. Ia segera mendarat di tempat yang agak jauh dari Matsapati.
"Cepat berikan gulungan itu padaku, Nyi!" pinta Matsapati.
"Tidak bisa, Matsapati. Setiap benda yang sudah berada di tanganku, sejak itu pula benda itu milikku. Hehehehe," ucap Nyi Sangguh dengan terkekeh-kekeh.
"Kalau begitu, akan kurebut secara paksa darimu," ucap Matsapati dengan geram.
"Silakan saja, Matsapati. Kau pikir selama ini aku mengalah karena takut padamu? Tidak sama sekali, Matsapati." Nada bicara Nyi Sangguh terdengar penuh ejekan yang membuat Matsapati semakin berang.
"Kau akan kubuat menyesal, Nyi!" Matsapati pun segera menyiapkan serangannya.
"Tunggu!" teriak Rawasana. Nyi Sangguh dan Matsapati segera menoleh ke arahnya.
"Ada apa, Rawasana? Apa kau juga tidak sabar ingin ikut bertarung?" ucap Matsapati.
"Aku tidak menginginkan gulungan itu, Matsapati, karena aku tahu bahwa gulungan yang kalian perebutkan itu bukan kitab pusaka Perguruan Elang Hitam," jawab Rawasana.
"Kau jangan membual, Rawasana. Kau tahu dari mana kalau gulungan ini bukan kitab? Aku tahu kau juga menginginkan gulungan ini, bukan?" ucap Nyi Sangguh tidak percaya sama sekali dengan perkataan Rawasana.
Rawasana terdiam sambil menyunggingkan senyum dan berkata, "Kau akan tahu aku bohong atau tidak setelah kau melihat isi gulungan itu, Nyi." Ucap Rawasana. Ia sengaja menyuruh Nyi Sangguh membuka gulungan itu untuk memastikan kitab atau bukan. Jika itu benar-benar kitab pusaka, Nyi Sangguh pasti akan mempertahankannya, dan saat itu pula Rawasana akan langsung bertindak untuk merebutnya.
Matsapati yang paham dengan akal licik Rawasana segera berseru kepada Nyi Sangguh yang ada di hadapannya. "Aku pikir tidak ada salahnya jika kau membuka gulungan itu, Nyi. Aku ingin tahu kebenaran perkataan Rawasana tadi."
"Nyi, benar apa kata mereka. Bukalah gulungan itu," perintah Ki Pasung.
"Baiklah, akan kubuka gulungan ini. Ki, kau awasi mereka supaya tidak macam-macam saat aku membuka gulungan ini," ucap Nyi Sangguh dengan waspada.
"Baik, Nyi. Serahkan saja mereka padaku," ucap Ki Pasung.
Nyi Sangguh membuka gulungan di tangannya dengan hati-hati dan segera membacanya.
Mata perempuan tua itu seketika terbelalak setelah mengetahui tulisan yang ada di dalam gulungan itu. Raut wajahnya berubah, tangannya pun mengepal dengan kencang.
"Biadab kau, Barataaa!" teriak Nyi Sangguh dengan lantang meluapkan kemarahannya.
Semua orang yang ada di tempat itu pun merasa heran dengan kemarahan Nyi Sangguh yang tiba-tiba.
"Ada apa, Nyi? Apa isi gulungan itu?" tanya Ki Pasung penasaran.
Matsapati dan Gandama saling pandang dengan perasaan bingung. Sedangkan Rawasana dan Cakra Bayu menatap dengan rasa penasaran.
"Ini bukan kitab pusaka seperti yang kita pikirkan, Ki. Isi gulungan ini ternyata hanya kata-kata orang yang sedang patah hati karena cinta. Barata sungguh biadab, beraninya mempermainkan kita-kita, Ki," ucap Nyi Sangguh dengan nada keras karena marah.
Ki Pasung pun terkejut mendengar penjelasan istrinya. Sedangkan Matsapati menganggap bahwa Nyi Sangguh hanya berpura-pura supaya bisa memiliki kitab itu sendirian.
"Kau jangan coba-coba membodohi kami, Nyi. Jika itu bukan kitab pusaka, cepat kau berikan gulungan itu padaku," pinta Matsapati.
"Ini, bacalah sampai kau puas, Matsapati!" Nyi Sangguh pun melemparkan gulungan itu kepadanya. Dengan beringas, ia mencari-cari keberadaan Barata di tempat itu.
Matsapati menangkap gulungan itu dan membacanya. Raut wajahnya pun langsung berubah. Ia tidak percaya dirinya bisa dikibuli oleh pemuda kemarin sore.
"Apa benar isi gulungan itu hanya kata-kata orang yang patah hati, Kang?" tanya Gandama yang masih penasaran.
Matsapati memberikan gulungan itu kepada Gandama sambil membuang mukanya karena merasa malu telah dipermainkan oleh Barata.
Gandama pun langsung tercekat setelah membaca gulungan itu. "Kakang, ini sangat memalukan jika sampai orang tahu kita dipermainkan oleh bocah itu," ucap Gandama.
"Ya, ini memang memalukan. Orang tua seperti kita dapat diadu domba oleh anak kecil seperti Barata. Hampir saja kita bertarung mati-matian demi memperebutkan pepesan kosong yang tiada arti," ucap Matsapati dengan perasaan marah.
Nyi Sangguh bertambah kesal setelah tidak lagi melihat Barata di tempat itu.
"Pancawara, ke mana perginya pemuda sialan itu?" tanya Nyi Sangguh.
"Aku tidak tahu, Nyi. Dari tadi aku hanya fokus pada gulungan itu," jawab Rawasana.
"Awas saja kalau aku sampai bertemu dia lagi, akan kupecahkan kepalanya!" ancam Nyi Sangguh.
"Sudahlah, kita pulang saja, Nyi," ucap Ki Pasung mengajak istrinya.
Kedua orang ini lalu melesat pergi dengan membawa segudang kekecewaan. Mereka merasa sangat tidak rela ditipu oleh Barata.
"Untung tadi kau mengingatkan, Rawasana," ucap Matsapati menoleh ke arahnya.
"Sudahlah, Matsapati. Kau tidak perlu membahas itu. Cakra Bayu, ayo kita kembali," ucap Rawasana lalu melesat pergi diikuti Cakra Bayu di belakangnya.
"Guru, jangan-jangan orang yang menyusup ke tempat Nyi Sangguh dan Ki Pasung itu adalah Barata?" tanya Arimba.
"Bisa jadi, Arimba, dan itu cukup masuk akal. Kita tidak tahu seberapa besar kemampuan pemuda itu. Sebaiknya kita kembali karena hari sudah mulai bertambah gelap," ucap Matsapati.
Mereka bertiga pun melesat kembali menuju penginapan dan akan kembali ke Perguruan Gunung Awan pagi harinya.