NovelToon NovelToon
TamaSora (Friend With Benefits)

TamaSora (Friend With Benefits)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / One Night Stand / Playboy / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Kantor / Office Romance
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Mama Mima

"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."

Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.

Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.

Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.

Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lefted by Sora.

“Serius?” Tama merasa kalau dia sudah salah dengar. Sampai-sampai pria itu masuk ke meja resepsionis untuk melihat sendiri data yang ditunjukkan karyawannya.

Tangan Tama bergetar, begitupun dengan tubuhnya. Sora memang keluar. Semua data-datanya sesuai. Dilihat dari jam check out-nya, perempuan itu sudah pergi sejak jam enam sore tadi. Apakah dia sudah merencanakan ini dari jauh-jauh hari? Oh Tuhan, detak jantung laki-laki itu kini memburu seperti orang yang sedang dikejar hewan buas.

“Oke, Fer. Makasih.” Tama kembali keluar dari meja. Setelah itu langkahnya berputar menuju pintu keluar. Tidak jadi visit ke bagian office. Dia harus mengurus ini.

Kenapa Sora keluar? Apa karena sikap Tama selama satu minggu ini? Oh no no no. Please.

Pria itu sudah kembali masuk ke dalam mobil. Berpikir sekian detik tentang tujuan sebelum dia kembali menyalakan starter. Ke rumah Kayla, sudah pasti.

Kedua tangan Tama mencengkeram stir dengan kuat. Dia masih berdebar tidak karuan. Sama sekali tidak menyangka kalau Sora akan nekat melakukan ini. Apa karena ingin menghindar darinya? Buat apa? Toh Tama sudah tidak tinggal di sana lagi. Bukankah itu percuma mengingat mereka masih akan bertemu di kantor besok? Atau ada alasan lain? Apa? Tolong, semesta, beri tahu Tama yang sudah tidak berdaya ini.

Sesampainya di rumah Kayla, dia segera turun dari mobil. Berulang kali menarik napas dan membuangnya demi mendapatkan ketenangan. Dia tidak ingin ribut dengan Sora. Dia akan mengajak perempuan itu bicara baik-baik.

Menekan bel, tak lama kemudian mamanya Kayla muncul dari balik pintu yang baru saja terbuka.

“Nak Tama ya?” tanya tante Helen ramah.

“Benar, Tante. Kayla ada, Tante?”

“Oh, Kayla belum pulang. Tadi sih ngantar Sora ke bandara ya. Sampai sekarang belum balik lagi, Tam.”

DHUAR!

Tama bagai mengalami gagal jantung dalam beberapa detik. Bandara? Ban— oh Tuhan. Mau ke mana dia?

“Oh begitu. Baiklah. Saya pamit dulu, Tante. Maaf mengganggu.”

Setelah Helen mengangguk, Tama kembali ke dalam mobil. Antara hati dan pikirannya, sudah rebut-rebutan ingin melakukan banyak hal. Antara harus menghidupkan mobil dulu, atau menelepon Kayla dulu. Atau langsung menelepon Sora saja? Atau mau membanting setir dulu untuk melampiaskan rasa kesal?

Baiklah. Dia memutuskan untuk menginjak pedal gas. Dia harus mengejar Sora selagi bisa. Setelah mobilnya kembali berbaur dengan mobil-mobil lain di jalanan yang cukup padat, barulah dia kepikiran untuk menelepon Kayla.

“Halo, Tam?” Untung saja perempuan itu langsung menjawab. Sepertinya sudah tau Tama akan menelepon.

“Mana Sora?!”

“Udah take off.”

“Brengsek! Ke mana dia?!”

“Lo apaan sih brengsek brengsek? Kasar banget tau nggak?!” Emosi Kayla tersulut di seberang sana.

Tama menarik napas panjang. Oke, ini Kayla. Bukan Sora. Jangan sampai melampiaskan emosi ke dia juga. Inhale, exhale.

“Ke mana dia?” Akhirnya bertanya lagi setelah hatinya tenang.

“Mamanya sakit. Jadi dia disuruh pulang ke Jogja.”

“Berapa lama? Kenapa harus keluar dari apartemen juga? Lo tau kan dia check out sore ini?”

“Ya tau lah, gue sama anak-anak bantuin dia beberes kok.”

