"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
|Menyampaikan perasaan di bawah siluet jingga|
"Antarkan Dita pulang. Aku ada urusan," ucap Revano dengan nada datar. Kakinya perlahan melangkah melewati Reno.
Tangan Reno mencekal lengan Revano saat mereka bersisian. Langkah Revano terhenti, kepalanya menoleh dengan satu alis diangkat.
"Dita akan menjadi tanggung jawabmu, Bang. Berlatihlah untuk melakukan tanggung jawabmu dari sekarang," ucap Reno dengan tenang. Tatapannya tidak tajam, tersenyum manis --yang terlihat memilukan-- menghiasi wajah tampan Reno.
Dita menggelengkan kepalanya. Dia masih memeluk Reno dengan erat. "Jangan seperti ini, Reno. Aku nggak bisa, aku nggak mungkin bertunangan dengan kembaran orang yang aku cintai."
"Kamu salah, Dita. Bang Van pasti bisa membuat kamu mencintainya. Kamu hanya perlu berusaha," ucap Reno sambil melepaskan pelukannya. Menatap wajah cantik Dita yang dipenuhi air mata.
"Kamu dengar yang dia ucapkan tadi? Dia sudah mengakuimu sebagai calon tunangannya. Sekarang hanya kamu. Ayolah, kamu pasti bisa," ucap Reno dengan suara seolah menyemangati Dita.
Dita menggelengkan kepala, mengusap wajahnya dengan kasar. "Itu hanya sebagai alasan agar Dimas bisa mengijinkan kami melihat Risya."
Tatapan Dita penuh pengharapan. Reno hampir goyah melihat wajah yang sembab itu. Astaga! Tangan itu terasa bergetar. Ingin sekali menggapai Dita, menghapus air mata yang menganak sungai itu. Mendekapnya, memberikan kenyamanan dan berjanji tidak akan membiarkan setetes air mata kesedihan kembali mengalir dari wajah yang sudah dipenuhi air mata itu.
Reno menggeleng, membuang muka. Tangannya mengepal. Tidak. Dita sekarang milik Revano, abangnya. Dia harus tahu posisinya sekarang sebagai apa.
"Reno, mari bilang pada orangtua kita. Katakan perjodohan itu diganti, kamu denganku. Revano tidak akan keberatan." Risya menyumbangkan ide yang tiba-tiba melintas difikirannya.
Wajah cantik itu menoleh pada Revano. "Kamu tidak keberatan kan, Revano? Tidak masalah 'kan jika yang dijodohkan denganku adalah kembaranmu?"
Wajahnya menemukan pengharapan baru. Revano tidak menjawab, begitupun Reno. Tidak terlintas dipikirkan mereka ide seperti itu.
"Ayo, Reno. Kita berjuang sama-sama. Kamu atau Revano sama saja. Kalian dua bersaudara yang kembar. Kalian adalah anak pertama orangtua kalian. Ayo, Reno. Kita harus bicarakan ini pada orangtua kita," ucap Dita dengan semangat baru.
Revano segera pergi dari hadapan mereka. Astaga! Yang diucapkan Dita benar. Entah demi apa, Revano setuju dengan usul Dita kali ini. Hanya saja, ia ingin sendiri untuk sekarang.
***
"Ada apa, Risya? Kenapa kamu tidak mau makan?" Tisa mengusap kepala anaknya yang tengah bersandar di ranjang rumah sakit itu.
Wajah putrinya begitu sayu. Seperti malam hari yang tanpa cahaya bintang dan bulan. Pikiran Risya begitu kosong, sekosong langit malam saat ditinggal bulan dan bintang. Tidak ada apa pun, bahkan awan gelap sekalipun.
"Biar Dimas coba, Tante." Dimas menawarkan diri. Laki-laki itu berdiri di sebelah Tisa, menyodorkan tangannya pada Tisa.
Tisa berdiri sambil memberikan semangkuk bubur pada Dimas. Setelah bubur itu berpindah tangan, dia pindah duduk di sisi satunya sebelah Risya.
"Badan kamu panas banget, Sya. Kamu harus minum obat biar sembuh. Sebelum minum obat dianjurkan makan dulu. Aaa ..." Dimas menyodorkan sesendok bubur di depan bibir Risya.
Gadis berbibir pucat itu membuang muka, menolak suapan Dimas. Panggilan Dimas tadi membuat moodnya bertambah rusak.
Astaga! Itu panggilan dari Revano untuknya.
Memang tidak spesial, karena itu memang namanya. Tapi entahlah. Jika nama itu terucap dari bibir Revano, nama itu terasa begitu spesial. Membuat jantungnya ingin lompat dari tempatnya. Karena sejatinya, tidak ada yang memanggilnya seperti itu.
Orangtuanya selalu memanggilnya dengan nama lengkap, Risya. Ataupun diwaktu tertentu, 'Ris' adalah panggilannya.
Membayangkan Revano membuat Risya mengingat ucapan laki-laki itu di depan ruangannya tadi. Astaga. Mata Risya masih cerah untuk melihat. Telinganya jelas bersih untuk memastikan ucapan itu benar-benar terucap dari bibir Revano.
Dengan matanya ia melihat, tangan Revano menggenggam tangan Dita erat, mengusap air mata dari pipi sahabatnya itu dengan tatapan yang ... Astaga, Revano membelakanginya tadi. Ia tidak bisa melihat tatapan Revano pada sahabatnya seperti apa. Penuh cinta 'kah?
