Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: ANCAMAN PERTAMA DARI KIREINA
Empat hari setelah telepon Kireina dengan Pak Rudi, kehidupan Alviona mulai terasa... tenang.
Tenang dalam arti relatif—tentu saja. Daryon masih jarang pulang. Masih dingin kalau kebetulan bertemu di koridor. Masih menatapnya seperti menatap furnitur yang tidak penting.
Tapi setidaknya... dia tidak menyakiti lagi.
Dan buat Alviona, itu sudah lebih dari cukup.
Pagi itu, Alviona bangun dengan perasaan sedikit lebih baik. Mual paginya tidak separah hari-hari sebelumnya. Dia bahkan bisa sarapan dengan porsi yang lebih banyak—telur orak-arik, roti panggang, dan segelas susu hangat.
Bi Sari tersenyum lebar melihatnya.
"Nafsu makan Nona mulai baik! Bagus untuk bayi," ucapnya sambil menambahkan buah-buahan segar ke piring Alviona.
Alviona tersenyum kecil—senyum yang mulai sering muncul sejak kehadiran bayi di perutnya memberikan alasan baru untuk bertahan.
"Makasih, Bi. Kayaknya dedek bayi lagi baik hari ini," jawabnya sambil mengelus perut yang masih rata.
Tapi ada yang berbeda hari ini.
Ada kegelisahan kecil di ujung hatinya—seperti ada yang tidak beres, tapi dia tidak bisa identifikasi apa.
Naluri.
Naluri yang berbisik: *Hati-hati.*
---
Pukul 11 siang, Alviona sedang duduk di taman belakang—tempat favoritnya—dengan buku panduan ibu hamil di tangan, membaca tentang perkembangan bayi di minggu ke-9, ketika dia mendengar suara dari dalam mansion.
Suara yang familiar.
Suara yang membuat bulu kuduknya langsung berdiri.
Suara Kireina.
"Tante Syafira! Lama tidak bertemu!"
Suara ceria, penuh kehangatan—suara yang sangat berbeda dari nada dingin yang biasa Kireina pakai saat berbicara dengan Alviona.
Alviona berdiri perlahan dari bangku taman, jantungnya mulai berdebar cepat. Tangannya reflek meraih perut—gerakan protektif yang sudah jadi naluri sejak dia tahu dia hamil.
*Kenapa dia ada di sini?*
Dari taman, Alviona bisa mendengar percakapan dari ruang tamu—suara Syafira yang menjawab dengan hangat, suara Kireina yang tertawa lembut, suara pelayan yang menyajikan teh.
Semuanya terdengar... normal. Harmonis. Seperti kunjungan keluarga biasa.
Tapi Alviona tahu lebih baik.
Dia tahu Kireina tidak pernah melakukan apapun tanpa tujuan.
Dengan langkah pelan—sangat pelan—Alviona berjalan mendekati mansion, bersembunyi di balik pilar besar di teras belakang, mengintip ke dalam.
---
**Di ruang tamu:**
Kireina duduk dengan anggun di sofa single—dress merah elegan, rambut terurai sempurna, make-up flawless. Di tangannya segelas teh yang diangkat dengan gerakan yang practiced, refined.
Di seberangnya, Syafira duduk dengan postur sama anggunnya—senyum tipis di bibir, tapi mata tajam mengamati.
"Kau terlihat semakin cantik, Kireina," ucap Syafira sambil menyeruput tehnya.
"Tante terlalu baik," jawab Kireina dengan senyum manis—senyum yang tidak mencapai mata. "Saya hanya... mencoba merawat diri. Walau hati sedang... tidak mudah."
Nada suaranya berubah sedikit—ada hint kesedihan yang terdengar genuine tapi carefully crafted.
Syafira menangkap nada itu. "Karena Daryon?"
Kireina menunduk—gerakan yang terlihat vulnerable—tapi mata yang tersembunyi di balik bulu mata panjang berkilat dengan sesuatu yang lebih gelap.