Lagi-lagi Tama terkejut. Rasa terasing itu kembali muncul di dalam benak. Sial! Mereka membuat kubu lagi di belakang Tama.

“Gitu ya. Kalian semua memang sangat mendukung dia jauh dari gue,” ucap Tama sarkas. Itu fakta yang menyakitkan. Seperti ditusuk teman dari belakang, atau musuh di dalam selimut.

“Jelas. Lo cowok brengsek. Jelas kita mendukung dia jauh dari lo. Lagian dia belum tau bisa balik kapan ke Jakarta. Karena bakalan nungguin mamanya sampai sembuh.”

“Trus kerjaannya gimana? Dia kira lagi kerja di perusahaan bokapnya?”

“Kan? T*i emang lo, Tam. Mesti banget ya respon lo kayak gitu? Mamanya lagi sakit! Nggak dengar? Empati dikit kek!  Lo tenang aja. Surat resign-nya ada di gue. Besok gue kasih di kantor.”

Tama sudah tidak kuat. Dia menepikan mobilnya di tempat yang memungkinkan. Mematikan panggilan karena seluruh tubuhnya sudah kehilangan daya. Kepala terjatuh ke atas stir, menopang bobotnya yang lumayan berat.

Hari apakah ini? Kenapa rasanya begitu berat? Kenapa di saat kasus itu sudah hampir rampung, Sora malah memutuskan semuanya secara sepihak? Bukankah dia yang meminta Tama segera menyelesaikan tugasnya? Bukankah kemarin dia berjanji akan kembali? Kenapa justru pergi seperti ini?

Sepertinya Sora memang tidak sekuat itu menahan sakit hati yang terlah ditorehkan Tama. Laki-laki itu memang sengaja melampiaskan marah dan rasa kesal akibat ditolak terus menerus di apartemen. Bagi Tama, Sora itu munafik. Sesungguhnya dia ingin disentuh, ingin melambung tinggi karena mencapai puncak. Namun dia selalu menolak dengan alasan misi Tama belum selesai, masih ada Giselle, dan sebagainya. Tama sangat kesal. Sungguh tipis perbedaan antara berprinsip dan munafik. Dan menurutnya, Sora jatuh ke opsi yang kedua.

Tapi tidak harus pergi seperti ini juga kan?

Seperti handphone yang kehabisan daya, begitulah Tama sekarang. Otaknya seketika blank. Tidak tau harus berbuat apa lagi. Seluruh jiwanya seakan ikut meninggalkan tubuh karena kepergian Sora.

Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah dia harus menyusul perempuan itu ke Jogja? Tama tidak ingin kelolosan lagi. Tidak ingin Sora beranggapan bahwa dia tidak berusaha mengejar atau menyusul.

Tapi besok pihak kepolisian akan datang ke kantor untuk menangkap Rahmat. Tama tentu saja harus ada di sana. Bisakah dia menarik diri sejenak dari kasus ini dan fokus pada kehidupannya sendiri?

Tama harus mencoba. Laki-laki itu menelepon ayahnya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Terpaksa jujur tentang Sora dan hubungan mereka.

“Tunggulah dua atau tiga hari lagi, Tam. Kalau Rahmat sudah masuk sel, kamu nggak apa-apa nyusul ke sana.”

Di saat ayahnya memberi jawaban tanpa nada tinggi, itu artinya beliau mengerti akan posisi Tama. Dan beruntung sang ayah tidak melarang untuk pergi. Hanya saja disuruh menunggu sampai Rahmat benar-benar sudah berada dalam tahanan. Mungkin supaya Tama bisa tenang dalam perjalanan.

Baiklah. Dua atau tiga hari. Katakanlah tiga hari. Itu tidak akan terlalu lama. Dia tidak akan langsung mati hanya karena tidak melihat Sora selama itu kan?

‘Ah, tiga hari nggak lama kok. Lo pasti kuat, Tam!’ Tama menyemangati dirinya sendiri.

***

Keesokan harinya Tama dan Giselle sampai di kantor. Sebuah amplop putih sudah ada di atas meja saat laki-laki itu menyambangi singgasananya. Benda yang tidak ingin dia lihat hari ini, dan sampai kapanpun.

“Itu surat resign Sora ya, Tam.” Eh malah diingatkan lagi sama Kayla. Sengaja banget emang. Ck!

