Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bara yang membakar..
Ruangan itu panas meski pendingin ruangan menyala. Setelah sidang berakhir dan Nayla meninggalkan gedung pengadilan bersama Aldi, Tania menahan Raka di lorong belakang gedung. Nafasnya tersengal, tangannya mengepal, dan perutnya yang membuncit tak menghalangi langkahnya yang penuh amarah.
“Raka, kita harus bicara sekarang juga!” desisnya tajam.
Raka menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangan. “Apa lagi, Tania?”
“Apa lagi?” Tania nyaris menjerit. “Aku sudah berdiri di depan hakim! Mengaku mengandung anakmu! Menanggung malu, dan kamu masih bisa bersikap seolah aku ini hanya gangguan kecil di hidupmu?”
Raka mendekat, suaranya dingin, nyaris membeku. “Kalau kau mengira dengan datang dan membuat drama seperti tadi akan memperbaiki keadaan, kau salah besar.”
Tania terkekeh, getir. “Kau pikir ini drama? Kau pikir ini semua rekayasa? Kau yang mengajakku bermain api dulu, Raka! Dan sekarang kau tinggalkan aku terbakar sendiri!”
Raka menahan napas. Kata-kata itu terlalu dekat dengan kenyataan.
“Aku tak pernah menyuruhmu mencintai aku,” ucapnya pelan. “Kita tahu apa ini dari awal. Hanya pelarian. Aku... sedang kehilangan arah waktu itu.”
“Dan aku bukan manusia yang pantas dicintai?” Tania melotot, matanya basah. “Aku memang bukan Nayla! Tapi aku juga punya hati, Raka!”
Raka menunduk. “Aku tak mencintai Nayla lagi. Tapi itu bukan berarti aku bisa membalas perasaanmu.”
Tania terdiam. Rasa sakit yang ditahannya berminggu-minggu akhirnya meledak. “Kau tahu rasanya membiarkan diriku hancur hanya demi secuil perhatianmu? Aku menyetujui semua ini—perselingkuhan, kebohongan, bahkan mengorbankan harga diriku—karena kupikir suatu hari kau akan memilihku.”
“Dan sekarang kau mengharapkan... apa?” Raka bertanya, datar.
Tania memeluk perutnya. “Aku mengharapkan anak ini tumbuh dengan seorang ayah.”
“Jangan paksa aku jadi ayah yang buruk hanya karena kau memilih untuk tidak menggugurkan—”
Plak!
Tania menamparnya. Suara tamparan itu menggema di lorong kosong. Raka tak mengelak, tapi rahangnya mengeras.
“Jangan kau hina anakku,” desis Tania dengan suara bergetar. “Jangan.”
Suasana membeku. Lama mereka hanya berdiri di sana—dua orang yang pernah saling menghangatkan malam, kini saling menyakiti dengan kata-kata dan kebencian.
“Kenapa kau datang ke pengadilan tadi, Tan?” Raka akhirnya bertanya.
Tania memalingkan wajah. “Karena aku muak menjadi bayangan.”
“Kau ingin membuat Nayla benci padaku?”
“Aku ingin dia tahu siapa kau sebenarnya. Biar dia tahu, pernikahan kalian hanya rumah yang sudah lama roboh. Aku tak mau jadi simpananmu diam-diam. Kalau aku memang dihina, sekalian saja di depan umum. Tapi aku tak akan sembunyi lagi.”
Raka tertawa hambar. “Kau pikir dengan begitu Nayla akan menyerah? Bahagia melihatku bersamamu?”
“Bukan itu tujuanku.” Mata Tania berkaca-kaca. “Aku ingin kau bertanggung jawab. Bukan soal cinta, Raka. Tapi soal nyawa yang tumbuh di dalamku ini. Aku tak akan membesarkannya sendirian!”
Raka memejamkan mata. Kepalanya berat. Semuanya berantakan. Ia tidak ingin bersama Nayla lagi, tapi kehadiran Tania juga bukan sesuatu yang ia bayangkan akan berlangsung sejauh ini.
“Aku akan bertanggung jawab,” katanya pelan. “Tapi jangan harap aku bisa mencintaimu.”
Tania menahan napas. Kalimat itu seperti peluru yang menembus dada. Tapi ia sudah menduganya. Dan ia siap dengan jawabannya.
“Aku tak butuh cintamu sekarang. Tapi jangan harap aku akan diam bila anakku kau abaikan.” Ia mengusap air matanya kasar. “Aku kuat, Raka. Tapi anak ini butuh masa depan.”
Tiba-tiba langkah seseorang terdengar dari ujung lorong. Aldi.
Ia menatap keduanya sejenak, lalu menghampiri perlahan.
“Kalian masih di sini,” katanya pelan, lalu menatap Raka. “Aku tak ikut campur, tapi aku dengar semuanya.”
Raka mendengus. “Mau ceramah?”
“Tidak. Tapi kalau kau tak bisa bertanggung jawab sebagai ayah, aku yakin akan ada orang lain yang bisa.” Aldi menatap perut Tania sejenak. “Anak tak pernah salah, Raka.”
Tania menatap Aldi penuh harap, seolah menginginkan satu hal saja: jangan tinggalkan aku sendirian. Tatapannya seperti minta tolong.
Raka memalingkan wajah. Dalam hatinya, ada ledakan perasaan yang ia sendiri tak mampu uraikan. Malu, marah, takut, dan cemburu—semuanya bercampur jadi satu.
Aldi merangkul bahu Tania dengan sopan. “Ayo, Tan. Kau butuh istirahat.”
Raka menahan emosi saat Tania mengangguk dan pergi bersama Aldi. Ia mengepalkan tangan, menatap punggung mereka menjauh, dan menyadari satu hal: untuk pertama kalinya, ia kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
Dan mungkin, semua ini memang pantas ia terima.