"Saya... saya mencoba move on, Tante. Benar-benar mencoba. Tapi mendengar dia sudah menikah, dan sekarang... istrinya hamil..." Suaranya bergetar—perfectly calculated. "Rasanya seperti... seperti mimpi yang seharusnya jadi milik saya... diambil."
Syafira meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi pelan di piring. Tatapannya melunak—atau setidaknya terlihat melunak.
"Aku mengerti perasaanmu, sayang," ucapnya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya—nada yang jarang dia gunakan. "Seharusnya memang kau yang ada di posisi itu. Kau yang sempurna untuk Daryon. Bukan... gadis itu."
Kata "gadis itu" diucapkan dengan nada meremehkan yang jelas.
Kireina mengangkat wajahnya—mata sedikit berkaca-kaca (air mata palsu yang sudah dia praktikkan di depan cermin)—dan meraih tangan Syafira.
"Tante selalu mengerti saya," bisiknya dengan suara bergetar. "Tidak seperti keluarga saya yang... yang menolak Daryon karena reputasinya."
Syafira menepuk tangan Kireina dengan lembut—gerakan yang jarang dia lakukan, bahkan pada menantunya sendiri.
"Mereka salah menilai anakku. Dan sekarang... sekarang kita semua harus hidup dengan konsekuensinya."
Keheningan sebentar—keheningan yang loaded dengan makna.
Lalu Kireina—dengan nada yang terdengar casual tapi mata yang menghitung—bertanya:
"Boleh saya... bertemu dengan Alviona? Saya pikir... sudah waktunya saya... menerima kenyataan. Dan mungkin... berdamai dengan situasi ini."
Dari balik pilar, Alviona membeku total. Jantungnya berhenti sedetik.
*Tidak. Jangan.*
Tapi Syafira sudah mengangguk.
"Tentu. Itu ide yang baik. Dewasa." Syafira berdiri, berjalan ke arah koridor. "Bi Sari! Tolong panggilkan Alviona!"
---
Alviona tidak punya pilihan.
Dengan kaki gemetar, napas pendek, tangan yang terus-menerus meraih perut untuk proteksi, dia melangkah masuk ke ruang tamu.
Mata Kireina langsung menemukan dia—dan ada kilatan sesuatu di mata itu. Sesuatu yang gelap. Berbahaya.
Tapi sedetik kemudian, ekspresi Kireina berubah jadi senyum manis.
"Alviona!" ucapnya dengan nada hangat yang palsu. "Lama tidak bertemu!"
Alviona berdiri kaku di ambang pintu. "K-Kak Kireina..."
"Jangan terlalu formal, sayang. Kita... kita kan 'keluarga' sekarang." Kireina berdiri, melangkah mendekati Alviona dengan gerakan anggun.
Alviona mundur selangkah—reflex.
Kireina menangkap gerakan itu, senyumnya melebar—tapi ada sesuatu yang predatory di sana.
"Aku dengar... kamu hamil?" Kireina bertanya dengan nada yang terdengar penasaran, friendly. "Selamat ya! Pasti Daryon senang sekali."
Kata-kata itu seperti pisau yang dibungkus sutra.
Alviona tidak menjawab—hanya mengangguk kecil, tangannya makin erat memeluk perutnya.
Syafira yang berdiri di sudut ruangan mengamati interaksi ini dengan tatapan yang... sulit dibaca.
"Yah, aku ada urusan di ruang kerja," ucap Syafira tiba-tiba. "Kalian berdua ngobrol dulu. Kireina, jangan lama-lama. Alviona perlu istirahat—dia sedang hamil."
Dan dengan itu, Syafira pergi.
Meninggalkan Alviona dan Kireina... sendirian.
---
Begitu suara langkah Syafira menghilang, atmosfer di ruangan itu berubah total.
Kireina berbalik menghadap Alviona—dan senyum manis itu... menghilang.
Digantikan oleh tatapan dingin yang penuh kebencian.
"Jadi..." Kireina melangkah mendekati Alviona dengan lambat—seperti predator mendekati mangsa. "Kamu hamil."
Bukan pertanyaan. Pernyataan yang penuh dengan... sesuatu yang mengerikan.
Alviona mundur—punggungnya hampir menyentuh dinding.
