Seorang perempuan bernama Zainab Rahayu Fadillah memutuskan menikah dengan seorang pria bernama Hasan Bahri. Dia menerima pinangan itu, dikarenakan keluarga sang suami adalah keluarga dari turunan turunan seorang tuan guru di sebuah kota.
Zainab dan keluarga, jika mereka adalah dari keturunan baik, maka sikapnya juga akan baik. Namun kenyataannya bertolak belakang. Dunia telah menghukum Zainab dalam sebuah pernikahan yang penuh neraka.
Tidak seperti yang mereka pikirkan, justru suami selalu membuat huru hara. Mereka hampir setiap hari bertengkar. Zainab selalu dipandang rendah oleh keluarga suami. Suami tidak mau bekerja, kerjanya makan tidur dirumah. Namun penderitaan itu belum selesai, adik ipar dan juga ponakannya juga sering numpang makan di rumah mereka, tanpa mau membantu dari segi uang dan tenaga. Zainab harus berjuang sendiri mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pura-pura pingsan
“Sekarang kamu harus mengerjakan tugas dan mencari jawabannya! Jika satu pun kamu nggak bisa menemukannya, namamu tidak akan kami masukkan ke kelompok...” ucap Fatur dingin.
“Tapi... Aku nggak siap...” jawabnya pelan.
“Lalu apa yang kamu bisa? Tadi kamu aja ngomong terus, masa depan guru aja nggak bisa. Katanya anak pinter...” sindir Rini.
Eva menghela napas kasar dan menatap Rini tajam.
“Kamu bisa diam nggak? Aku nggak ngomong sama kamu...” ucapnya setengah membentak.
“Kok marah?” jawab Rini terkekeh.
“Kau aja tadi bisa ngoceh panjang lebar, kenapa giliran kita ngomong kamu nggak terima hah?” tanya Rini lagi.
“Betul!” tegas ketua kelas.
Sedangkan Rini mengulum senyum. Ia senang, Eva merasa terpojokkan dan tidak ada yang membelanya.
Beberapa menit kemudian, kembali kelompok nampak sibuk berdiskusi. Tidak lama kemudian, sang guru masuk dan presentasi pun dimulai.
“Kamu dibagian membaca dan mempresentasikan tugasnya. Rini tugasnya menulis semua jawaban dan pertanyaan. As dan Fatur, bertugas dan aku mencari jawabannya...” jelas ketua Kelompok.
Eva nampak kaget. “Aku?” tanyanya menunjuk dirinya sendiri.
“Iya... Masa harus kita lagi sih... Kan dari tadi kamu cuma diam saja...” tegas Ketua Kelompok.
Wajah Eva seketika pucat. Eva terdiam. Ia menelan ludah dan mempersiapkan untuk presentasi. Benar, Eva saat presentasi lebih banyak diam.
Ia selalu lama diam, saat teman-temannya mengajukan pertanyaan. Kadang, secara bergantian As, Rini, ketua kelompok dan Fatur yang menjawab semua pertanyaan itu. Eva lebih banyak diam.
“Makanya jangan banyak omong... Sekali di suruh orang aja langsung diam dan nggak bisa jawab pertanyaan... Modal cantik doang...” sindir Rini, saat melihat Eva dari tadi, tidak bisa menjawab pertanyaan dari kelompok lain dan juga tidak bisa memberikan kesimpulan yang tepat. Intinya banyak omong, isinya kosong.
“Aku dari tadi kerja ya, kalian aja nggak lihat...” jawab Eva dengan suara agak keras.
Ia sengaja, untuk memancing reaksi guru.
“Apa ada Va? Kenapa ribut?” tanya guru melirik kearah Eva. Eva memasang wajah sedih.
“Lihat bu, Rini... Dari tadi nuduh aku terus nggak kerja, padahal aku sudah nyari jawabannya.... Mereka menyudutkan aku terus... Padahal aku sudah berusaha...” jelasnya.
“Mana ada, kau dari tadi diam terus dan yang mencari jawabannya kami semua. Kamu hanya numpang nama aja tahu...” jawab Rini dengan cepat dan menatap Eva tajam.
“Lihat bu, dari tadi Eva disudutkan terus...” ucapnya dengan nada sedih.
“Ya sudah, kamu cari jawaban dari pertanyaan kelompok Sanders saja. Cari jawabannya dan presentasi kan. Ibu kasi waktu lima menit...” kembali Eva kaget, dan ia menatap teman-temannya.
Sang teman-teman malah pura-pura sibuk dengan buku mereka sendiri. Dibalik buku itu, semua teman-temannya menahan tawa.
Dengan wajah kesalnya, Eva berusaha mencari jawabannya. Namun tetap saja, ia tidak menemukan jawabannya. Ia mendengus kesal. Para teman-temannya masih sibuk dengan kegiataan mereka sendiri.
Ia menatap Fatur. “Fat, tolongin aku... Masa kamu tega sih buat aku malu...” ucap Eva mulai mengiba.
“Cari aja dulu jawabannya...” jawab Fatur tanpa menatap Eva.
“Tapi ini sulit...” lirihnya dengan nada sedih.
“Nggak sulit, jika kau cari dan kerjakan. Kita aja bisa, masa kamu nggak...” jawab Fatur lagi.
“Eva, waktumu habis... Sekarang presentasikan jawabanmu...” ucap sang guru.
Eva makin panik, ia kembali menatap teman-temannya. Namun teman-temannya masih acuh dan sengaja mengabaikannya.