“Loh, mba Sora resign?” Giselle tidak jadi meletakkan tasnya. Sepertinya dia terkejut. Mungkin tidak menyangka akhirnya sang rival hengkang dengan sendirinya.

“Hm-m. Mamanya di Jogja sakit. Disuruh pulang.” Kayla menjelaskan secara singkat saja.

“Oh… kasian. Mamanya sakit ama, Mba?” Anak kecil itu masih berusaha mengorek informasi. Kok sampai harus resign? Memangnya nggak akan balik lagi? Dia sungguh penasaran.

Kayla mengangkat kedua bahu. Dia tau mamanya Sora sakit apa, tapi malas aja ngasih tau si bocil ini. Kayla tau dia tidak benar-benar peduli.

Julian, Axel dan Jo masuk ke dalam ruangan. Sikap mereka biasa saja, tidak ada perubahan. Malahan tidak ada yang berkomentar tentang meja Sora yang kosong. Itu artinya ketiga orang itu sudah tau segalanya. Jadi tidak perlu heran lagi seperti Giselle. Sial, lagi-lagi Tama merasa terasing sendiri.

“Mas Jul.” Giselle memanggil Julian yang duduk di samping kanannya.

“Ya?” Kembaran Tama itu menjawab tanpa menoleh. Malas dia. Tau banget kalau Giselle sedang berada di atas awan. Mungkin dia merasa, setelah ini akan menjadi primadona di divisi AR. Cuih! Never.

“Mas udah tau mba Sora resign?”

“Memangnya wajar kalau gue nggak tau? Gue kan mantan pacarnya.”

Giselle berkedip dua kali. Sejak kapan Julian bisa ketus seperti ini?

“Mas Axel, Mas Jo? Udah tau juga?” Masih belum puas, dia bertanya kepada yang dua orang lagi.

“Tau dong. Kita kan temennya, Sel.” Axel menjawab. Sengaja menekankan kata ‘temennya’, agar Giselle dan Tama sadar diri.

“Oh… jadi kalian semua sudah tau, tapi mas Tama belum? Kok bisa?”

“Dia sibuk ngelonin lo soalnya. Jadi memang nggak pernah update lagi soal apapun,” canda Jo. Menyindir Tama sekalian.

“Oh…,” gumam Giselle. Sindiran itu berhasil membuatnya bungkam. Tidak hanya itu saja. Dia bisa merasakan orang-orang ini merasa sangat kehilangan Sora. Sepertinya Sora memang seberpengaruh itu.

Huh, bodoh amatlah. Yang jelas dia sudah out. Kini saatnya Giselle bernapas lega. Tidak perlu lagi khawatir berlebih tentang hubungan kekasihnya dengan perempuan itu.

***

Hari itu berjalan seperti biasa. Sunyi. Ruangan AR yang biasanya ramai, kini lebih banyak hening. Tidak bisa dipungkiri, Sora adalah bagian yang cukup penting di antara mereka. Palingan yang ramai adalah grup wa kantor. Surat resign Sora yang sudah sampai di tangan HRD jelas langsung memicu keributan.

‘Loh, @Sora resign? Kenapa?’ tanya HRD seraya mencolek nama Sora di grup. Awal dari obrolan panjang anak-anak setelahnya.

‘Eh serius? Kok bisa? Beneran @Kayla @Julian?’ tanya Friska.

‘Loh loh loh loh. Ada apa ini? Kok dadakan banget? Bukan karena gue tembak kemarin kan?’ sambung Fabian.

Dan masih ada sejumlah pertanyaan lain. Sebenarnya, di surat pengunduran diri itu Sora sudah mencantumkan alasannya. Entah kenapa si HRD masih pakai nanya. Bikin Kayla pusing aja, di tag semua orang.

‘Mamanya sakit. Doakan ya gais. Kalau udah sembuh, semoga Sora masih mau balik sini lagi,’ balas Kayla akhirnya. Berharap itu sudah cukup untuk memuaskan orang-orang.

‘Yahh, kita nggak akan main badminton lagi dong?’

‘Gue bakalan kangen @Sora. Semoga mamanya lekas sembuh ya, Raaa. Biar balik sini lagi.’