"Kau pikir..." Kireina berbisik sekarang, suaranya pelan tapi menusuk, "kau pikir dengan hamil... dia akan mencintaimu?"
Setiap kata ditusukkan dengan presisi—mencari titik paling sakit.
"Aku... aku tidak—" Alviona mencoba menjawab, tapi suaranya hilang.
"Kau pikir bayi itu akan membuat dia peduli?" Kireina melanjutkan, melangkah lebih dekat. "Kau pikir dia akan berhenti datang kepadaku? Berhenti mencintai aku?"
Mata Kireina berkilat dengan amarah yang barely controlled.
"Dengar baik-baik, *gadis*," Kireina menghina kata itu. "Daryon itu MILIKKU. Dia mencintai AKU. Dan bayi itu..." tatapannya turun ke perut Alviona dengan tatapan yang membuat darah Alviona membeku, "...tidak akan mengubah apapun."
"Kumohon..." Alviona berbisik, suaranya bergetar hebat. "Kumohon jangan sakiti bayiku..."
Kireina tersenyum—senyum yang paling mengerikan.
"Menyakiti?" ulangnya dengan nada innocent yang fake. "Aku? Kenapa aku mau menyakiti bayi yang tidak bersalah?"
Dia melangkah lebih dekat—sangat dekat—sampai wajahnya hanya beberapa senti dari wajah Alviona.
"Tapi..." bisiknya dengan napas yang menyentuh pipi Alviona, "kecelakaan bisa terjadi kapan saja, kan?"
Dan tiba-tiba—
Kireina melangkah ke samping, seolah mau lewat, tapi bahunya—*sengaja*—menyenggol tubuh Alviona dengan keras.
Sangat keras.
"Ah! Maaf!" Kireina langsung berpura-pura kaget, tangannya terangkat seolah tidak sengaja.
Tapi dorongan itu cukup kuat untuk membuat Alviona kehilangan keseimbangan.
Tubuhnya oleng—kaki tersandung ujung karpet—tangan mencoba meraih apapun untuk pegangan tapi tidak ada—
Waktu terasa melambat.
Alviona melihat lantai marmer yang keras mendekat—pikirannya langsung ke perut, ke bayi—
*TIDAK!*
Tangan terulur untuk melindungi perut—posisi jatuh yang salah bisa—
Tapi sebelum tubuhnya menghantam lantai, seseorang menangkapnya.
Tangan kuat melingkar di pinggangnya, menopang tubuhnya, mencegahnya jatuh.
Alviona terengah-engah—jantungnya berdebar sangat cepat, mata berkaca-kaca, napas pendek-pendek.
Dia noleh—
Bi Sari.
Bi Sari yang kebetulan lewat dengan nampan, langsung menjatuhkan nampan itu dan berlari menangkap Alviona.
"NONA!" teriak Bi Sari dengan panik, menopang tubuh Alviona yang gemetar. "Nona baik-baik saja?!"
Alviona tidak bisa menjawab—shock terlalu besar. Tangannya memeluk perutnya erat, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
*Hampir. Hampir saja.*
Kireina berdiri di sana dengan ekspresi yang terlihat khawatir—acting yang sempurna.
"Ya ampun! Maaf sekali! Aku tidak sengaja!" ucapnya dengan nada yang terdengar genuine concerned. "Kamu baik-baik saja, Alviona?"
Tapi mata Kireina—yang tidak dilihat Bi Sari—menatap Alviona dengan senyum tipis yang menyeramkan.
Senyum yang mengatakan: *Ini baru permulaan.*
Bi Sari membantu Alviona duduk di sofa, terus bertanya apakah ada yang sakit, apakah perut oke, apakah perlu dokter.
Alviona menggeleng—masih shock, masih gemetar, tapi dia bisa merasakan... bayi masih aman. Tidak ada kram. Tidak ada darah.
*Aman. Untuk sekarang.*
Kireina mengambil tas tangannya dengan anggun.
"Sepertinya aku harus pergi. Aku sudah merepotkan." Dia berjalan ke arah pintu dengan langkah ringan.
