NovelToon NovelToon
Takdirku Di Usia 19

Takdirku Di Usia 19

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Pena

Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14. Jejak Pena, Jejak Mimpi

*📝** Diary Mentari – Bab 12**

“Jika aku bisa mengubah dunia, aku akan menulis ulang takdirku… tapi karena tidak bisa, maka aku menuliskannya di dinding hatiku, agar tetap bisa kuperjuangkan dengan kata-kata.”***

...****************...

Tahun kedua di SMA tidak terasa datang begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku duduk di bangku kelas X dengan seragam bekas dan sepatu baru, menatap setiap sudut sekolah dengan rasa takut bercampur harap. Sekarang aku duduk di kelas XI, punya tempat duduk sendiri, teman-teman sendiri, dan segunung tugas serta kegiatan yang datang silih berganti.

Hidupku memang belum berubah secara drastis. Aku masih tinggal di rumah kecil yang penuh sesak. Masih harus bangun sebelum matahari untuk menyapu halaman, menyapu debu dalam hati agar tetap bisa melangkah dengan ringan. Tapi di sekolah… di sekolah aku menemukan dunia lain yang membuatku merasa lebih bernilai.

Aku jatuh cinta pada dunia jurnalistik. Entah sejak kapan tepatnya, tapi aku ingat hari itu, saat pertama kali melihat majalah dinding sekolah yang penuh warna dan tulisan. Aku terpikat. Aku berdiri lama memandangi puisi-puisi yang ditulis oleh kakak kelas, cerita pendek tentang kehidupan remaja, dan artikel motivasi yang entah mengapa seperti sedang berbicara langsung padaku. Sejak hari itu, aku tahu aku ingin menjadi bagian dari dunia itu.

Menulis membuatku hidup. Dengan menulis, aku bisa menjadi siapa saja. Di atas kertas, aku bukan lagi gadis miskin dari kampung Karet. Aku bisa menjadi reporter yang menjelajah dunia, bisa menjadi penyair yang menyentuh hati orang banyak, atau sekadar menjadi Mentari yang berani bermimpi besar.

Setiap jam pelajaran usai, aku akan menyempatkan waktu ke ruang mading. Bersama beberapa teman, kami membuat konsep tulisan, mendesain tata letak, dan saling membaca karya satu sama lain. Rasanya seperti rumah kedua. Di sana aku tidak pernah merasa sendiri.

“Mentari, jangan lupa besok kita ke Tabanan. Pelatihan jurnalistik dua hari, kita berangkat pagi,” kata Bu Tari, pembina mading yang selalu mendukungku.

Hatiku mekar. Pelatihan jurnalistik? Dua malam di kota Tabanan? Bertemu dengan penulis-penulis hebat, redaktur koran, dan penyair Bali? Bagiku ini seperti naik ke langit ketujuh. Aku menahan senyum sepanjang jalan pulang, membayangkan betapa serunya belajar langsung dari mereka yang sudah hidup dari tulisan.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengabari ibu. “Bu, besok aku ikut pelatihan jurnalistik ke Tabanan, dua hari menginap di sana ya.”

Ibu tidak menoleh. Tangan ibu tetap sibuk menganyam janur. “Ya, asal tidak keluar uang banyak,” katanya datar.

“Tidak, bu. Semua biaya ditanggung sekolah. Aku hanya bawa pakaian ganti dan alat tulis.”

Ibu mengangguk. Itu sudah cukup bagiku. Aku tidak pernah berharap lebih. Restu bukan harus berupa pelukan atau nasihat panjang—cukup dari kata “ya” saja, aku merasa didukung. Aku tahu mereka menyayangiku dengan cara mereka yang kaku dan seringkali membungkam keinginan hati.

Malam itu aku menyiapkan perlengkapan dengan hati yang melambung tinggi. Aku memilih kemeja putih yang paling rapi, mencuci sendiri lalu menyetrikanya dengan hati-hati. Aku memilih rok favoritku yang tidak kusut, dan tentu saja buku catatan kecil yang selalu kubawa ke mana-mana. Buku itu seperti perpanjangan jiwaku—tempat aku mencatat mimpi, rasa sakit, juga harapan.

