“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Satu
“Kenapa kepalaku terasa pusing?” tanya Davina lirih, matanya menyapu ruangan yang penuh cahaya gemerlap.
Hari ini seharusnya jadi hari bahagia. Pesta ulang tahun Kevin sekaligus pertunangan abang tirinya Davina itu dengan seorang perempuan cantik bernama Tia. Namun, bagi Davina, hari ini justru terasa seperti mimpi buruk.
Ia duduk di sudut ballroom hotel megah itu, memandangi keramaian yang terasa jauh dari dirinya. Tawa, obrolan, musik lembut yang mengalun, semua itu tak mampu menutupi perasaan sesak yang menggerogoti dadanya.
Kevin, lelaki yang selama ini selalu mendampinginya, kini sedang sibuk menerima ucapan selamat. Setelan jas hitam yang ia kenakan membuatnya terlihat semakin berwibawa, semakin jauh dari jangkauan Davina.
Kenapa hatiku terasa sesakit ini? batinnya. Seharusnya aku bahagia. Dia akan menikah, hidupnya lengkap. Tapi kenapa aku justru takut … takut kehilangannya?
Sejak ayahnya menikah lagi, Davina hidup di bawah aturan ketat. Ia hanya boleh keluar rumah jika ditemani Kevin. Lelaki itu dingin, keras, hampir tak tersentuh, tapi justru karena itulah kehadirannya menjadi pelindung yang paling nyata bagi Davina.
Kini, bayangan Kevin yang menggandeng tangan wanita lain seolah menusuk-nusuk jantungnya.
Davina menghela napas panjang. Kepalanya semakin berat. Ia menyentuh kening, berharap rasa pusing itu reda. “Aku harus ke kamar? Apa Bang Kevin tak marah ya kalau aku pergi, padahal acara pertunangannya belum dimulai?” gumamnya, hampir tanpa suara.
Saat itu, seorang pelayan lewat dengan nampan berisi gelas-gelas jus. Namun bukan pelayan itu yang membuatnya tergelitik. Tia, calon tunangan Kevin, mendekat dengan senyum manis yang entah kenapa terasa menusuk.
“Davina, kamu kelihatan pucat. Minum ini, ya. Segar, bisa bikin kamu lebih enakan.” Tia menyodorkan segelas jus oranye, matanya berbinar.
Davina ragu sejenak. Ada sesuatu di balik senyum itu yang terasa palsu. Tapi ia terlalu lelah untuk menolak. Dengan sopan, ia menerima dan meneguknya perlahan. Cairan dingin itu menuruni tenggorokannya, meninggalkan rasa manis dan sedikit getir.
Beberapa menit berlalu. Namun, bukannya segar, tubuh Davina justru terasa semakin panas. Jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya gemetar, wajahnya memerah.
“Apa-apaan ini …?” tanya Davina pada dirinya sendiri. Dadanya naik turun, seolah ada sesuatu yang membakar dari dalam.
Matanya mencari Kevin di kerumunan. Lelaki itu masih tersenyum, menerima ucapan selamat dari kerabat-kerabat keluarga besar mereka. Tampak jauh. Tak terjangkau.
“Aku harus keluar … aku nggak tahan .…” Davina bangkit dengan susah payah. Pandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya seperti kehilangan tenaga, namun di saat yang sama ada sensasi aneh yang menjalar, membuat kulitnya terlalu peka pada setiap gesekan kain gaunnya sendiri.
Ia berjalan pelan meninggalkan keramaian, mencoba mencari jalan ke luar ballroom. Udara di dalam semakin sesak. Setiap langkah terasa berat, seakan lantai bergoyang di bawah kakinya.
Namun, ketika hampir mencapai lorong menuju lift, seorang pria asing menghadangnya. Wajahnya penuh senyum miring, tatapannya membuat bulu kuduk Davina berdiri.
“Halo, cantik. Sendirian?” suaranya rendah, serak, penuh niat yang tak baik.
Davina berusaha mundur, tapi langkahnya terhuyung. “Maaf … saya mau ....”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tangan kasar pria itu meraih pergelangannya. Sentuhannya membuat Davina tersentak. Ia ingin berteriak, namun suaranya tercekat. Tubuhnya terlalu lemah.
“Ayo ikut aku sebentar. Jangan takut, aku bakal bikin kamu nyaman.” Pria itu menariknya dengan paksa menuju salah satu koridor kamar hotel.
