Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wajah yang tak dikenal di rumah sendiri
Aira terus menatap wajah-wajah di sekelilingnya dengan penuh kebingungan. Tangannya menggenggam selimut erat, seolah tempat itu benar-benar asing baginya.
Abraham duduk perlahan di tepi ranjang. Suaranya tenang namun penuh luka, “Aira... aku suamimu. Ini rumah kita. Anak-anakmu ada di sini.”
Alena maju satu langkah, matanya berkaca-kaca.
“Mama… aku Alena, dan ini abangku, Alvin. Kami anak mama.”
Aira memejamkan matanya, menggoyangkan kepalanya pelan.
“Tidak… tidak… aku tidak tahu siapa kalian. Aku tidak punya anak. Aku bekerja di Dubai… aku tinggal sendiri…” suaranya mulai gemetar.
Abraham berdiri dan menggenggam tangan istrinya. “Kamu sakit 19 tahun lalu. Kamu koma, lalu menghilang. Tapi sekarang Tuhan membawa kamu kembali.”
Air mata mengalir di pipi Aira, tapi bukan karena mengingat… melainkan karena rasa takut.
“Kalau semua itu benar… kenapa aku tidak ingat apapun?”
Alvin akhirnya bicara, menahan sesak di dada. “Nggak apa-apa Ma. Kami di sini buat mama. Meski mama gak ingat, kami akan selalu ingat mama.”
Aira menunduk, bingung dan letih. “Aku… aku butuh waktu.”
Abraham menatap anak-anaknya dan mengangguk.
“Kita kasih Mama waktu. Kita mulai dari awal.”
Setelah itu mereka keluar dari kamar memberitahukan waktu untuk Aira sendiri.
Abraham menghubungi Dinda agar ke rumahnya untuk menemui Aira.
Dinda menatap Aira dengan mata berkaca-kaca. Langkahnya pelan mendekati sahabat yang dulu sangat dikenalnya.
Saat Aira menatap balik, tatapannya kosongtidak ada secercah pengenalan.
“Ra... ini aku, Dinda...” suaranya parau menahan tangis. “Kamu masih ingat aku?”
Aira hanya menggeleng pelan. “Maaf... aku benar-benar tidak kenal.”
Tangis Dinda pun pecah. Ia memalingkan wajah sejenak, mencoba menguatkan diri. Abraham berdiri di sampingnya dan menepuk pelan bahunya.
“Kami juga nggak tahu siapa yang mengatur semua ini,” ucap Abraham dengan suara rendah.
“Kami hanya tahu, Aira bekerja di klub malam, dengan nama Aira Khalifah. Tidak ada dokumen, tidak ada jejak keluarga. Seolah-olah hidupnya dimulai di sana.”
Dinda menoleh dengan pandangan tak percaya dengan perkataan Abraham.
"Ternyata selama ini kita dibohongi. Dan sekarang... dia bahkan tidak ingat siapa dirinya.”
Ruangan menjadi sunyi. Hanya terdengar isak tangis tertahan dari Dinda dan tarikan napas berat Abraham.
Aira menatap ketiganya, hatinya berkecamuk. Ia memang tidak mengingat mereka, tapi untuk pertama kalinya… ia merasa ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya sesuatu yang selama ini tidak pernah ia pertanyakan, sampai hari ini.
Malam itu, aroma harum soto ayam memenuhi dapur.
Aira berdiri di depan kompor dengan apron sederhana, wajahnya tenang meski matanya masih menyimpan kebingungan.
Tangannya cekatan memotong daun seledri dan mengaduk kuah panas yang mendidih.
Abraham melangkah pelan ke dapur, memandangi punggung Aira dengan perasaan campur aduk.
"Sayang... masak apa malam ini?" tanyanya lembut.
Aira menoleh dan tersenyum tipis. "Aku masak soto ayam... semoga mas dan anak-anak suka."
Abraham mendekat, menatap wajah istrinya dengan penuh haru.
"Pasti enak. Mas kangen banget makan masakan kamu."
Aira terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Aku minta maaf... aku masih belum ingat siapa Mas Abraham. Tapi entah kenapa... aku merasa nyaman saat mas dekat." Suaranya nyaris berbisik.
