Sandrina nekad tidur dengan pria yang dijodohkan dengan kakaknya, Bastian Helford. Lantaran kakaknya telah tidur dengan tunangannya.
Semua miliknya direnggut, dan Sandrina berjuang untuk mendapatkan kembali yang menjadi miliknya
"Dia satu-satunya milikku yang kurebut kembali"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farhati fara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sangat manis
Sandrina bangkit untuk keluar dari kamar masih dengan sepotong pakaian tidur yang masih melekat di badannya. Dengan nyamannya gadis itu melangkah keluar dari kamarnya, namun tiba-tiba dia terhenti dan terkesiap saat membuka pintu kamarnya
"Ah, kamu belum pergi?" tanya Sandrina yang bingung karena selama dua hari ini dia bangun tidak ada lagi Bastian disana. Pria itu hanya mengirim pesan berkata sudah berangkat kerja. Tapi hari ini pria itu masih dengan pakaian santainya duduk sembari menonton berita pagi di televisi.
"Haruskah aku pergi? Ini sudah akhir pekan." jawab Bastian tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV. Biasanya dia tidak mengambil libur di akhir pekan, namun rasanya sekarang Bastian berpikir kebiasaan itu tidak buruk. Sehari-hari bekerja dan di akhir pekan menghabiskan waktu dengan keluarga.
Sandrina terdiam mendengarnya, dia sudah terlalu nyaman hingga lupa kalau sekarang sudah akhir pekan. Mata gadis itu memperhatikan sekelilingnya yang terlihat bersih dan rapi. Tidak ada yang datang untuk bersih-bersih selama Sandrina berada disana, jadi apakah Bastian sendiri yang membersihkan dan merapikan apartemennya yang seluas itu? Pikir Sandrina yang menganga takjub. Sandrina bahkan bisa salah mengira kalau Bastian punya fobia kalau orang lain yang menyentuh barang-barangnya.
"Kenapa kau hanya berdiri diam disana?" tanya Bastian dengan tingkat kewaspadaannya yang tinggi. Pria itu dengan jelas dapat menyadari kalau Sandrina masih berdiri diam disana tanpa ada pergerakan lain
"Ayah menghubungiku," Sandrina memberitahu yang membuat Bastian mengalihkan pandangannya pada sang gadis, dan sial bagi Bastian saat matanya kembali di suguhi sosok Sandrina yang terlihat begitu se ksi dengan pakaian tidur longgar yang mempertontonkan leher jenjang dan belahan dada gadis itu.
"Dia memberitahuku untuk pulang ke rumah," lanjut Sandrina saat dia tiba-tiba menyadari kemana arah pandang Bastian. Pandangan pria itu tepat tertuju kearah dadanya
"Ah...!" seru Sandrina yang segera menarik pakaiannya sedikit keatas untuk menutupi area dadanya, namun sekarang pahanya yang terekspos
"Pakaianku" pekik batinnya yang merasa begitu malu. Kendati Bastian sudah melihat keseluruhan dirinya, Sandrina masih saja merasa malu. Apalagi sekarang dia bahkan keluar tanpa mencuci muka dan gosok gigi terlebih dahulu. Sungguh sebuah kenyamanan adalah kesialan yang nyata juga. Karena nyaman, Sandrina bersikap seenaknya yang keluar kamar bahkan sebelum membasuh wajahnya.
Tatapan Bastian menajam dan Sandrina juga tidak buta saat melihat jakun pria itu yang bergerak naik turun seakan menelan sesuatu
"Ukh, tidak..." peringatan bahaya sudah batinnya beritahu
"Aku akan mandi dulu," ucapnya yang buru-buru kembali masuk ke dalam kamar untuk ke kamar mandi
Didalam kamar mandi Sandrina terdiam dengan wajah memerah. Dia mengalami aritmia hanya karena tatapan yang Bastian berikan. Sungguh dirasanya jantungnya tidak lagi sehat, detakannya menggila dan berpacu dengan begitu cepat
Setelah menenangkan dirinya sesaat, Sandrina kini berdiri didepan cermin wastafel sembari menatap pantulannya yang wajahnya memerah. Siapa yang tidak akan malu jika saja Bastian memberikan tatapan seperti ingin memangsanya setiap harinya.
