Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam, Bocah
Annisa membuka koper, menatap pakaiannya yang tertata rapi di sana. Ia mengingat ibunya. Setetes air matanya jatuh.
"Ibu." Ia menarik nafas dalam lalu menyeka air matanya.
Annisa mengeluarkan pakaian seperlunya. Dia akan menatanya besok. Sekarang dia mau mandi lalu tidur. Capek setelah perjalanan jauh. Lagian ini udah hampir jam 12 malam.
Annisa membawa handuk dan baju ganti di lengannya lalu keluar dari kamar.
Sepi. Ia menoleh ke kamar samping. Mungkin Abang lagi di dalam, pikirnya. Annisa melangkah ke ruangan sebelah mencari kamar mandi.
Pelan, ia mendorong pintu kamar mandi. Matanya langsung melebar.
"Wahh kamar mandi Abang estetik banget," Serunya kagum.
Kamar mandi ini bergaya modern minimalis, setiap detailnya tampak diperhatikan dengan cermat. Dindingnya dilapisi keramik marmer putih dengan pola halus, sementara lantainya menggunakan ubin abu-abu matte yang memberi kesan bersih dan elegan.
Sebuah shower kaca transparan frameless berdiri di sudut ruangan, lengkap dengan rain shower. Di sisi lain, ada cermin bundar besar dengan pencahayaan LED hangat di tepinya, memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan.
Annisa buru-buru masuk ke dalam bilik kaca setelah mengunci pintu dan membuka pakaian. Begitu menyalakan shower, air hangat dari rain shower turun membasahi rambut dan wajahnya, membuatnya refleks tersenyum lebar. Ia menengadah, menikmati sensasi hujan buatan itu, seperti anak kecil yang sedang bermain di bawah hujan sore hari.
“Waaah, keren banget!” serunya kagum.
Uap air mulai naik perlahan, membuat ruangan semakin hangat. Dia bermain hujan-hujanan bahkan hingga sepuluh menit.
Pintu kamar mandi terketuk pelan, membuat Annisa menjingkat kaget.
"Nisa, kamu di dalam?" suara Sagala terdengar dari luar.
Annisa buru-buru mematikan shower. "Iya, Bang. Bentar lagi selesai."
"Abang tunggu di ruang makan ya."
"Iya, Bang."
Tidak ada jawaban lagi, hanya suara langkah Sagala yang perlahan menjauh. Annisa buru-buru membersihkan diri, mengeringkan seadanya lalu mengganti pakaian di kamar mandi.
Setelah itu, ia cepat keluar. Clingak clinguk bentar dan langsung menemukan Sagala di sana. Di ruang makan dengan tiga kursi. Pria itu terlihat tengah menyiapkan dua gelas air dingin. Ya, dia tahu Annisa suka minuman dingin. Makan apapun, minumnya harus dingin.
Menyadari kehadiran Annisa, Sagala mengangkat wajah, pandangannya langsung terpaku pada gadis itu. Wajah yang bersih, kulit yang lembab setelah mandi, rambut basah yang masih menetes hingga ke bahu. Piyama longgar. Sagala menelan ludah tiba-tiba.
"Kamu nggak keringin rambut dengan benar? Masih netes-netes," ujarnya.
"Aku buru-buru jadi cuma pakai handuk doang, lupa nggak keringin rambut."
Sagala melangkah mendekat, menatap mata Annisa sesaat, tatapan dalam yang entah kenapa membuat udara di antara mereka terasa berat. Tapi detik berikutnya, Sagala melangkah melewatinya begitu saja.
"Astaga... tatapan mata Abang," gumam Annisa sambil menekan dadanya dengan kedua tangan. Ia memejamkan mata. 'Kalau jantungku sering begini terus, bisa mati muda aku,' batinnya panik sendiri.
Baru saja ia hendak mengatur napas, sesuatu yang hangat menyentuh kepalanya. Annisa membuka mata. Sebuah handuk kini berada di atas rambut basahnya.
