Rania Putri Handono kaget saat matanya terbuka dan berada di ruangan asing dan mewah. Lebih kaget lagi, di sampingnya terbaring dengan laki-laki asing dalam kondisi masing-masing polos tak berbusana.
Tak lama, pintu kamar dibuka paksa dari luar. Mahendra, suami Rania mendekat dan menampar pipi putih hingga meninggalkan bekas kemerahan.
Kejadian yang begitu cepat membuat Rania bingung.
Apakah rumah tanggganya selamat atau hancur?
Simak aja kisah ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keraguan Raditya
Bu Marmi masuk setelah kembali dari anjungan tunai.
"Rania, ini uangnya. Simpan dulu" suruh bu Marmi.
"Makasih bu" Rania menerima uang yang diserahkan bu Marmi dan menyimpannya di dalam nakas samping ranjang.
Bu Marmi menghampiri si kembar yang masih nyenyak dalam tidurnya.
"Gantengnya cucu ibu" kata bu Marmi menimang bayi-bayi itu.
"Bu" panggil Rania.
Bu Marmi menoleh dan dilihatnya Rania yang menatap serius ke arahnya.
"Ada yang tidak kuketahui kah?" telisik Rania.
"Tidak ada Rania. Semua sudah kuberitahu padamu. Mengenai tuan Raditya yang seperti diutarakan oleh perawat tadi, aku juga tak tahu" bilang bu Marmi karena telah diberi pesan untuk tidak memberitahu Rania. Menunggu tuan Raditya menjelaskan sendiri.
Rania tak bertanya lagi kepada bu Marmi. Bagaimanapun juga, hanya bu Marmi lah yang dimiliki sekarang olehnya.
"Kenapa Mahendra tak kesini lagi ya bu? Untuk mengambil uang buat Chiko?" tanya Rania.
"Sudah biarin aja, barangkali dia sudah ada uangnya" sela Bu Marmi.
"He...he...benar juga ya, tapi sepertinya tidak dech. Mahendra bukan tipikal orang yang gampang ngeluarin uang meski untuk hal-hal urgen seperti ini" ungkap Rania.
"Bilang saja dia pelit Rania" tukas bu Marmi. Rania terkekeh mendengar seruan bu Marmi.
Kedua bayi mungil itu menggeliat, dan mulai nangis bersamaan.
Bu Marmi mendekat. Bu Marmi yang hanya punya sedikit pengalaman karena dia sendiri tak punya anak, malah gugup menghadapi tangisan kedua bayi yang lama-lama tambah keras itu.
"Gimana ini Rania?"
Rania beranjak perlahan dari ranjang setelah menekan tombol merah.
Rania pegangi diapers keduanya, "Sepertinya penuh bu ini" kata Rania.
"Aku nggak bisa nggantiin loh" ujar bu Marmi.
"Tolong ambilin aja yang bersih bu, biar aku yang nggantiin" kata Rania menimpali.
Perawat datang saat Rania sudah selesai mengganti keduanya.
"Sus, sepertinya mereka haus. Bisa tolong bantu aku untuk menyusui mereka" pinta Tania.
"Baiklah nyonya" tukas perawat itu dengan sopan.
Perawat itu mambantu kedua bayi untuk menemukan gudang susu yang dipunya oleh Rania.
"Bu, bisa tolong kunci dulu pintunya" pinta Rania yang sudah memegang kedua kepala bayi yang menghadap ke arah buah ceri ranum miliknya.
Bu Marmi beranjak untuk melakukan apa yang Rania minta.
Meski awalnya masih bingung, akhirnya setelah dapat yang diingini kedua bayi itu menghisap kuat.
Rania hanya bisa meringis merasakannya.
"Wah, mereka pintar sekali nyonya. Kalau begini terus, tiga hari ke depan bisa saja dokter mengijinkan pulang" tutur sang perawat yang membantu barusan.
"Semoga saja sus" tukas Rania menimpali.
"Jadi harus bareng gitu ya?" tanya bu Marmi yang melihat Rania memegang bayi bersamaan.
"Kalau rewelnya bersamaan, mendingan gitu" ujar perawat.
"Makasih ya sus, nanti kalau aku kesulitan boleh manggil lagi ya?" tanya Rania.
"Tentu saja. Kalau begitu aku tinggal dulu nyonya" katanya pamitan.
Bu Marmi mengunci kembali pintu kamar rawat.
.
Sementara di kamar hotel, Raditya hanya bisa menelan ludah melihat pemandangan di layar ponsel.
"Lebih berisi daripada delapan bulan yang lalu" gumam Raditya.
Sejenak kemudian, Raditya memukul-mukul kepalanya. "Piktor kamu Raditya" ujarnya merutuki dirinya sendiri.
"Tapi, rugi juga kalau dilewatin" dan pandangan mata Raditya pun kembali ke arah layar ponsel yang menampakkan dua gundukan indah itu.
Beno masuk begitu saja ke presidential suit room itu. Raditya lekas-lekas membalik layar ponsel miliknya.
"Lihat apa sih? Ikutan dong" kata Beno.
"Nggak usah ya" tolak Raditya.
Beno hanya mencebikkan mulutnya, "Paling ngawasin Rania?" tebak Beno.
"Sok tahu loe" imbuh Raditya.