Mencoba untuk tenang, Sandrina meraih sikat giginya dan juga odol. Pertama kali dia harus menggosok giginya lalu mandi setelahnya. Odol itu mulai menempel di sikat giginya saat tiba-tiba Sandrina mendengar panggilan
"Sandrin," panggil sebuah suara yang diyakini suara Bastian. Memang siapa lagi yang berada disana selain mereka berdua
"Ya?" sahut Sandrina yang bingung saat tiba-tiba dengan situasi yang tidak terduga. Bastian membuka pintu kamar mandi dan langsung menuju kearahnya dengan cepat, menarik gadis itu dan membawanya kedalam dekapannya
"Ah!" pekik Sandrina yang terkejut hingga sikat gigi yang telah diolesi odol jatuh ke lantai, dan sekarang dirinya di cium dengan brutal oleh Bastian
"Hmp! Eum..." Sandrina melenguh dibawah tekanan bibir Bastian. Dia bahkan harus berjinjit untuk menyesuaikan tinggi badan sang pria, dengan tangan Bastian yang menahan tengkuknya dan sebelah lagi merengkuh pinggangnya dengan begitu vulgar. Pria itu benar-benar pandai membawa suasana pada hal-hal yang erotis
"Heum.." Bastian juga melenguh ditengah aksinya mel umat bibir Sandrina. Bastian merasa dirinya sekarang bagai binatang buas yang hanya mengikuti arus nafsunya. Bibir Sandrina terasa begitu manis padahal gadis itu belum juga menggosok giginya, tapi Bastian tidak merasa itu jorok ataupun kotor, malah sebaliknya, dia menikmatinya dengan begitu baik
Setelah sebuah gigitan kecil Bastian sematkan, pria itu mengakhiri ciumannya, membuat Sandrina meraup udara dengan rakusnya. Gadis itu hampir saja kehabisan nafas jika saja Bastian tidak segera melepasnya.
"Apa aku sudah gila?" batin Bastian bertanya. Dia ingin memiliki semuanya dari Sandrina, mulai dari kepala hingga kakinya. Bastian ingin membuat Sandrina menjadi miliknya sepenuhnya
Setelah nafasnya kembali teratur seperti semula, Sandrina menatap pada Bastian
"Kenapa tiba-tiba__" Sandrina bertanya dengan tangan yang menyentuh bibirnya, namun kalimatnya dipotong oleh Bastian
"Biasakanlah! Aku juga tidak bisa mengendalikan diriku," sahut pria itu sembari berbalik badan dan melangkah menjauh dari Sandrina sebelum sisi liarnya mulai menguasai. Bastian harus menenangkan dirinya dengan air dingin kembali. Dia tidak ingin terus menerus menjamah Sandrina disaat mereka bahkan belum resmi menikah. Intinya Bastian tidak ingin membuat Sandrina merasa tidak nyaman bersamanya
🍀🍀🍀
Setelah keduanya menyelesaikan ritual mandinya di kamar mandi yang terpisah, kini Sandrina telah duduk berhadapan dengan Bastian di meja makan dengan di suguhi dua cangkir teh hangat yang pria itu bikinkan. Omong kosong yang menyatakan kalau Bastian tidak akan membuat minuman apapun untuk orang lain, buktinya pria itu membuat teh hangat untuk menemani mereka mengobrol bersama.
"Lanjutkan apa yang kau katakan sebelumnya!" perintah Bastian dengan tenang. Pria itu bahkan bersikap seakan tidak terjadi apapun antara mereka berdua, sedang Sandrina hanya menunduk masih dengan wajahnya yang memerah malu saat ingatannya tersapu pada kejadian tadi pagi.
"Ayah menyuruhku kembali kerumah dan bersiap untuk menikah. Sepertinya dia tidak suka kita tinggal bersama." jelas Sandrina, sedang Bastian masih tetap di posisi dan ekspresi awalnya. Dia sama sekali tidak terganggu ataupun menyahuti penjelasan Sandrina.
"Sepertinya kita tidak perlu melawan ayahku. Lagipula aku harus memperbaiki keadaan di rumahku, jadi aku akan pulang," kata Sandrina memberi penjelasan
"Jika kau kembali dan mengalami kejadian yang sama seperti terakhir kali, jangan hanya diam dan menahannya. Langsung telepon aku saja." Bastian berucap memberi saran yang seakan menghidupkan lagi harapan di hati Sandrina
"Apa kau akan datang jika aku menelponmu?" tanya Sandrina secara responsif dengan mata yang penuh harapan. Bastian menatap pada wajah gadis itu. Dia ingin menjawab kalau dia pasti akan datang, tapi rasa gengsi lagi-lagi membaluti diri
"Jika aku tidak sibuk" jawab Bastian seadanya sembari mengambil tehnya dan menyeruputnya sekadar untuk mengalihkan rasa gengsinya.
Sandrina yang mendengarnya tersenyum senang dengan jawaban Bastian yang tidak pasti, namun Sandrina yakin pria itu pasti akan datang melindunginya jika dia menelpon. Bastian menatap pada gadis itu kembali dan dibuat terpana dengan senyum lembut yang Sandrina tampilkan.
Bastian memilih Sandrina karena tidak ingin kehilangan bisnisnya dan tidak perlu menikahi wanita seperti Odette yang sudah dinikmati oleh banyak pria. Bastian ikut tersenyum lembut, merasa tidak buruk jika wanita seperti Sandrina menjadi istrinya. Tidak, Sandrina bahkan akan sangat bagus menjadi istrinya.
.
.
.