NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:11.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

Dokter keluar dari ruang ICU dengan raut wajah serius. Semua yang menunggu langsung berdiri tegang.

Mama Lena menggenggam tangan suaminya, sementara Aldric melangkah cepat menghampiri sang dokter.

“Pak Aldric… Tuan Maxim,” ucap dokter dengan nada hati-hati namun tegas,

“Kami sudah berhasil menstabilkan kondisi Arlena. Tapi ada sesuatu yang perlu kami sampaikan…”

Napas semua orang tertahan.

“Arlena mengalami kerusakan serius pada sistem saraf pusatnya akibat zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuhnya. Zat tersebut menyerang jaringan otak dan sumsum tulang belakang secara cepat. Dengan kata lain…”

Dokter berhenti sejenak, menatap mereka dengan iba.

“Arlena mengalami kelumpuhan sistem saraf. Ini berarti dia tidak dapat menggerakkan tubuhnya dari leher ke bawah dan kemungkinan juga tidak dapat berbicara secara normal untuk sementara waktu.”

Mama Lena langsung menutup mulutnya, tubuhnya limbung.

Tuan Maxim memeluknya erat. Air mata tak terbendung lagi.

Aldric diam mematung, wajahnya pucat. Dunia seperti berguncang dalam hitungan detik.

“Apakah dia sadar?” tanya Aldric dengan suara pelan, hampir tak terdengar.

“Saat ini dia sadar. Tapi tubuhnya tidak merespons. Kami akan melakukan observasi intensif dan mengupayakan terapi secepat mungkin. Tapi kami harus jujur, peluang pemulihannya... sangat kecil.”

“Boleh saya menemuinya?”

Dokter mempersilakan mereka untuk melihat Arlena yang ada di dalam.

Saat Aldric masuk kembali ke ruangan, ia melihat Arlena dengan mata terbuka samar. Air mata menetes dari sudut matanya meski tubuhnya tak bergerak. Aldric mendekat, berjongkok di samping ranjangnya.

“Aku di sini…” bisiknya dengan suara penuh luka. Ia membelai rambut Arlena dengan lembut.

“Kamu dengar aku, kan? Aku janji, aku tidak akan meninggalkanmu. Walau kamu tidak bisa berdiri... aku akan menjadi kakimu. Kalau kamu tidak bisa bicara, aku akan jadi suaramu.”

Air mata Arlena mengalir makin deras.

Dan di ruangan ICU yang sunyi itu, cinta yang tulus tumbuh dalam kesedihan terdalam menguat dalam janji yang tak akan pernah dikhianati.

Anak buah Tuan Maxim datang tergesa ke ruang tunggu rumah sakit, tempat Aldric, Tuan Maxim dan Mama Lena masih duduk dengan wajah penuh cemas.

Wajah pria itu serius, namun ada ketegasan dalam nadanya.

“Tuan Maxim,” ujarnya sambil membungkuk sedikit hormat.

“Orang yang meracuni Nona Arlena sudah kami tangkap.”

Sontak semua orang berdiri. Aldric melangkah maju. “Siapa pelakunya?”

“Seorang wanita menyamar sebagai pelayan. Dia menggunakan identitas palsu. Namanya Leona.”

Mama Lena langsung terperanjat.

“Leona?” ucapnya lirih, seperti mengenali nama itu.

“Benar, Nyonya. Dia menyusup ke dalam rumah dan memberikan cairan berbahaya dalam air madu Nona Arlena tadi malam.”

Tuan Maxim mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras menahan emosi.

“Di mana dia sekarang?”

“Kami menyerahkannya kepada pihak kepolisian di Singapura. Dia sedang dalam proses interogasi.”

Aldric menghela napas panjang, separuh lega, separuh masih diliputi amarah.

“Pastikan dia mendapatkan hukuman setimpal.”

“Baik, Tuan.”

Tuan Maxim menoleh ke Aldric, suaranya dalam dan mantap.