Tapi sebelum keluar, dia berhenti sebentar—cukup dekat dengan Alviona tapi cukup jauh dari Bi Sari yang sedang mengambil air—dan membungkuk sedikit, seolah mau bisik sesuatu yang caring.
Tapi yang keluar dari mulutnya adalah racun:
"Hati-hati dengan kehamilanmu, Alviona," bisiknya dengan nada manis yang mencekam. "Banyak hal buruk bisa terjadi pada ibu hamil. Tangga yang licin. Lantai yang basah. Orang yang tidak sengaja menyenggol di tempat ramai..."
Dia berdiri tegak lagi, tersenyum manis.
"Jaga dirimu baik-baik ya, *adik*."
Dan dia pergi—high heels berbunyi di lantai marmer, menghilang keluar mansion, meninggalkan Alviona yang duduk gemetar di sofa.
---
Bi Sari kembali dengan segelas air, membantu Alviona minum.
"Nona, Bibi antar ke kamar ya. Nona harus istirahat."
Alviona mengangguk lemah—masih shock, masih belum bisa bicara.
Bi Sari mengantar dia ke kamar, membantu dia berbaring, memastikan dia nyaman.
"Bibi panggilkan dokter?"
"Tidak... tidak usah, Bi..." Alviona berbisik. "Aku... aku baik-baik saja."
Tapi dia tidak baik-baik saja.
Setelah Bi Sari keluar, Alviona meringkuk di ranjang—tangan memeluk perut dengan sangat erat, tubuh gemetar tidak terkontrol.
*Dia mau menyakiti bayiku.*
*Dia hampir membuat aku jatuh.*
*Dia akan mencoba lagi.*
Ketakutan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya menghampirinya—ketakutan yang lebih besar dari ketakutan pada Daryon, lebih besar dari ketakutan pada keluarga Prasetya.
Karena ini ketakutan untuk nyawa lain.
Nyawa yang tidak bisa membela diri.
Nyawa yang bergantung sepenuhnya pada dirinya.
"Maafkan ibu, sayang..." bisiknya pada perutnya, air mata mengalir deras. "Maafkan ibu tidak bisa melindungimu dengan baik..."
Tangannya mengelus perut dengan gerakan yang sangat lembut, penuh kasih sayang tapi juga penuh ketakutan.
"Tapi ibu janji... ibu akan jaga kamu. Apapun yang terjadi. Ibu tidak akan biarkan siapapun sakiti kamu."
Dan sejak hari itu, Alviona berubah.
Dia tidak keluar kamar kalau tidak sangat perlu.
Kalau harus keluar, tangannya selalu di perut—posisi protektif.
Matanya selalu waspada—mengecek setiap sudut, setiap orang.
Langkahnya hati-hati—menghindari tangga yang terlalu curam, lantai yang basah, tempat-tempat yang ramai.
Dia makan di kamar.
Dia membaca di kamar.
Dia hidup di kamar.
Seperti tahanan yang mengurung diri sendiri.
Tapi bukan karena dia takut untuk dirinya.
Karena dia takut untuk bayinya.
---
**Malam itu, di apartemen Kireina, dia duduk dengan segelas wine dan ponsel di tangan. Mengetik pesan ke Pak Rudi: "Observasi dimulai sekarang. Target sangat waspada. Perlu cara yang lebih... kreatif." Dia tersenyum sambil menekan send. Lalu menatap foto Alviona di ponselnya—foto yang dia ambil tadi siang diam-diam saat Alviona hampir jatuh. Ekspresi ketakutan di wajah Alviona terlihat jelas. "Kau akan merasakan ketakutan yang lebih besar dari ini," bisik Kireina pada foto. "Aku janji."**
**Apakah Alviona bisa melindungi bayinya dari ancaman yang terus mengintai? Atau ketakutan ini akan menghancurkannya bahkan sebelum Kireina melakukan sesuatu? Dan apakah ada seseorang—Daryon, Javindra, Nayla, Velindra—yang akan menyadari bahaya ini sebelum terlambat?**
---
**[ END OF BAB 24 ]**