NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Siapa dia

“Aku melihat pedang itu dipakai seseorang,” jawab Fandi akhirnya.

Atha menegang.

“Seseorang?” ulangnya.

“Alta kembali?”

Nada suaranya langsung berubah waspada.

“Kalau memang dia, kenapa tidak langsung ke sini?”

Fandi menggeleng pelan.

“Bukan, Ayah,” katanya lirih.

“Yang menggunakan pedang itu… seorang wanita.”

Ruangan seketika sunyi.

“Apa?” Atha menatap putranya tajam.

“Pedang yang mana yang ia gunakan?”

Ia maju satu langkah.

“Kurotsumi Muramasa… atau Seishin Masamune?”

Fandi mengangkat wajahnya.

“Keduanya, Ayah.”

Udara seperti membeku.

“Itu tidak mungkin,” kata Atha tegas.

“Kalaupun ada yang memiliki pedang itu, paling hanya satu. Itupun orang-orang tertentu dari Jepang.”

Ia menggeleng pelan.

“Kedua pedang itu tidak di perjual belikan di era sekarang. Mereka hanya dipajang di museum, atau di tempa ulang versinya. Yang asli… terlalu berbahaya.”

Sorot mata Atha mengeras.

“Apalagi jika jatuh ke tangan orang yang salah.”

Fandi menarik napas.

“Entahlah, Ayah,” katanya jujur.

“Tapi dia menguasai empat teknik pedang.”

Atha terdiam lama.

“Siapa gadis itu…” gumamnya.

“Apakah… dia anak Alta?”

Fandi mengerutkan dahi.

“Paman punya anak?” tanyanya bingung.

“Setahu Ayah, tidak,” jawab Atha.

“Dia tidak pernah menikah.”

Namun raut wajahnya berubah ragu.

“Tapi… bisa saja,” lanjutnya pelan.

“Banyak hal yang tidak kamu ketahui. Termasuk soal keturunan.”

Ia menghela napas.

“Kalau benar ada anak, sangat mungkin semuanya disembunyikan. Kamu saja yang dikenal publik. Jika dua, musuh akan semakin gencar.”

Atha menatap kosong, pikirannya bekerja cepat.

“Mungkin itu alasan Alta menghilang… dan menyembunyikan segalanya.”

Ia lalu menoleh ke Fandi.

“Kalau memang dia anak Alta… kenapa dia ada di sini?”

“Kalau mencari kita, Alta pasti tahu alamat rumah ini.”

Atha terdiam sesaat, lalu berkata tegas,

“Bisa kamu bawa Ayah menemui gadis itu?”

Fandi menoleh cepat.

“Ayah ingin memastikan,” lanjut Atha.

“Kalau memang itu pedang milik Alta… pasti ada nama Dirgantara di sarungnya.”

“Bisa, Ayah,” jawab Fandi tanpa ragu.

“Besok aku antar.”

“Kamu akan pulang?” tanya Atha.

Fandi menggeleng.

“Tidak, Ayah. Aku tidur di sini saja.”

Ia menarik napas panjang.

“Supaya besok kita bisa langsung ke sana. Jujur saja… aku sangat penasaran.”

Fandi menunduk sejenak, lalu melanjutkan dengan suara berat,

“Ayah tahu dia gadis yang pernah aku tolong. Saksi mata pembunuhan Paman Hans.”

Atha mengangguk pelan.

“Bahkan sebelum diculik, dia sempat koma,” lanjut Fandi.

“Aku heran… dia bisa bertarung dengan pedang selevel itu. Tapi kenapa saat disekap… dia tidak melawan?”

Ia mengusap wajahnya frustasi.

“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Ayah.”

“Mungkin…” Atha menjawab tenang,

“dia sedang menyembunyikan identitasnya.”

Fandi menatapnya.

“Maksud Ayah?”

“Terkadang,” ujar Atha pelan,

“seseorang memilih tidak memperlihatkan kemampuan aslinya.”

Ia menoleh ke jendela.

“Karena terlalu banyak hal yang dipertaruhkan. Jika terus melawan, darah akan terus mengalir. Jika ia menang, dendam akan mengejarnya.”

Atha kembali menatap Fandi.

“Dan pertumpahan darah tidak akan pernah berhenti.”

Fandi terdiam.

“Ayah tahu,” lanjut Atha.

“Kalau Ayah melihatnya langsung… mungkin Ayah akan bereaksi sama sepertimu.”

Ia menghela napas pelan.

“Begitulah cara seseorang menyembunyikan jati dirinya.”

Atha lalu beranjak.

“Sudah. Masuk kamar dan istirahat,” katanya.