Pagi harinya, aku sudah berdiri di depan sekolah dengan wajah bersinar. Teman-teman lain juga datang satu per satu. Wajah kami penuh antusias, sebagian membawa kamera saku, sebagian lagi buku tebal untuk dicatat.

Kami berangkat dengan mobil sekolah, menyusuri jalan-jalan panjang yang dihiasi hijaunya persawahan dan pohon kelapa yang melambai lembut. Aku melihat ke luar jendela dan tersenyum sendiri. Betapa hidup telah memberiku kejutan indah hari ini.

Sesampainya di lokasi pelatihan, kami langsung disambut oleh panitia dan diarahkan ke ruang aula besar. Di sana sudah duduk puluhan siswa dari sekolah lain. Aku agak gugup melihat banyaknya peserta, tapi juga bangga karena sekolahku percaya padaku untuk ikut di sini.

Materi pertama dibawakan oleh seorang wartawan senior dari koran lokal. Ia bercerita tentang perjuangan menulis berita di tengah keterbatasan dan tantangan lapangan. Mataku berbinar mendengarnya. Rasanya seperti menemukan cermin yang bisa memantulkan mimpiku lebih besar.

Lalu sesi berikutnya diisi oleh seorang penyair Bali yang terkenal. Ia membacakan puisi-puisi karyanya yang begitu dalam dan menyentuh. Suaranya tenang, intonasinya jelas, dan setiap bait puisinya menusuk seperti pisau tajam. Aku ingin seperti dia—menulis dengan kekuatan yang bisa menggugah hati.

Malam harinya kami berdiskusi kelompok, membuat artikel dan mendesain majalah dinding mini. Aku menjadi pemimpin kelompok tanpa diminta. Teman-teman memberiku kepercayaan karena aku aktif dan penuh ide. Aku mengarahkan, menulis headline, memilih tema, dan bahkan menuliskan satu puisi pendek untuk mengisi ruang kosong di sudut bawah.

Di penginapan, aku tidur bersama tiga teman satu sekolah. Kami berbagi cerita sampai larut malam. Aku tidak bisa tidur karena hatiku masih terlalu hangat dengan semua pengalaman hari ini. Aku mencatat semuanya di diaryku, baris demi baris, sampai akhirnya tertidur dengan senyum di wajahku.

Dua hari itu menjadi pengalaman paling indah selama aku SMA. Saat kembali ke kampung Karet, aku tidak lagi melihat rumah kecil kami dengan rasa sempit. Aku justru merasa tempat inilah titik awal dari semua mimpi besarku.

Aku tahu aku belum menjadi siapa-siapa, belum punya karya besar atau nama di majalah mana pun. Tapi aku telah memulai langkah. Dan satu langkah kecil ini akan membawaku jauh. Aku percaya itu.

Sejak pelatihan itu, aku semakin aktif di mading. Aku menulis rutin, mengirimkan tulisan ke koran lokal, bahkan satu puisiku pernah dimuat di majalah remaja. Aku menunjukkannya diam-diam pada ayah. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk kecil. Tapi dari matanya, aku tahu ia bangga.

Aku tahu aku belum meraih semuanya. Tapi aku sedang menuju ke sana. Dan saat aku menulis… aku merasa tidak ada yang tidak mungkin.

Sejak pelatihan itu, aku semakin aktif di mading. Aku menulis rutin, mengirimkan tulisan ke koran lokal, bahkan satu puisiku pernah dimuat di majalah remaja. Aku menunjukkannya diam-diam pada ayah. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk kecil. Tapi dari matanya, aku tahu ia bangga.