“Aku janji, Aldric. Tak ada satu pun yang menyakiti Arlena tanpa harus membayar harganya.”

Aldric mengangguk, namun tatapannya kembali tertuju ke arah ICU.

Hatinya belum tenang. Selama Arlena belum tersenyum seperti dulu lagi, semua belum benar-benar selesai.

Dan di luar rumah sakit, langit mulai mendung… seolah ikut menyimpan duka yang masih menggantung di antara harapan dan ketidakpastian.

Di ruang tunggu rumah sakit yang masih diselimuti keheningan, Aldric berdiri tegak di hadapan Tuan Maxim dan Mama Lena.

“Aku ingin menikah dengan Arlena,” ucapnya dengan suara mantap.

Mama Lena yang tengah duduk, langsung menoleh padanya, menatap dalam-dalam.

“Aldric, kondisinya seperti ini. Arlena belum sadar sepenuhnya, dan dokter bilang syarafnya bisa lumpuh. Kamu yakin?”

Aldric menunduk sejenak, lalu perlahan berlutut di hadapan keduanya.

“Saya tahu ini bukan saat yang biasa untuk meminta restu.

Tapi saya tidak mencintai Arlena karena kesempurnaannya.

Saya mencintainya karena siapa dia dengan semua luka, trauma, dan kekuatan yang ia miliki. Saya ingin tetap di sisinya, dalam kondisi apapun.”

Mama Lena terdiam. Matanya berkaca-kaca, melihat keteguhan di mata Aldric.

Tuan Maxim menggenggam tangan istrinya, lalu berkata pelan,

“Kamu tahu, nak hidup bersama Arlena nanti tidak akan mudah.”

“Saya tahu, Pak. Tapi saya tidak mencari yang mudah. Saya mencari yang benar,” jawab Aldric mantap.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan sebelum Mama Lena mengangguk pelan, dengan air mata yang mulai jatuh ke pipinya.

“Kalau itu keputusanmu maka kami akan mendukungmu.”

“Jaga putri kami. Jangan pernah lepaskan tangannya, dalam keadaan apapun.”

Aldric mengangguk sambil mengusap matanya yang mulai basah

. Ia menoleh ke arah ruang ICU, tempat di mana Arlena sedang berjuang dalam diam.

“Arlena… sebentar lagi, aku akan menyebutmu istriku. Dan itu, tidak akan pernah berubah. Bahkan jika dunia runtuh.”

Di dalam ruang ICU yang sepi, mesin detak jantung berdetak pelan, berpadu dengan suara alat bantu pernapasan.

Cahaya lembut dari jendela menyorot wajah pucat Arlena yang masih terbaring lemah.

Tubuhnya tak banyak bergerak, tapi kelopak matanya perlahan terbuka.

Sekilas, ia melihat siluet Aldric duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya yang dingin.

"A...Aldric..." suara itu nyaris tak terdengar, hanya seperti desahan.

Aldric tersentak pelan, matanya langsung menatap wajah Arlena.

"Arlena...? Kamu sadar? Puji Tuhan..." ujarnya dengan suara bergetar, penuh harap dan kebahagiaan.

Namun, mata Arlena memandangnya sayu, penuh keraguan dan kepedihan yang dalam.

Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, ia berusaha menggerakkan bibirnya.

"Jangan... menikahi aku..."

Aldric membeku. Napasnya tertahan. "Apa maksudmu...?"

Air mata mengalir di sudut mata Arlena. Ia merasa tubuhnya tak lagi seperti dulu, jiwanya porak-poranda, dan masa depannya buram.

“Aku tidak ingin kamu terikat dengan seseorang yang tak bisa berjalan, menari, tak bisa memberi apa-apa...”

Aldric mengepalkan tangannya, lalu berdiri dan membungkuk ke arahnya.