Abraham tersenyum kecil, menyentuh pelan punggung tangan Aira. "Nggak apa-apa, Ra. Kita mulai semuanya dari awal, ya? Mas akan sabar nunggu kamu ingat, atau jatuh cinta sama mas untuk kedua kalinya."
Air mata Aira menetes diam-diam, tanpa ia sadari
Malam itu meja makan tampak lebih hangat dari biasanya.
Alena dan Alvin duduk berdampingan, menatap mangkuk soto ayam di hadapan mereka.
Wajah keduanya menunjukkan ekspresi yang sulit digambarkan haru, rindu, dan bahagia bercampur menjadi satu.
Aira duduk di ujung meja, sedikit canggung. Ia masih berusaha memahami peran barunya sebagai istri dan ibu.
Tapi satu hal yang ia tahu pasti: memasak membuat hatinya tenang, seperti bagian dari dirinya yang belum hilang.
"Ma..." Alena memanggil lirih, membuat Aira menoleh.
"Hmm?"
"Ini pertama kali aku makan masakan Mama," ucap Alvin pelan, suaranya bergetar. "Dan... ini enak banget."
Aira terdiam. Tangannya gemetar saat mengambil sendok.
Ia melihat dua pasang mata yang begitu mirip dengannya. Hati kecilnya bergetar, air matanya menetes tanpa sadar.
"Aku... senang kalian suka," ucap Aira pelan.
Abraham duduk di samping Aira, menggenggam tangannya di bawah meja. Ia menatap anak-anak mereka dan berkata, "Hari ini... keluarga kita mulai dari awal lagi. Kita sambut Mama kembali dengan cinta."
Mereka makan malam dengan tenang. Tak ada kata-kata besar, hanya tatapan penuh makna dan sesekali senyuman.
Untuk pertama kalinya dalam 19 tahun, meja makan itu terasa utuh kembali.
Setelah selesai makan malam, Abraham membantu istrinya untuk memberikan ruang makan.
Si kembar mencuci piring dan membersihkan dapur yang sedikit kotor.
Setelah selesai Aira menuju ke kamar dan mengganti pakaiannya.
Aira berdiri canggung di depan kamar utama. Ia menggenggam ujung bajunya, ragu.
“Mas... malam ini aku tidur di sofa saja, ya,” katanya lirih.
“Aku belum siap tidur sekamar dengan orang yang aku belum benar-benar ingat.”
Abraham menatapnya lama, matanya sayu. Hatinya perih, namun ia tahu tidak bisa memaksa.
“Baik,” jawabnya pelan. “Tapi kalau kamu mimpi buruk, aku di sini, ya?”
Aira mengangguk singkat dan berbalik. Tapi sebelum ia melangkah jauh, Abraham menarik napas dalam dan berkata,
“Ra… aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu, meski kamu tak ingat aku.”
Aira terdiam di ambang pintu. Ada sesuatu dalam suara Abraham yang menyentuh hatinya seakan menggugah memori yang tersembunyi.
Malam itu terasa sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar di antara lampu temaram ruang tamu.
Abraham berdiri di ambang pintu, menatap Aira yang sudah tertidur pulas di sofa.
Selimut yang ia tarik hanya menutupi sebagian tubuhnya, dan rambutnya sedikit berantakan.
Perlahan, Abraham mendekat. Ia berlutut di samping sofa dan menatap wajah istrinya dalam diam.
"Kamu tetap cantik, bahkan saat tak mengingatku sama sekali," bisiknya pelan.
Dengan hati-hati, ia menyelipkan tangannya ke bawah tubuh Aira, membopongnya tanpa membangunkan.
Aira hanya menggumam pelan dalam tidurnya, tapi tetap terlelap dalam dekapan hangat Abraham.
Sesampainya di kamar, Abraham membaringkan Aira di ranjang, membenarkan selimut dan menyentuh keningnya dengan lembut.
“Tidurlah di sini… biar aku yang di sofa,” ucapnya sebelum mematikan lampu dan melangkah pelan keluar kamar, membiarkan Aira beristirahat di tempat yang seharusnya menjadi rumahnya.
Abraham duduk di sofa sambil sesekali memandang wajah istrinya dari kejauhan.
Ia berharap jika istrinya kembali mengingat siapa dirinya dan cintanya.