Aku masih ingat detik-detik terakhir pelatihan itu. Setelah dua hari penuh belajar, berlatih, dan menulis, seluruh peserta dikumpulkan di aula. Udara di ruangan terasa berbeda, ada ketegangan kecil seperti menjelang pengumuman juara lomba. Panitia berdiri di depan, membacakan satu per satu nama peserta yang mendapat penghargaan khusus. Lalu nama itu disebut…

“Peserta terbaik pelatihan jurnalistik tahun ini, dengan penilaian dari mentor dan panitia karena kedisiplinan, ide kreatif, serta semangat belajar tinggi… diberikan kepada: Kadek Mentari Intania, dari SMA—” suara itu menggema, seolah berdetak di dalam dadaku.

Aku tidak langsung berdiri. Bahkan aku sempat menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak salah dengar. Tapi saat teman di sampingku menyenggol lengan dan tersenyum, aku tahu: itu benar. Itu namaku.

Dengan langkah gemetar aku maju ke depan. Semua orang bertepuk tangan. Aku menerima sertifikat berbingkai sederhana, tapi di mataku itu seperti medali emas dunia. Sertifikat itu bukan sekadar kertas—itu bukti bahwa aku bisa. Bahwa aku layak. Bahwa mimpi yang selama ini kusembunyikan dalam lembaran diary sudah mulai menemukan jalannya.

Aku pulang ke kampung Karet dengan membawa sertifikat itu di dalam tas. Kubungkus rapi, kupeluk erat selama di perjalanan. Sesampainya di rumah, aku tak bisa menahan senyum.

“Apa itu?” tanya ayah ketika melihatku mengeluarkan kertas berbingkai dari tas lusuhku.

“Penghargaan sebagai peserta terbaik, Pak… selama pelatihan jurnalistik. Dari puluhan peserta, dari berbagai kabupaten di Bali,” jawabku lirih.

Ayah diam. Lalu ia menepuk pelan bahuku. “Bagus, Nak.” Hanya dua kata, tapi cukup membuat hatiku menangis dalam diam.

Aku tahu aku belum menjadi siapa-siapa. Tapi aku telah memulai langkah. Dan satu langkah kecil ini akan membawaku jauh. Aku percaya itu.

“Aku menulis bukan hanya untuk dikenal, tapi untuk bertahan. Jika hidupku tak pernah cukup berarti bagi dunia, biarlah tulisan-tulisanku yang menciptakan makna.”

1
Komang Arianti
kapan tarii bahagiaa nya?
Komang Arianti
ngeenesss bangettt ini si mentarii😢😢
Putu Suciptawati
jadi inget wkt adikku potong rambut pendek, kakekku juga marah, katanya gadis bali ga boleh berambut pendek/Facepalm/
K.M
Ditunggu lanjutannya ya kk makasi udah ngikutin ☺️
Putu Suciptawati
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
K.M: Auto mewek ya kk
total 1 replies
Putu Suciptawati
yah kukiora tari akan menerima bintang, ternyata oh ternyata ga sesuai ekspektasiku
Arbai
Karya yang keren dan setiap bab di lengkapi kalimat menyentuh.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
K.M: Terima kasih dukungannya kk ☺️
total 1 replies
Putu Suciptawati
ayolah tari buka hatimu unt bintang lupakan cinta monyetmu...kamu berhak bahagia
Putu Suciptawati
senengnya mentari punya hp walaupun hp jdul
Putu Suciptawati
semangat tari kamu pasti bisa
Putu Suciptawati
puisinya keren/Good//Good//Good//Good/
Putu Suciptawati
karya yg sangat bagus, bahasanya mudah diterima.....pokoknya keren/Good//Good//Good//Good/
K.M: Terima kasih banyak sudah menyukai mentari kk ❤️❤️
total 1 replies
Putu Suciptawati
betul mentari tdk semua perpisahan melukai tdk semua cinta hrs memiliki
rarariri
aq suka karyamu thor,mewek trus aq bacanya
rarariri
/Sob//Sob//Sob/
Wanita Aries
Kok bs gk seperhatian itu
Wanita Aries
Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.
Wanita Aries
Kok ba ngumpul smua dsitu dan org tua mentari menanggung beban
Wanita Aries
Mampir thor cerita menarik
Putu Suciptawati
betul mentari, rumah atau kamar tidak harus besar dan luas yang terpenting bs membuat kita nyaman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!