Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 - Udara Dingin atau Hati yang Dingin
Hari-hari Tari di Bandung terasa semakin penuh.
Rayhan semakin sering datang, bukan dengan maksud mengganggu, tapi dengan kehadiran yang ringan dan tulus.
Kadang ia membawa tanaman baru untuk halaman kecil Tari—satu pot lavender kecil hari ini, besoknya pohon mint mungil.
Kadang ia membawa sebungkus gorengan dari warung pinggir jalan favorit mereka semasa SMA, atau sekadar dua gelas kopi hangat.
"Aku cuma mau lihat senyummu, Tar," katanya suatu sore, dengan senyum khas Rayhan—hangat dan tidak mengharapkan apa-apa.
Dan Tari memang tersenyum. Bukan karena merasa harus, tapi karena merasa nyaman.
Bersama Rayhan, segalanya terasa ringan.
Tidak ada luka lama yang menganga.
Tidak ada tekanan untuk menjadi seseorang yang lain.
Hanya dia, sebagai dirinya sendiri.
Suatu siang yang cerah, Aline, sahabat lamanya, datang berkunjung ke rumah bersama putranya, Bima.
Tari menyiapkan kue bolu sederhana dan teh manis di ruang tamu yang kini terasa lebih hidup.
Bima, bocah kecil berusia tiga tahun itu, langsung berlarian di pekarangan, mengejar kupu-kupu, membuat suara tawa memenuhi udara.
"Rumahmu hangat sekali, Tar," kata Aline sambil menyandarkan diri di sofa, memandang Tari dengan senyum tulus.
Tari hanya mengangkat bahu kecilnya, menyembunyikan perasaan haru yang diam-diam mengalir di hatinya.
"Aku mencoba," jawabnya singkat.
Mereka menghabiskan waktu bercanda, membicarakan masa-masa SMA, dan sedikit tentang rencana masa depan.
Tapi di sela obrolan itu, saat Bima sibuk membongkar mainan kecil di sudut ruangan, Aline memandang Tari dengan sorot mata serius.
"Tar," katanya pelan. "Kamu belum pernah cerita kenapa kamu pulang secepat itu dari Jakarta."
Tari terdiam.
Beberapa detik hanya ada suara angin yang menerpa dedaunan di luar.
Lalu perlahan, Tari meletakkan cangkir tehnya.
"Ada seseorang," katanya akhirnya. "Seseorang yang... membuatku merasa hidup, tapi juga membuatku merasa hancur."
Aline tidak berkata apa-apa. Hanya mendengarkan.
"Namanya Gilang," lanjut Tari, suaranya bergetar sedikit. "Dia... rumit. Hubungan kami... rumit. Aku jatuh cinta. Tapi ada tembok besar yang tidak bisa kulewati."
Tari mengisahkan semuanya. Tentang kedekatannya dengan Gilang, tentang pengkhianatan kecil yang membuatnya merasa dipermainkan, tentang rahasia yang akhirnya mengoyak segalanya.
Tentang kenapa ia memilih kembali ke Bandung.
Dan tentang kenapa ia belum siap membuka hatinya lagi.
Aline mendengarkan dalam diam. Kadang mengangguk, kadang menggenggam tangan Tari erat.
Ketika Tari selesai bercerita, matanya basah tapi senyumnya tulus.
"Aku masih belajar," bisiknya. "Belajar memaafkan. Belajar melepaskan."
Aline meremas jemari Tari. "Kamu berhak memilih bahagiamu sendiri, Tar. Bahagia itu bentuknya banyak. Tidak selalu tentang bertahan, kadang tentang pulang."
Sore itu, setelah teh habis dan tawa Bima mengisi seluruh rumah, Aline pamit pulang.
Rayhan, yang kebetulan mampir, menawarkan diri untuk mengantar Aline dan Bima pulang ke rumah mereka yang tidak terlalu jauh.
Tari berdiri di teras, melambaikan tangan.
Saat mobil Rayhan perlahan menghilang di tikungan jalan, Tari tetap berdiri di sana.
Memandang langit Bandung yang mulai memerah keunguan, mendung tipis menggantung rendah.
Di hatinya, ada keheningan baru.
Bukan keheningan kesepian.
Tapi keheningan yang damai.
Ia menyandarkan tubuhnya ke tiang teras, memejamkan mata.
Dan untuk pertama kalinya, Tari bertanya pada dirinya sendiri, bukan dengan rasa takut, tapi dengan rasa ingin tahu:
"Apakah aku bisa... belajar mencintai lagi?"
Jawabannya mungkin belum sekarang.
Tapi mungkin.
Mungkin.