“Besok Ayah harus menemui gadis itu.”

“Aku tidur di kamar Ayah saja,” ucap Fandi.

“Aku ganti baju dulu.”

Atha hanya mengangguk, memperhatikan putranya berjalan keluar.

Sementara itu — di kontrakan sederhana tempat tiga gadis itu tinggal.

“Kriiing—kriiing—kriiing!”

Alarm di kamar Rami dan Rora berbunyi bersamaan.

Keduanya mengucek mata, bangkit dari tempat tidur, lalu mencuci wajah.

Tak lama, mereka keluar dari kamar masing-masing.

Di tangan mereka—

tas olahraga panjang.

Rami pun keluar tak lama kemudian, membawa tas serupa.

“Ra, Epi gimana?” tanya Rami pelan.

“Kalau lihat jam segini, pasti dia sudah latihan,” jawab Rora.

Rami menghela napas.

“Tetap saja kita perlu dipantau,” katanya.

“Kamu tahu sendiri kemampuan Epi. Bisa dibilang setara guru.”

Rora mengangguk pelan.

“Bahkan guru kalau bertarung tidak bersuara,” lanjut Rami,

“tapi waktu latihan… Epi bisa bikin guru sampai bersuara.”

Rora berpikir sejenak.

“Coba ketuk saja,” katanya akhirnya.

“Kalau dia tidak jawab, berarti sudah tidur. Kita latihan sendiri dulu.”

Ia melirik Rami.

“Tapi kalau dia bangun, ya harus ikut lihat. Lagian kita sudah lama banget tidak latihan.”

Rami mengangguk, lalu melangkah menuju kamar Epi.

Tok… tok… tok…

“Pi, sudah tidur?” panggil Rami.

Ceklek—

Pintu terbuka.

“Ada apa?” tanya Epi.

Rambutnya masih sedikit basah.

Ia tampak seperti baru selesai mandi.

“Kamu sudah latihan, ya?” tanya Rami.

Epi hanya mengangguk kecil.

“Kami mau latihan, Pi,” lanjut Rami.

“Kamu seperti biasa saja—lihat dan pantau.”

Rora ikut menimpali,

“Kami mau tahu apakah kemampuan kami turun atau tidak. Soalnya sudah lama banget tidak latihan.”

“Baiklah,” jawab Epi singkat.

Ia langsung keluar kamar.

Rami dan Rora tersenyum senang.

Ketiganya membawa tas olahraga panjang.

Saat mendekati gerbang, Rami mematikan tingkat pengaman.

Begitu mereka keluar, pengaman itu kembali diaktifkan.

Tiga gadis itu berjalan menuju lapangan tak jauh dari kontrakan—

lapangan yang sama, gelap dan sunyi, tempat Epi berlatih tadi malam.

Sesampainya di sana, mereka saling berpandangan sejenak.

“Pemanasan dulu,” kata Epi.

“Itu paling aman. Aku juga begitu tadi.”

“Berapa putaran?” tanya Rora.

“Kalau aku, lima puluh,” jawab Epi santai.

Ia melepas sandal, lalu duduk di atasnya, jelas hanya akan mengamati.

“Kalian terserah.”

Rora menoleh ke Rami.

“Gimana, Ram? Lima puluh saja,” katanya.

“Lagian kita benar-benar lama tidak latihan. Takut kaku.”

Rami mengangguk.

Tanpa banyak bicara, mereka mulai berlari.

Langkah kaki menyapu rumput basah.

Tangan sesekali digerakkan untuk pemanasan.

Lapangan kembali dipenuhi suara napas dan derap langkah.

Epi hanya memperhatikan—

tenang, fokus, matanya tidak pernah lepas dari gerakan mereka.

Hingga putaran ke lima puluh.

Rami dan Rora berhenti hampir bersamaan.

Napas mereka tersengal.

Tubuh langsung direbahkan di rerumputan.

Malam kembali sunyi.

Beberapa menit berlalu.

Perlahan, keduanya bangkit…

dan latihan yang sebenarnya

baru akan dimulai.

“Siapa duluan?” tanya Rami sambil menoleh.

“Aku atau kamu, Ra?”

“Kamu saja dulu,” jawab Rora.

Rami mengangguk.

Keduanya melangkah mendekat ke Epi.

Rora duduk di sisi Epi, sementara Rami berhenti beberapa langkah di depan mereka.

Ia membuka tasnya.

Dari dalamnya, Rami mengeluarkan pedang miliknya—

Tsukikage Yoru.

Bayangan Bulan—Malam.

Rami berjalan ke tengah lapangan.

Tubuhnya tegak, bahu rileks.

Ia menarik napas.