Entah pesan-pesan mereka dibaca oleh orang yang bersangkutan. Yang pasti semuanya sangat terkejut akan kabar ini. Kalau orang lama resign itu memang rasanya nano nano. Sora sudah bekerja di sini selama lima tahun. Kenangan bersama anak-anak juga sudah sangat banyak. Sedih aja rasanya.

Sekalipun sejak tadi dia hanya berdiam diri, kenyataannya Tama tidak berhenti memikirkan perempuan yang sekarang sedang dibahas di dalam grup. Seharusnya perempuan itu sudah sampai di rumah kan? Apakah dia sampai dengan selamat? Apakah dia menangis bertemu dengan ibunya yang sedang sakit?

Apakah dia mengingat Tama?

Barang sedetik pun tidak apa-apa.

Bolehkah Tama berharap demikian?

Whatsapp web yang sejak tadi terlihat aktif di layar komputernya masih menunjukkan room chat grup kantor. Lalu Tama menggeser mouse dan mengklik nama Sora. Pesan terakhir di room chat itu adalah saat Sora terkurung di kamar mandi kantor. Sudah sangat lama.

Lucu ya? Dulu mereka pernah sedekat itu… tapi sekarang rasanya begitu jauh. Riwayat percakapan ini adalah buktinya. Dulu, walau sedang berada dalam satu ruangan, sedang berhadap-hadapan, Tama akan mengirimi Sora pesan meski hanya berisi gombalan atau rayuan. Tentang lingerie mana yang harus dipakai perempuan itu malam nanti, atau tentang kesepakatan di mana mereka akan bercinta. Obrolan-obrolan manis yang selalu berhasil membuat jantung berdebar tidak karuan.

Sekarang… bahkan sekedar menyapa pun sudah tidak pernah lagi. Sungguh ajaib semuanya bisa berubah drastis hanya dalam waktu enam bulan.

Jari-jari Tama bergerak ke atas keyboard. Harusnya dia melakukan ini sejak tadi malam. Bukan sekarang. Sora pasti menunggu pesan darinya.

Tapi laki-laki itu tidak tau harus bertanya tentang apa dulu. Tentang keluar dari apartemen, atau tentang resign dulu? Ketikannya berkali-kali berujung dihapus, lagi dan lagi. Hingga akhirnya dia hanya mengirim pesan dengan beberapa kata saja.

‘Sora, gimana kabar mama lo di sana?’

Terdengar lebih natural dan lebih manusiawi. Nanti saja membahas yang lain.

Mungkin Sora sedang sibuk. Sampai dua jam, tiga jam, bahkan lima jam kemudian, pesan itu tak kunjung centang biru. Sampai jam makan siang selesai, Tama masih menunggu perempuan itu memunculkan dirinya. Entah di grup, entah di room chat pribadi mereka.

Tapi nihil.

***

Sebelum pulang kantor, Tama kembali ke ruangan sang ayah. Kali ini Julian juga ada. Tumben.

“Jadi, Sora resign?” Brama bertanya sambil membolak-balik lembaran di depan wajah.

“Gimana nggak resign? Ditekan sama monster setiap hari.” Julian menyahut dengan cuek.

“Tapi katanya mamanya sakit. Jadi mana yang benar?” balas Brama.

“Kalau karena mamanya sakit, nggak harus resign juga bisa. Cuma cuti seminggu dua minggu. Tapi namanya udah nggak betah sama lingkungan kerja, jelaslah cabut.”

Tama abai dengan sindiran sang kembaran. Dia lelah berdebat terus-menerus. Pria itu fokus memeriksa pekerjaan yang diberikan sang ayah kepadanya.

“Benar begitu, Tam?” Brama malah bertanya. Bikin mood Tama semakin hancur.

“Anggap saja iya.”

Laki-laki paruh baya itu berdecak pelan.

“Terkadang cinta memang membuat kita kehilangan kendali. Dan setelah terlanjur seperti ini, tidak tau harus menyalahkan siapa. Niat kamu untuk menyusul ke Yogyakarta sesungguhnya sudah benar. Laki-laki itu harus inisiatif. Tapi surat penangkapan dari kepolisian baru selesai besok. Papa harap kamu sanggup menunggu, Tam.”

“Seharusnya aku sudah bisa lepas tangan. Bukankah misi beratnya sudah selesai? Seharusnya kembaranku ini sudah bisa mengambil alih sejenak. Bukannya malah sibuk memikirkan dirinya sendiri.”

