Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
“Ini bentengnya! Ini bentengnya! Bertahan... tunggu bantuan, tunggu bantuan!”
Seorang prajurit komunikasi terus mencoba mengirimkan sinyal lewat radio usang yang sudah berderak-derak. Namun hasilnya nihil, tak ada jawaban, hanya suara desis.
Mayor Wiratmaja, yang berjaga di pos radio, menghela napas panjang. Keningnya berkerut dalam. Ia tahu ini perang, ia tahu lawannya Belanda dengan persenjataan modern. Tapi pertanyaan di kepalanya tak berhenti berputar di mana pasukan kita yang lain? Kapan bala bantuan datang? Apa langkah berikutnya?
Segalanya serba tak pasti.
“Aku rasa ini bukan serangan kecil, Mayor,” ujar instruktur lapangan, “Benteng ini jalur penting. Kalau Belanda bisa merebutnya, mereka bisa langsung menekan pasukan kita di pedalaman.”
“Kita tidak bisa memastikan, Joko,” jawab Mayor Wiratmaja singkat, “Yang jelas kita dalam masalah besar... dan butuh bantuan secepatnya.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan pelan, “Tapi itu jangan pernah kau bilang ke anak-anak prajurit.”
Mayor Wiratmaja meraih ikat pinggangnya, mengencangkan gesper, lalu keluar dari ruang bawah tanah yang jadi markas darurat.
Ia berlari kecil melewati puing-puing tembok benteng yang hancur dihantam meriam Belanda. Begitu sampai di garis pertahanan, tatapan para prajurit langsung tertuju padanya. Ada harapan besar di mata mereka. Mereka semua ingin mendengar kabar baik.
Kecuali Surya. Ia tahu betul, kabar baik itu tidak ada.
“Kawan-kawan!” seru Mayor Wiratmaja lantang, “Kabar buruknya... kita belum bisa menghubungi markas besar.”
Para prajurit terdiam. Wajah mereka langsung surut, semangat seakan lenyap.
“Tapi!” suara Mayor Wiratmaja kembali mengeras, “Percayalah, ini bukan akhir. Kita sudah berkali-kali menggagalkan serangan Belanda. Mereka tidak sehebat itu, kan?”
Para prajurit saling menatap, mencoba meyakinkan diri. Dan benar, ucapan itu membuat hati mereka sedikit tenang.
Namun Surya tahu kenyataan di luar sana jauh berbeda. Pasukan militer di luar benteng sedang ditekan habis-habisan. Belanda menggempur dengan tank, meriam, dan pesawat. Banyak laskar tercerai-berai, banyak divisi yang nyaris hancur.
“Jadi!” teriak Mayor Wiratmaja menutup pidatonya, “Jangan menyerah, kawan-kawan! Besok... aku yakin bala bantuan akan datang. Belanda akan terkepung. Kita hanya perlu bertahan sampai esok hari!”
Semangat pun mulai menyebar lagi. Ucapan “bertahan sampai besok” seakan jadi mantra.
“Tidak sulit!” kata Okta, prajurit muda yang masih lugu, sambil melirik jam sakunya. “Kita sudah bertahan lima jam. Ya, besok paling tinggal beberapa serangan lagi, lalu selesai.”
“Tidak, Okta!” potong Surya cepat.
“Apa maksudmu?”
“Pertempuran ini... tidak akan selesai secepat itu,” jawab Surya dengan nada berat. “Kau harus siap, ini bisa berlangsung lama.”
Okta malah tertawa kecil. “Ah, Surya! Jangan pesimis begitu. Kita prajurit, perang memang makanan kita sehari-hari, kan?”
Surya hanya terdiam. Ia tahu, sekalipun ia menjelaskan kenyataan pahit, tak ada yang akan percaya. Malah bisa-bisa ia dituduh mata-mata Belanda.
Namun diam bukan berarti hatinya tenang. Surya sadar betul benteng ini sudah terkepung. Belanda bisa menahan mereka berbulan-bulan. Makanan makin menipis. Bertahan di sini sama saja dengan menunggu ajal.
Satu-satunya harapan adalah keluar. Menerobos. Semakin cepat, semakin baik.
Dan Surya ingat, beberapa hari lalu masih ada celah. Pengepungan Belanda belum begitu rapat. Mereka masih sibuk dengan operasi kilat ke desa-desa. Di utara benteng, hutan lebat terbentang luas. Kalau berhasil menembusnya, mereka bisa selamat.
Bagi Surya, bertahan di benteng hanya berarti mati pelan-pelan. Sementara menembus kepungan, meski penuh risiko, masih ada harapan.
Masalahnya, para pembela benteng sama sekali tidak tahu kondisi di luar. Mereka menunggu bala bantuan berhari-hari, tetap bertahan dalam kepungan, berharap pasukan Militer dari luar segera datang. Namun kenyataannya, bantuan itu tak kunjung tiba. Dan ketika akhirnya mereka mencoba menerobos pada hari keempat... segalanya sudah terlambat.
Hal itu membuat Surya semakin tertekan.
Jika ia ingin menyelamatkan nyawanya sendiri, ia harus segera menyampaikan kenyataan pahit bahwa satu-satunya cara hanyalah keluar dari benteng sesegera mungkin. Tapi ia juga sadar, jika terlalu banyak bicara, ia bisa saja dicurigai sebagai mata-mata Belanda.
Tidak ke kiri, tidak ke kanan. Surya benar-benar serba salah. Ia hanya bisa gelisah, mondar-mandir di dalam parit sempit yang dipenuhi lumpur dan bau mesiu.
Tiba-tiba, dua prajurit komunikasi muncul dari lorong tanah. Salah satunya menatap tajam ke arah Surya.
“Surya Darman?” tanyanya lantang.
“Ya!” jawab Surya refleks, agak terkejut.
“Mayor ingin bertemu denganmu!”
“Aku?” Surya mengernyit. Ia sempat mengira orang itu salah panggil.
“Ya, kamu!” Prajurit itu mendekat, sorot matanya penuh curiga. Ia menggeser senapan dari punggung ke depan, lalu menegaskan dengan nada kasar, “Ikut kami!”
Surya menelan ludah. Di sampingnya, Okta terperangah, sama bingungnya. Mereka berdua tahu, panggilan seperti ini biasanya bukan pertanda baik.
Saat Surya hendak melangkah, prajurit itu kembali menahannya.
“Tunggu. Serahkan senjatamu.”
Tanpa memberi kesempatan Surya membantah, prajurit lain langsung melucuti senjatanya. Badannya diperiksa dari kepala sampai kaki, bahkan ikat pinggang dinasnya ikut ditarik paksa.
Okta hanya bisa menatap dengan wajah sedih. “Semoga beruntung, Surya... kawan malangku.”
Beberapa prajurit lain yang melihat kejadian itu ikut menoleh. Tatapan mereka penuh curiga, ada juga yang sinis. Bisik-bisik terdengar, menusuk telinga Surya lebih tajam dari peluru.
“Aku tahu orang ini nggak beres!”
“Ya, komandan memang sudah lama curiga sama dia.”
“Pengkhianat! Malu-maluin!”
Beberapa bahkan meludah ke tanah, tepat ke arah Surya yang sedang digiring.
Surya menunduk. Dadanya sesak. Ia tidak tahu apa kesalahannya. Ia memang tahu banyak hal yang seharusnya tak diketahui prajurit biasa, tapi ia tak pernah mengucapkannya.
Sekarang, ia hanya bisa pasrah. Melangkah satu langkah demi satu langkah, mengikuti prajurit komunikasi itu, menuju pertemuan yang entah akan berakhir seperti apa.