"Ngapain loe ke sini? Laporannya mana?" tangan Raditya menengadah meminta laporan yang dimaksud.
"Laporan apa? Kan masih nanti sore?" jelas Beno.
"Lantas loe ke sini mau ngapain?" sela Raditya.
"Mau tidur di sini" canda Beno.
"Ogah..!!!" jawab Raditya.
"Bos, apa loe tahu?"
"Enggak" Raditya langsung saja memotong perkataan Beno.
"Issshhhhh, dengerin dulu!!!!" sanggah Beno.
"Rania akan membantu pengobatan anaknya, setelah beberapa kali Mahendra memaksanya" bilang Beno.
"Wanita bodoh" umpat Raditya menimpali kata Beno.
"Bukan bodoh bos, tapi terlalu baik" terang Beno menimpali.
"Terlalu baik akhirnya gampang dimanfaatin" lanjut Raditya.
"Ya begitulah" kata Beno yang ikutan duduk di depan Raditya.
"Apa aku bayarin aja semua ya Beno, dengan meminta hak asuh Chiko biar kembali ke bundanya?" ungkap Raditya.
"Sudah siap loe bos, nampung anaknya Mahendra?" Beno masih saja bergurau.
Raditya menatap ke Beno dengan tajam.
"Biasa saja bos, emang gitu kan kenyataannya" timpal Beno.
Raditya diam tak menjawab. Memang benar apa yang dikatakan Beno. Dia bukan apa-apa nya Rania sekarang. Kebetulan saja, Raditya yang membuahi hingga Rania hamil si kembar. Dan sesudah itu tidak ada andil apapun dari Raditya.
"Beno, gimana pendapat kamu kalau aku menikahi Rania?" tanya Raditya tiba-tiba.
"Hah, beneran bos?" tukas Beno menimpali.
"Tapi aku ragu?" ucap Raditya.
"Ha...ha...seorang Raditya ragu?????" tukas Beno.
"Ragu, apa Rania mau dengan laki-laki bejat seperti aku?" tukas Raditya.
"Ha....ha....kamu kesambet kah?" Beno masih saja terbahak.
"Jadi ceritanya loe takut ditolak Rania?" imbuh Beno. Raditya pun mengangguk.
"Tenang bossss, cinta ditolak dukun bertindak" Beno masih setia dengan gurauannya.
"Gue seriusss Beno" tandas Raditya.
"Gue dua rius bos" alhasil timpukan remot Raditya pun tepat mengenai muka Beno.
"Ya loe temui Rania dong, bilang kalau loe mau nikahin dia" Beno pun mulai serius dengan pembicaraan yang dimulai oleh Raditya.
"Aneh nggak sih? Tiba-tiba gue datang terus ngelamar dia" tanggap Raditya.
"Ya aneh sih...he...he... Orang nikah kan paling nggak pacaran dulu, atau minimal sudah kenal lah. Lha emang bos sudah kenal luar dalam, demikian sebaliknya Rania?" tanya Beno.
"Kalau nggak kenal, mana ada kembar di perut Rania" jawab Raditya sekenanya.
"Bos ngawur ah" celetuk Beno.
"Loh, beneran. Nyatanya emang sudah ada hasil kan?" ganti Raditya yang bercanda.
"Terserah apa kate loe bossss...kembali ke pasal satu pokoknya" sela Beno.
"Pasal satu???" tanya Raditya membego.
"Pasal satu yang berbunyi dimana-mana ucapan bos itu selalu benar" jelas Beno.
"Haisssss kamu ini ada-ada saja. Ntar sore aku samperin aja Rania" ungkap Raditya berikutnya.
"Nah gitu dong bos, mana tahu kalau kita nggak coba. Moga-moga aja Rania ngejawab saat dia nggak sadar dan langsung mau bos nikahin" Beno menanggapi niatan Raditya.
"Tapi mau nggak ya Rania?" Raditya masih dengan keraguannya.
"Coba dulu lah" saran Beno.
Sore menjelang, Beno telah menerima sanggahan dari masing-masing divisi yang dievaluasinya tadi pagi.
"Nih.." Beno menyodorkan berkas-berkas baru itu.
"Males gue. Ntar malem aja" jawab Raditya.
"Jangan gitu lah bos, kalau loe galau jangan dibawa-bawa ke kerjaan dong" ujar Beno.
"Kulaporin tuan Andrian, baru nyahok loe" gumam Beno.
"Laporin aja, gue dipecat mah tak apa" balas Raditya.
"Sombong, mentang-mentang sudah punya usaha. Inget bosss, loe udah punya anak kembar yang butuh tanggung jawab loe" seru Beno membalas ucapan Raditya.
Mereka berdua akhirnya bergelut serius dengan berkas-berkas.
Kadang Beno mengetukkan bolpoin yang dipegangnya ke jidat, tanda dia menemukan sesuatu.
Ponsel Raditya berdering, mengagetkan Beno juga.
"Siapa sih gangguin, nggak tahu apa kalau kita sedang kerja?" sungut Beno.
"Hussssttttt..." Raditya menaruh telunjuk di mulut meminta Beno untuk diam. Dia tunjukkan layar ponsel, siapa yang menelpon dirinya saat ini.
"Bu Marmi?????" gumam Beno
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
To be continued, happy reading