“Arlena... dengar aku,” suaranya tegas namun lembut, “aku tidak mencintai tubuhmu. Aku mencintai hatimu. Kamu tetap wanita yang sama kuat, ceria, penuh kasih... kamu Arlena, orang yang membuat hidupku berarti.”

Tapi Arlena hanya menggeleng pelan. “Aku tidak ingin menjadi beban…”

Aldric menempelkan keningnya ke tangan Arlena. “Maka biarkan aku yang menanggung beban itu. Karena bagi aku, mencintaimu bukan kewajiban... tapi hak istimewa.”

Arlena menutup matanya kembali, air matanya jatuh diam.

Ia tak menjawab, namun genggamannya pada tangan Aldric sedikit menguat.

Dan di sanalah mereka, dua jiwa yang saling mencintai terikat bukan oleh janji yang mulus, tetapi oleh luka, kejujuran, dan kesetiaan yang paling tulus.

Hari itu, matahari di Singapura bersinar lembut seolah ikut memberkati sebuah momen langka yang begitu haru.

Meski mendadak, ruangan tempat upacara dilangsungkan telah dihias dengan penuh kesederhanaan namun elegan.

Tirai putih melambai tertiup angin, dan bunga-bunga segar memenuhi sudut-sudut ruangan dengan aroma yang menenangkan.

Para tamu berdatangan satu per satu—keluarga, sahabat dekat, serta beberapa rekan bisnis Tuan

Maxim yang mendengar kabar mengejutkan itu. Mereka tak percaya bahwa Arlena yang masih terbaring di kursi roda, akan menikah hari itu juga.

Namun ketika melihat tatapan mata Aldric, tak ada satu pun yang bisa menyangkal cinta yang begitu kuat mengikat mereka.

Pendeta berdiri di tengah ruangan, mengenakan jubah putih, dengan kitab suci di tangannya.

Di hadapannya, Aldric berdiri tegap namun matanya basah, menanti sosok gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.

Arlena muncul, didorong perlahan oleh Dena dengan mengenakan gaun putih sederhana, namun tampak begitu cantik dalam ketenangan dan kelemahannya.

Riasan di wajahnya lembut, menyembunyikan bekas luka dan duka yang masih baru. Tapi senyumnya—ya, senyum itulah yang membuat ruangan terasa hangat.

Aldric melangkah menghampiri, menunduk dan mencium tangan Arlena.

Dengan mata berkaca-kaca, Arlena menatap Aldric,

“Aku masih takut.”

Aldric mengangguk pelan, menggenggam tangannya,

“Aku juga… tapi lebih takut kehilanganmu.”

Upacara dimulai dan pendeta mengucapkan doa dan restu.

Suasana hening, hanya suara pendeta yang terdengar dan sesekali isak tangis tamu yang tak bisa menahan haru.

“Saya tanya kepada Anda, Tuan Aldric—apakah Anda bersedia mencintai dan merawat Arlena, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam suka dan duka, sampai maut memisahkan?”

“Saya bersedia,” jawab Aldric dengan suara penuh keyakinan.

“Dan Anda, Nona Arlena, apakah Anda bersedia menerima Aldric sebagai suami, dalam segala keterbatasan maupun kekuatan, dan tetap mencintainya seumur hidup Anda?”

Arlena mengangguk pelan. “Saya bersedia,” jawabnya dengan suara lirih namun tegas.

“Dengan ini, saya nyatakan kalian sebagai suami dan istri.”

Tepuk tangan dan tangis bahagia meledak dari para tamu.

Aldric membungkuk perlahan, mencium kening Arlena, dan berbisik, “Kita sudah sampai di sini… bersama.”

Hari itu bukan hanya sebuah pernikahan tetapi kemenangan cinta atas luka, keberanian atas ketakutan, dan harapan atas segala kemungkinan.

1
Rohana Omar
up la 1 atu 2 bab baru hati nak bacanya....ni up 1 bab lepas tu tercari2 bab seterusnya......
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!