Eva berusaha berdiri dengan wajah pucat dan tangan gemetar. Ia mulai berbicara, namun bicaranya hanya sampai ditenggorakan saja. Ia binggung mau mengatakan apa.
“Jawabnya adalah...” ucapnya terus mengulang kata-kata yang sama.
“Jadi jawaban dari pertanyaan kelompok Sanders adalah...” jawabnya dengan gugup.
Tidak ada satu pun kalimat yang terbaca oleh otaknya. Ia gugup sekali. Sedangkan teman-temannya malah senang, bisa memberi pelajaran terhadap Eva.
Eva melirik kearah kelompoknya setiap kali mau bicara dan tidak bisa mengeluarkan kalimat demi kalimat. Namun nampaknya, kelompoknya tidak peduli dengannya. Ia kembali mendengus pelan.
“Lama sekali... Ngomongnya kek kaset rusak. Tersendat-sendat...” bisik di bangku belakangnya.
Ia masih bisa mendengar suara itu. Ia mendengus kesal dan memasang wajah sedih.
“Bu, lihat kelompok yang ada dibelakangku malah mengatai aku kaset rusak dan lamban... Padahal aku sudah berusaha mau menjelaskan. Aku hanya gugup dan sedang sakit perut, jadi aku kurang konsentrasi bu...”
“Siapa yang berkata seperti itu?” tanya bu guru dengan tegas.
Tidak ada yang menjawab.
Hening...
“Jelaskan apa yang kamu dapat Eva...” ucap Guru kembali mengejutkannya.
“Jawabannya adalah....” Eva mencoba menjelaskan lagi.
“Katanya pinter ngomong, dan ia hebat... Tapi presentasi aja kek gini terus aja. Bengong kek orang lagi kesurupan...” ejek kelompok dibelakangnya.
“Bu...” adu Eva lagi.
“Ada apa lagi Eva?” tanya sang guru.
“Mereka mengatai aku lagi bu... Ia bilang, aku bengong terus seperti orang kesurupan... Padahal aku sudah berusaha menjelaskan... Aku hanya kurang konsentrasi bu, kepalaku tiba-tiba pusing...” ucap Eva mencari alasan.
“Kamu fokus saja menjelaskan jawabamu! Jangan sibuk dengan omongan mereka. Waktumu hampir habis...” jelas sang guru.
Eva berusaha mengulur waktu, sampai waktunya habis dan ia dipersilahkan duduk dan menyuruh temannya yang menjawab.
“Usaha terus! Tapi nggak tahu apa yang lagi dia usahakan.” kekeh temannya.
“Bu...” Eva berusaha kembali mengadu.
“Jawab saja Ea...” jawab ibu Guru lagi.
“Tapi bu...” Eva memasang wajah memelas.
“Kalau kamu tidak bisa memahami pertanyaan dan tidak siap, katakan. Tapi ini tanggung jawabmu. Kamu nggak boleh bergantung terus sama teman-temanmu...” jelas Bu Guru dengan tegas.
“Jika kamu tidak bisa memahami materinya dan tidak bisa menjawab pertanyaan dari temanmu, nilaimu ibu buat rendah...” sambung bu guru lagi.
“Jawabannya adalah...” tiba-tiba Eva meringis dan jatuh pingsan.
Ada beberapa teman-temannya nampak terkejut, dan ada beberapa hanya terkekeh. Mereka tahu Eva lagi membuat drama.
Apalagi teman kelompoknya, nampak puas dengan apa yang terjadi pad Eva. Bahkan mereka membiarkan saja Eva masih pingsan dilantai.
Eva nampak kesal. Tidak ada yang mengangkat dirinya. Namun ia harus pura-pura pingsan, agar dirinya tidak berhadapan lagi dengan guru.
“Tolong bawa temanmu itu keuks...” ucap sang guru. Tapi tidak ada yang bergerak. Semuanya diam.
“Sanders, kamu bawa Eva ke uks...” panggil bu Guru.
“Terus saja begitu, kalau ia nggak bisa menjawab pertanyaan orang. Menyusahkan saja...” gerutu Sanders kesal.
Ia bahkan sempat mencubit lengan Eva. Eva yang tidak menyangka, Sanders mencubitnya berteriak kesakitan. Tawa teman-temannya pecah kesetiaan, karena Eva ketahuan berpura-pura.
“Lihat bu, ia hanya pura-pura... Masa orang pingsan bisa berteriak. Padahal aku tidak melakukan apa-apa padanya....” jelas Sanders kepada sang guru.
“Dia mencubit lenganku bu...” sahut Eva bangkit dari pingsannya. Sejenak ia melupakan bahwa tadi ia pura-pura pingsan.
“Kok, kamu tahu kalau aku mencubit kamu? Bukankah kamu lagi pingsan?” kekeh Sanders.
“Eva... Kamu akan saya kasi tugas makalah, kau kerjakan sendiri, jangan minta buatkan sama tukang warnet. Tugasnya dikumpul minggu depan...”
“Tapi bu...” Eva berusaha protes, namun sang guru tidak mau mendengarkan.
Sanders berdiri dengan wajah dingin. Saat ia berdiri, matanya sempat bersitatap pada As yang juga menatapnya. Ia tersenyum lalu meninggalkan Eva.
salam kenal ya, jgn lupa mampir di 'aku akan mencintaimu suamiku' 🤗🤗
aku akan datang kalo udh UP lagi 😉
jangan lupa untuk mampir juga yaaa makasihhh