“Keringin yang bener,” suara Sagala terdengar datar, tapi lembut. Ia sudah berjalan melewatinya lagi, menuju meja makan.
Annisa memegang handuk itu, senyum tipis terbit tanpa sadar. Tatapannya mengikuti langkah Sagala sampai pria itu duduk di kursi.
Ia buru-buru mengeringkan rambutnya, lalu ikut duduk di seberang Sagala.
“Itu ada ayam goreng, ada pecel lele. Terserah kamu mau yang mana. Dua-duanya juga boleh,” ucap Sagala tanpa menatapnya.
Annisa melirik piring di depannya. Ada dua potong ayam goreng, dua ekor lele, sambal, dan lalapan segar.
“Aku mau lele aja,” katanya mantap.
“Hm.”
Sagala mengambil ayam goreng untuk dirinya sendiri, memulai makan.
“Eh, nggak jadi. Aku mau ayam goreng aja deh.”
Sagala hanya mendengus kecil, tetap fokus dengan nasinya. Terserah aja terserah.
Annisa manyun. “Abang habis dari luar tadi?” tanyanya, memperhatikan makanan yang masih hangat. Ia tahu Sagala nggak sempat masak.
“Ya.”
“Berarti tadi aku di rumah sendirian dong?”
Sagala langsung menatapnya, tahu betul bocil satu itu paling penakut.
“Depan rumah doang. Tadi ada yang lewat,” katanya santai, mencoba menenangkan. “Udah, buruan makan. Nanti keburu dingin.”
Annisa mengangguk.
Setelah selesai makan, Sagala merapikan meja makan. Ia mengumpulkan piring kotor lalu membawanya ke wastafel.
"Abang, aku bisa bantu apa?" tanya Annisa, setengah bangkit dari kursinya.
Sagala tidak menoleh. "Diem aja di situ."
"Tapi aku mau bantu Abang," protes Annisa pelan.
"Abang bilang diem ya, diem aja di situ, bocah."
Annisa mengangkat bahu. “Hmm, ok.” Ia kembali duduk, menggoyang-goyangkan kaki di bawah meja sambil memperhatikan Sagala yang sedang mencuci piring. Kadang lelaki itu tampak serius, kadang terlihat lucu dengan busa sabun menempel di tangannya.
Setelah beberapa menit, suara air berhenti. Sagala mengeringkan tangannya dengan lap kecil lalu menoleh ke arah Annisa yang masih duduk manis di kursinya, dagu bertumpu di tangan, menatapnya sejak tadi.
"Udah mau jam satu dini hari, tidur dulu. Kamu pasti capek," ucap Sagala datar, tapi suaranya terdengar lembut.
Annisa hanya mengangguk pelan.
Sagala melangkah meninggalkan dapur. Refleks, Annisa langsung berdiri dan mengikuti di belakangnya. Dalam hati, ia mendengus pelan. Romantis dikit kek, Bang... gandeng tangan aku kek, minimal nengok ke belakang gitu.
Sagala berhenti tepat di depan kamar Annisa. Bahunya masih menghadap ke depan, tapi suaranya terdengar tegas. “Buruan tidur.”
Tanpa menoleh, pria itu kembali melangkah, lalu menjatuhkan diri di sofa ruang santai yang tak jauh dari pintu kamar mereka.
Dari tempatnya berdiri, Annisa bisa melihat Sagala dengan jelas, duduk santai, menyandarkan punggung, menatap televisi yang menampilkan siaran malam dengan volume rendah.
Cahaya lampu ruang santai yang temaram membuat wajah Sagala tampak lembut, tenang, tapi juga sedikit letih.
Annisa berdiri di ambang pintu kamarnya, menatap pria itu. Ia ingin bicara, mengucapkan terima kasih, atau mungkin sekadar “selamat malam” tapi lidahnya terasa kelu.
Hingga akhirnya, Annisa menarik napas pelan dan melangkah masuk ke kamar.
🌱🌱🌱
😁😁😁
tiati lho bang gala nanti kalo Nisa gak manja lagi ke Abang,Abang yg kelimpungan lho🤣