Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Kuas Kita
Sebuah rumah berukuran sepetak yang disinari satu lampu terang adalah obyek yang pertama kali menyita perhatian Raisa saat Ardan menghentikan mobilnya di pekarangan. Lelaki itu segera turun dan tergesa tanpa kata, yang Raisa kira lelaki itu akan memasuki rumah tersebut ternyata salah. Ardan berbalik keluar pekarangan dan berlari memasuki gang yang ada di sebelah rumah tersebut.
“Eh? Kok aku nggak ditungguin?” Raisa langsung kalang kabut mengikuti.
Penerangan temaram menemaninya menelusuri sepanjang jalan gang yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, satu motor saja tampak tidak bisa memasukinya.
“Ardan, jangan lari,” pekik Raisa yang tidak diindahkan. Dia senantiasa mengikuti Ardan dari belakang hingga lelaki itu berhenti dan dirangkul bahunya oleh seorang pemuda yang muncul dari arah sebaliknya, pemuda itu tampak tidak begitu terpaut jauh umurnya dengan Raisa. Terlihat Ardan dengan wajah panik mengajak pemuda itu berbicara sedangkan sang lawan bicara juga menunjukan raut tak kalah paniknya.
Samar-samar Raisa mampu membaca mimik muka pemuda tersebut yang tampak dibuat-buat, dan benar saja ketika mereka mencapai ujung gang sebuah halaman luas yang tadinya gelap gulita mendadak terang bertepatan Ardan yang menginjakkan kaki di sana. Seruan demi seruan membumbung ke udara. Awalnya Raisa kebingungan tetapi perlahan dia menangkap maksudnya.
Halaman di hadapan tampak ramai, meriah. Lampu warna-warni dibuat seolah melayang di udara dengan bantuan tali rafia yang dikaitkan menyambung dari pohon ke pohon di sekelilingnya. Sebuah meja teralas kain cream kotak-kotak penuh dengan bungkusan hadiah dan camilan bermacam-macam mulai dari yang berasa pedas sampai manis, dilengkapi sekeranjang botol minuman manis serta bersoda di samping meja tersebut.
“Happy birthday, Ardan! Happy birthday to you!”
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga! Sekarang juga~”
“Ulang tahun?” monolog Raisa. Dia menyingkir dari gerombolan orang-orang yang semuanya mengelilingi Ardan.
Tampak jumlahnya tidak lebih dari dua puluh orang. Berisi pria dan wanita yang umurnya lebih dari tujuh belas tahun. Satu perempuan membawa sekotak kue ulang tahun polos tak terdapat hiasan apapun, hanya tulisan ‘selamat ulang tahun, Bang!’ berwarna cokelat di atas dasar putih dan satu ulir lilin tertancap di tengahnya.
“Happy level up day, ya, Bang.”
“Maaf kita bohongin kamu, Dan.”
Semuanya satu persatu memeluk Ardan dan disambut lelaki itu dengan hangat. Hanya saja ketika para pria yang memeluknya dia menambahkan tinjuan di lengannya.
“Beneran cuman bohong kan? Jangan sampai ya yang udah gue buat itu kenapa-kenapa.”
“Iya, Bang. Beneran, masih aman kok. Kita-kita juga nggak berani buat sentuh, tahu sendiri kalau Abang sudah marah kayak gimana.” Pemuda yang tadi pertama kali bertemu dengan Ardan berbicara diikuti selorohan setuju yang lain.
“Betul tuh. Nggak cuman tempat ini yang remuk, kita-kita juga. Dasar emosian.” Kini perempuan yang membawakan kue berbicara. “Nih, bawa sendiri. Lemot banget ditungguin nggak kesini-kesini, baru diprank soal itu baru gerak.”
Ardan menerima kuenya setengah hati. Dia lantas berjalan menjauh dari kerumunan menuju satu-satunya rumah yang ada di halaman tersebut. “Bentar, mau lihat dulu. Takut kalian pada beneran.” Tanpa menunggu balasan yang lain dia melangkah masuk.
Kemudian gerombolan yang sempat tercipta itu membubarkan diri. Raisa seketika kikuk saat mereka semua menyadari kehadirannya. Menatapnya penuh penuntutan tanya.
“Hallo,” sapanya canggung. Tangannya melambai kecil pada semuanya. "Gue istrinya Ardan." Raisa memperkenalkan diri, dia membungkuk sopan disertai senyum.
"Hai." Semua sempat saling tatap meskipun pada akhirnya menyapa Raisa dengan ramah. "Ini maunya dipanggil ibu atau kak, ya? Kelihatannya masih muda. Atau malah Neng? Atau Teteh?"
Raisa tertawa. "Terserah, senyamannya aja. Gue nggak mempermasalahkan."
"Neng, namanya siapa Neng??"
"Alya."
"Wahhh, salam kenal ya! Kami temen-temennya Bang Ardan." Raisa menyambut semuanya dengan senyuman. Bahkan sempat bersalaman dengan seluruhnya secara bergantian. Saling berkenalan, dan Alya akan menyebutkan namanya berkali-kali dengan orang yang berbeda.
"Alya," ucapnya. Entah sudah keberapa kali.
"Keisha." Lawannya memperkenalkan diri. "Mau gue temenin?" Ternyata perempuan pemegang kue tadi menjadi orang terakhir yang berkenalan dengannya. Awalnya sekumpulan orang-orang itu belum bubar, tetapi setelah melihat Alya sudah ditemani semuanya berpencar dengan urusan sendiri. Menyisakan Alya dengan perempuan itu.