Langkah pertamanya ringan.

Tidak ada hentakan berat—setiap telapak kaki menyentuh tanah tanpa mengusik keseimbangan tubuh.

Krrt—

Tsukikage Yoru keluar dari sarungnya.

Bilahnya lentur, ringan, berkilau samar di bawah sinar bulan.

Cahayanya tidak mencolok, justru menyatu dengan gelap.

Rami tersenyum tipis.

Ia tahu—

pedang itu membaca niatnya.

Gerakannya bukan tebasan keras.

Bukan kekuatan mentah.

Ini tipu daya.

Ia menunduk rendah.

Tebasan mendatar menyapu—seolah menghancurkan lawan di depannya,

namun sebenarnya hanya memancing pandangan.

Putaran pinggang menyusul.

Pedang menyapu diagonal.

Bayangan tubuhnya terbelah.

Sulit membedakan mana yang nyata.

Yamiyo no Mai.

Gerakan gelap, menyelinap.

Rami bergerak dari kiri ke kanan,

meninggalkan jejak bayangan yang tertinggal sepersekian detik di mata.

Ia berhenti sejenak.

Napas tertahan.

Di dalam genggamannya, Tsukikage Yoru bergetar halus—

seolah merasakan arah serangan yang tak terlihat.

Rami kembali maju.

Tebasan kecil, cepat, beruntun.

Menyasar titik-titik lemah imajiner.

Ia meloncat.

Arah pedang berubah di udara—

melayang sejenak, lalu turun mengunci posisi.

Tidak ada darah.

Tidak ada jeritan.

Namun udara di sekitarnya mengeras,

tegang, seperti ditarik terlalu kuat.

Beberapa putaran kemudian,

Rami menarik pedang itu ke samping.

Ia menatap bulan.

“Belum cukup,” gumamnya pelan.

Senyum tipis terbit di bibirnya.

Tsukikage Yoru berhenti bergerak seketika.

Diam.

Tenang.

Seolah mengangguk—

siap mengikuti langkah berikutnya,

siap menyambut siapa pun yang cukup berani menghadang.

Rami lalu menoleh ke arah kedua temannya

dan melangkah mendekat.

“Gimana?” tanya Rami saat mendekat.

Epi mengangguk pelan.

“Kamu tidak lupa. Dan itu bagus. Tinggal satu hal—kalau kamu lebih rajin lagi, gerakanmu bisa jauh lebih berbahaya.”

Rami tersenyum puas lalu duduk di samping Epi.

“Baiklah,” ujar Rora sambil berdiri.

“Sekarang giliranku.”

Ia melangkah ke tengah lapangan, menggenggam pedangnya—

Shinkai Raijin.

Laut Dalam—Dewa Petir.

Rora berdiri tegak.

Ia menarik napas panjang, menenangkan denyut jantungnya.

Saat embusan itu keluar—

Krrt—

Shinkai Raijin keluar dari sarung.

Pedangnya terasa ringan, hampir menyatu dengan telapak tangan.

Bilahnya memantulkan cahaya bulan tipis—tidak silau, tidak menonjol.

Rora tersenyum kecil.

Pedang ini tidak menuntun.

Ia mengikuti.

Langkah pertamanya bukan serangan.

Loncatan kecil ke kanan—

pedang berputar setengah lingkaran.

Kaminari no Sen.

Udara terbelah cepat, meninggalkan bayangan yang tertinggal sepersekian detik di belakang bilah.

Rora langsung maju.

Ia melonjak ke depan, tubuhnya berputar penuh di udara—

tebasan diagonal menyambar turun.

Tidak terputus.

Satu gerakan mengalir ke gerakan berikutnya,

cepat—namun tetap terkendali.

Kaki Rora bergerak ringan.

Langkahnya pendek, gesit, seperti tarian yang disamarkan sebagai serangan.

Setiap putaran pinggang mengalirkan tenaga ke bilah.

Setiap ayunan memancing bayangan lawan imajiner—

memaksa reaksi yang terlambat.

Shinkai Raijin berdesis lembut,

seolah memindahkan energi tubuh Rora langsung ke udara.

Tidak brutal.

Tidak ragu.

Cepat.

Tepat.

Rora berhenti mendadak.

Napasnya teratur.

Ia menatap bulan yang menggantung pucat di langit.

Udara di sekelilingnya terasa terpotong-potong—

bekas gerakan yang terlalu cepat untuk diikuti mata.

Rora tersenyum tipis.

“Besok harus lebih cepat,” bisiknya.

Shinkai Raijin bergetar halus di tangannya,

seolah menyetujui.

Menunggu.

Untuk latihan berikutnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!