Seharusnya misi itu memang dikerjakan berdua oleh Tama dan Julian. Tapi, karena Julian memang kurang tangkas, kurang bisa bersosialisasi, kurang ini itu, dia secara sepihak meminta Tama yang mengurusnya sendiri. Dengan alasan Tama lebih unggul dari segala aspek. Dari pada hanya menjadi beban, lebih baik Julian tidak ikut campur. Dan jujur, Tama sangat kesal setiap mengingat ini. Tapi sudah berlalu juga.

“Selama enam bulan ini tim investigasinya tektokan sama kamu. Nggak lucu kalau tiba-tiba pindah ke tangan Julian. Sabarlah menunggu besok atau lusa. Setelah itu, kamu bebas mau cuti berapa lama untuk mengejar Sora,” janji Brama yang kemudian membuat Tama sedikit punya harapan.

Sesampainya di apartemen, Tama kembali mengingat pesannya kepada Sora yang tak kunjung berbalas. Sepertinya dia harus mencoba melakukan sebuah panggilan.

Selesai mandi, laki-laki itu membawa ponselnya ke ruang tamu. Dibukanya lagi kontak perempuan itu. Last seen benar-benar dua puluh empat jam yang lalu. Apa yang dia lakukan sampai tidak memegang ponsel sama sekali? Apa mamanya baik-baik saja?

Penasaran Tama semakin menjadi. Khawatir terjadi apa-apa di sana. Maka tanpa pikir panjang, dia menekan tombol berwarna hijau untuk melakukan sebuah panggilan.

Nada sambung terdengar cukup lama, lalu terputus.

Tama mencoba lagi.

Begitu lagi.

Sampai empat kali panggilan, laki-laki itu nyaris putus asa. Namun di percobaan ke lima, nada sambung itu akhirnya berhenti. Akhirnya seseorang mengangkat telepon!

“Halo?”

Tapi ini bukan suara yang dia kenal. Ini suara anak remaja.

“Halo? Sora-nya ada?” tanya Tama tanpa basa-basi.

“Oh, tante Sora. Lagi pergi, Om.”

“Oh… lagi sibuk ya? Pantas satu hari ini ponselnya nggak aktif.”

“Iya, Om. Tante Sora sama Om Fachry lagi sibuk ngurusin acara tunangan mereka besok.”

***

1
Risma Waty
Semoga Julian punya hati yang tulus
Risma Waty
Tama, gas pollllll apalagi sudah halal begini ☺
Risma Waty
Kayla pinter juga nih ngeles dari pertanyaan Sora
Risma Waty
Ternyata mamanya Julian bukan mama kandung Tama.
Teh Fufah
masa d parkiran gk d bawa ngamar hahahaha
Risma Waty
Ya udah, gitu keluarga Tama nyampe, langsung aja dinikahkan tuh Tama & Sora. 😃
Risma Waty
Kayla dengan Julian aja kali ya 😄
Teh Fufah
pulang k jkarta sora langsung d kurung nihhh
Risma Waty
Manda.. siasat loe ketauan tuh sama tante Sora 😃
Teh Fufah
hmmmm legaaaa
Risma Waty
Kisahnya natural... ada juga seperti ini di dunia nyata.
Risma Waty
Semoga tidak ada lagi halangan buat Sora dan Tama bersatu
Teh Fufah
jempol tuk fahri
Jeng Ining
ketika Tuhan telah mentakdirkan berjodoh pasti Tuhan jg sudh menyiapkan jalan yg benar dn baik utk bersatu
Jeng Ining
udh sbegini gimana pemikiran Giselle ya🤔
Teh Fufah
cerita nya bsgus, cma mungkin author ny lun trknal d nt yaaaa
Mama Mima: Bantu share yah kakkk. hihiiiii. Terima kasih kakakkk
total 1 replies
Jeng Ining
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/ ada yg kebakaran tp gada apinya
Jeng Ining
nah ini dpt bgt feelnya tnpa typo nama, kita kek masuk beneran diantara mreka, terimakasih Kak, mdh²an ga cm updte 1 bab ya 🙏😁✌️
Asri setyo Prihatin
Luar biasa
Mama Mima
Terima kasih masukannya, Kakk. Padahal aku udah double check teruss. Ada aja yang kelolosan. Heuu... 🙏🏻🥹
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!