"Boleh," jawab Raisa.
Mereka berdua beriringan menuju salah satu bangku panjang yang ada di sudut pekarangan. Raisa duduk di salah satu sisi.
"Bentar ya, gue ambil minum dulu. Mau yang manis apa bersoda?"
"Mineral biasa nggak ada?"
Keisha menggeleng dan Raisa menjawab, "Yaudah yang manis aja." Berikutnya Raisa ditinggalkan sendiri.
Dia menggunakan kesempatan itu untuk menjelajahi sekeliling. Lewat netranya dia melihat ada papan kecil yang menggantung di dinding sebelah pintu yang terbaca 'Kuas Kita' kemudian di depan jendela yang tertutup terdapat dua kanvas terlukis sesuatu abstrak yang Raisa sendiri tidak tahu maknanya, dia rasa itu pasti memiliki arti. Pemilihan warnanya membuat perempuan itu terkesima. Ternyata setibanya di sana telah melewatkan beberapa detail seperti itu.
"Bagus ya?" Suara itu muncul dari Keisha yang datang dan menyerahkan sebotol minuman pada Raisa. Perempuan tersebut mengambil duduk tepat di sebelahnya.
Raisa mengangguk sebagai jawaban.
"Itu yang bikin gue sama suami lo, loh." Mendengarnya Raisa menoleh. "Punya gue yang nuansa warna-warni itu sedangkan Ardan yang suram kek orangnya." Keisha mengatakan dengan nada sedikit bercanda.
"Kalian semua suka lukis-lukis?"
Keisha mengangguk. "Ya. Kita udah bikin perkumpulan ini, bisa disebut komunitas, sih. Ardan sama gue yang cetusin. Awalnya tujuannya sederhana cuman mau salurin hobi kita yang sama tapi ternyata kenalan gue sama dia banyak yang mau gabung. Jadilah kita bikin komunitas aja yang tujuannya buat salurin kesukaan sekalian biar bermanfaat nggak cuman ke kita yang terlibat di sini jadi tambah bergerak ke kegiatan sosial, namanya: Kuas Kita."
Raisa setia mendengar, perempuan itu sembari mengelus paha sendiri, tetap memasang kupingnya seksama.
"Lewat karya-karya yang udah dihasilin kita ngadain pameran kecil-kecilan, buat semacam kegiatan amal. Nanti hasilnya kita pakai buat bikin acara di panti anak atau nggak panti jompo." Keisha banyak berbicara dan Raisa mendengarkan. Raisa mendengarkan sama sekali tanpa memotong ucapan perempuan di dekatnya. "Masuk dibayangan lo kan tentang apa yang gue sampeiin?"
"Iya."
"Tapi itu masih rencana, sih. Nanti perayaan setahun kita berdiri baru eksekusi." Keisha tertawa karena ucapannya sendiri. Dia merasa konyol telah berkata panjang hanya mengeluarkan kalimat bualan karena apa yang dia katakan masih berbentuk rencana, belum hasil nyata.
"Oh, iya? Kapan itu?"
"Seminggu lagi. Lo kalau mau lihat boleh banget, loh. Kalau Ardan marah bilang aja gue yang undang, persetan kalau dia ngamuk, khusus lo free," ujar Keisha.
Keisha meminum seteguk isi botol sendiri yang dia genggam sedari tadi. "Keren nggak Ardan? Tambah suka nggak?"
Tidak menyangka akan ditanya begitu, Raisa berkata jujur, "Iya keren. Lo juga, semuanya keren."
"Tambah suka?"
"Tambah suka."
Keisha mengangguk paham, wajah perempuan itu penuh senyum. "Memang tuh manusia satu nggak bisa bersyukur ya, punya istri secantik elo pake gegayaan nolak."
"Lo tahu?"
"Tahu apa?"
"Soal dia nggak cinta sama istrinya?"
"Tahu. Dia aja sempet kabur ke rumah gue setelah ribut besar sama nyokapnya dulu sebelum nikah sama lo." Keisha memastikan tidak ada rasa tak nyaman dari Raisa ketika dia mengatakan demikian. "Padahal gue lihat-lihat pembawaan lo positif aja beda dari yang selama ini dia ceritain ke gue."
"Dia cerita ke elo ya?" Dengan polosnya Raisa bertanya.
Keisha langsung terkejut saat menyadari nada bicara Raisa yang tampak kecewa. "Tapi nggak semuanya, kok. Sekarang juga udah jarang. Semenjak katanya lo udah nggak ngekorin dia ke mana-mana. Tapi heran aja sih, katanya dia mau nge-gate keep tempat ini dari istrinya, eh hari ini dia bawa lo."
"Dia nggak sengaja aja," jelas Raisa sekenanya.
Raisa mengerti. Punggungnya tiba-tiba menegak saat melihat Ardan keluar dari rumah yang sejak tadi dia pandangi.
"Yah, udah selesai dia sama urusannya. Kapan-kapan ngobrol lagi ya. Hubungin gue aja ke nomor ini." Keisha mengeluarkan selembar kecil kartu namanya yang diterima Raisa dengan senang hati.
Raisa membacanya sekilas. Kartu kecil yang saat disentuh permukaannya sedikit kasar itu menarik perhatiannya.
Keisha Haditama. Desain Interior. Kemudian di sisi satunya terdapat barcode dengan penjelasan kecil untuk memindainya apabila ingin melihat portfolio perempuan itu.
"Terima kasih, ya, Keisha."
...****************...