Dengan telinganya pun ia bisa dengar. Kalimat itu ... menyakitkan sekali. Revano mengakui sahabatnya sebagai calon tunangannya. Astaga! Ada yang teremas di dalam sana. Nyeri sekali rasanya.
Membayangkan kejadian itu membuat air mata Risya jatuh. Dia tidak tahu, kenapa rasanya sesakit ini. Revano hanya bodyguard Risya yang hanya satu bulan menjabatnya. Dia melakukan tugasnya benar-benar sebagai seorang bodyguard. Tidak lebih, Risya akui itu.
Perasaannya sangat salah. Tidak ada yang aneh dari ucapan Revano tadi. Mungkin Dita memang berhak mendapatkan ucapan dan perlakuan dari Revano.
Astaga! Kenapa harus Dita? Kenapa harus satu-satunya sahabat yang Risya miliki? Kenapa? Apa tidak ada wanita lain?
"Sayang, katakan sesuatu. Apa yang kamu mau? Bertemu Papa? Mama bisa meminta Papa pulang sekarang," ucap Tisa sambil memeluk Risya.
Risya menggeleng. Papa? Apakah Papanya yang memaksa Revano berhenti menjadi bodyguardnya? Risya kembali menggeleng, sangat kuat. Jelas-jelas Revano yang mengatakan kalau dia sudah ditemukan oleh keluarganya. Dia harus kembali. Risya ini bagaimana?
"Ada apa, Sayang? Ada yang sakit?" tanya Tisa sambil mengusap kepala Risya. Wanita yang melahirkan Risya itu duduk di ranjang, di sebelah Risya. Melihat putrinya selalu menggeleng, membuatnya khawatir.
"Biar aku panggilan Dokter, Sya." Dimas berdiri. Ia sama khawatirnya dengan Tisa saat melihat Risya seperti itu.
Risya menggeleng, menjatuhkan kepalanya di bahu Tisa. "Risya mau istirahat, Ma."
Tisa mengangguk. Suara Risya sangat lirih, ia sangat menajamkan pendengarannya saat Risya berucap.
"Kamu istirahat saja dulu. Nanti kalau sudah enakan, bangunnya langsung makan, ya?" Tisa membenarkan selimut Risya, mengecup pucuk kepala putrinya dengan sayang.
"Dimas izin keluar sebentar ya, Tan. Ada sesuatu yang harus Dimas lakukan," ucap Dimas sambil mendekati Tisa, mencium punggung tangannya.
Tisa mengangguk.
***
Revano kini tengah berada di danau, tempat yang sering Risya kunjungi. Ia duduk di kursi di bawah pohon, tempat ia memberikan boneka panda milik Risya.
Bayang-bayang Risya menari dipikirannya. Saat mereka duduk di kursi itu, atau pun saat mereka duduk di atas rerumputan dengan tanpa alas. Bahkan membaringkan tubuhnya di sana saat malam hari.
Sangat lama Revano berada di sana. Tidak terhitung puluhan panggilan memasuki ponselnya. Dia abai. Mungkin saja itu keluarganya yang meminta ia untuk kembali.
Tidak. Revano akan kembali jika pikirannya sudah tenang. Sebelum ia mendapatkan jalan pintas untuk perjodohan itu, Revano tidak ingin kembali.
"Ide Dita," lelaki itu bergumam.
Yang dikatakan Dita tidak salah. Dia dan Reno adalah saudara kembar. Papanya bisa menjodohkan Reno dengan Dita. Bukan Revano dan Dita.
Apa bedanya? Mereka saudara kembar. Mereka sama-sama anak pertama Tama dan Nathalie jika alasan Tama menjodohkan Revano dan Dita karena Revano anak sulungnya.
Reno bisa mereka katakan anak sulung mereka. Tanggal lahirnya sama dengan Revano. Mereka lahir di jam yang sama. Apalagi alasan Tama untuk menghalangi kisah cinta Reno dan Dita?
Senyum tipis menghiasi wajah tampan Revano. Matahari siap terbenam di depan sana. Astaga! Matahari ini juga mengingatkan Revano pada Risya.
'Aku sudah menjalankan peranku sebagai sunset, Sya. Sebagai matahari terbenam untukmu. Aku sudah memberikan kebahagiaan yang begitu singkat, aku tahu kamu merasakannya.'
Revano berdiri dari duduknya dan berjalan di tepi danau. Senyumnya menghilang, wajah datarnya kelihatan. Tatapannya persis menghadap ke matahari terbenam yang terlihat indah.
Tidak lebih dari satu menit, matahari sempurna menghilang. Menyisakan semburat jingga yang terlihat.
'Sesingkat itu pertemuan kita, Sya. Kini, sunset-mu ini harus pergi. Maaf, jika kepergianku memberikan kenangan yang begitu indah. Tapi nyatanya, aku harus merelakanmu untuk sahabatku.'
Di bawah siluet jingga, Revano memejamkan matanya sambil bergumam dalam hati, 'Kini aku menyadari perasaanku padamu, Sya. Satu bulan, waktu yang cukup membuatku jatuh cinta padamu.'
•••••
Bersambung
Sedih aku tuhh sepi gini