Davina berusaha meronta, tapi tenaganya habis. “Lepaskan! Aku ... aku nggak mau.” Suaranya hampir tak terdengar, bercampur dengan napas yang terengah.
Tubuhnya makin panas. Sensasi aneh dari minuman tadi membuat setiap sentuhan terasa berlebihan. Ia benci dirinya yang tak mampu melawan. Air matanya menetes tanpa sadar.
Pintu sebuah kamar sudah dekat. Pria itu menariknya makin keras. “Tenang saja, sebentar aja kok, kita akan bersenang-senang .…”
Namun tiba-tiba ... sebuah bogem mentah menghantam wajah pria itu. Tubuhnya terpelanting ke dinding, hampir jatuh tersungkur.
“Bang'sat!” maki Kevin dengan rahang mengeras, napasnya memburu. “Berani-beraninya kau menyentuh adikku!”
Wajahnya penuh amarah. Sorot matanya tajam, seperti pi'sau yang siap mengiris.
Pria itu terhuyung, mencoba bangkit. Tapi Kevin melayangkan pukulan lagi, membuat darah segar keluar dari sudut bibirnya.
Melihat pria yang menghajarnya adalah Kevin, laki-laki itu panik. Ketakutan lebih besar daripada keberaniannya. “Aku … aku cuma bercanda .…” Ia mundur, lalu lari terbirit-birit sebelum pihak hotel atau polisi dipanggil.
Lorong itu kembali hening, hanya menyisakan Kevin dan Davina.
Davina hampir ambruk. Tubuhnya tak sanggup menopang. Kevin dengan sigap meraih pinggangnya, menahan agar ia tidak jatuh.
“Davina!” panggilnya cemas. “Hei, kamu kenapa? Wajahmu panas sekali .…”
Davina hanya mampu menggeleng lemah. Matanya setengah terpejam. Nafasnya cepat, pipinya merah. Tubuhnya terasa terbakar dari dalam.
Kevin menatapnya bingung. Dalam hati ia sadar ada yang tidak beres. “Si'al … apa yang tadi kamu minum?” tanya abang tirinya itu.
“Aku … aku nggak tahu. Tia kasih aku jus … setelah itu .…” Suara Davina makin lirih, nyaris tak terdengar.
Mata Kevin membelalak. Rahangnya mengeras, ekspresinya berubah muram sekaligus murka. “Gila … apa yang telah dia lakukan sama kamu?”
Ia tak punya waktu untuk mencari jawaban sekarang. Davina sudah hampir pingsan. Dengan gerakan cepat, Kevin mengangkat tubuh gadis itu dalam gendongan ala bridal style.
“Aku nggak akan biarkan kamu di sini,” gumam Kevin dengan tekad yang penuh.
Beberapa tamu di lorong sempat menoleh, namun Kevin tak peduli. Langkahnya panjang, tegas, membawa Davina menjauh dari keramaian.
Ia menuju salah satu kamar yang sudah ia sewa sebelumnya untuk berjaga-jaga. Begitu pintu terbuka, Kevin masuk dan menutupnya dengan keras.
Davina masih menggeliat gelisah dalam gendongan. “Bang … tubuhku … panas … aku takut …,” bisiknya. Air matanya jatuh membasahi leher Kevin.
Kevin menatap wajah adiknya itu lekat-lekat. Untuk pertama kalinya, ketegasan dinginnya luluh oleh rasa panik. Ia tak pernah melihat Davina selemah ini.
“Tenang … aku ada di sini. Aku nggak akan biarkan siapapun menyakitimu,” suara Kevin terdengar sangat dalam, bergetar oleh amarah yang ditahan.
Ia membaringkan Davina di atas ranjang hotel. Gadis itu menggenggam pergelangan tangannya erat-erat, seolah takut ditinggalkan.
Kevin duduk di tepi ranjang, menunduk. Tatapannya tak lepas dari wajah Davina yang memerah, nafasnya tak beraturan, tubuhnya seperti menjerit minta pertolongan.
Jari-jarinya menyentuh dahi Davina. Panas. Terlalu panas.
“Davina …,” bisik Kevin dengan pelan, hampir tak terdengar.
"Bang, jangan pergi. Temani aku di sini," balas Davina dengan suara nyaris tak terdengar.
Saat berdua begini, ia sadar ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar status sebagai abang tiri. Ada sesuatu yang selama ini ia tutup rapat, kini perlahan menyeruak, menuntut diakui.
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak