Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Another Disturbance
Beberapa hari berlalu setelah keributan di ruang interogasi dan diskusi rahasia Indra dan Araya.
Araya yang berada di ruangannya bersama Miku dan Akihisa sedang meninjau peta Distrik Senja, menyusun strategi untuk Eric dan Haruna. Pintu ruangan Araya tiba-tiba dibuka dengan kasar.
Mereka didatangi oleh komandan yang waktu itu mengganggu interogasi Dokter Kevin—Kapten Takeda dan dua orang lainnya, wajah mereka penuh kemarahan.
Kapten Takeda melangkah maju dan mengajukan jika Araya melakukan ancaman.
"Kepala Detektif Araya, kami datang untuk mengajukan laporan resmi! Anda telah menggunakan ancaman dan intimidasi untuk memaksa pengakuan dari Dokter Satou!" seru Kapten Takeda. "Dan Anda mengancam akan melibatkan markas besar Suzaku, itu adalah pelanggaran prosedur yang serius!"
"Anda pikir Anda siapa? Polisi jalanan? Kami akan pastikan Anda dicopot dari jabatan Anda!"
Akihisa dan Miku terheran bingung karena serangan balik yang begitu cepat dan berani dari para komandan itu. Mereka khawatir Araya benar-benar akan disalahkan.
Sedangkan Araya masih duduk di mejanya sambil menopang dagu dengan santai, mendengarkan celotehan mereka tanpa terganggu sedikit pun.
Araya membiarkan mereka meluapkan amarahnya, tahu bahwa serangan balik ini adalah konfirmasi akhir bahwa mereka semua ada di daftar gaji AgateX.
Melihat ketegangan yang meningkat dan ancaman serius terhadap atasan mereka, Akihisa berusaha menenangkan para komandan dengan nada bicara yang sopan namun tegas.
"Kapten Takeda, tolong kendalikan diri Anda. Kita bisa membahas prosedur ini dengan lebih tenang," kata Akihisa.
Ia dibantu Miku yang berdiri di dekatnya, mencoba meredakan situasi tegang.
"Ya, Kapten. Kepala Detektif pasti memiliki alasan yang kuat—"
Namun Araya memberi isyarat kepada Akihisa dan Miku agar diam. Dengan gerakan tangan yang halus, Araya meminta mereka untuk mundur dan biarkan para komandan ini berbicara.
Araya menikmati momen ini. Para komandan itu terlalu percaya diri dan gegabah, dan Araya membiarkan mereka menggali lubang mereka sendiri. Setiap kata tuduhan yang mereka ucapkan adalah bukti tambahan atas kepanikan mereka.
"Lanjutkan, Kapten Takeda," kata Araya, nadanya dingin dan tenang. "Jelaskan lagi di mana letak pelanggaran hak asasi manusia yang begitu parah sehingga Anda harus datang dan mengganggu penyelidikan kasus perdagangan organ yang sedang berlangsung."
Komandan Takeda dan anak buahnya, didorong oleh kepanikan untuk melindungi koneksi AgateX mereka, terus menyerang Araya. Namun, tanpa dasar hukum yang kuat, kata-kata mereka hanya menjadi omong kosong.
Para komandan itu berbicara dengan mulut penuh kata yang belepotan. Mereka mengulang-ulang tuduhan tentang surat penangkapan yang tidak sah dan prosedur yang dilanggar, tetapi mereka tidak bisa menjelaskan mengapa mereka begitu gigih melindungi seorang dokter yang mengaku terlibat dalam pembunuhan dan perdagangan organ.
"A-Anda tidak berhak... Dokter Satou adalah korban! Dia dipaksa bicara! Kami akan mengajukan tuntutan pembebasan segera dan mengajukan pencopotan Anda karena tindakan sewenang-wenang!" teriak Kapten Takeda, wajahnya memerah.
Araya hanya menyimak, matanya tidak menunjukkan emosi. Sesekali ia memainkan pulpen di tangannya, memutarnya perlahan di antara jari-jarinya. Gerakan kecil itu, ditambah dengan keheningan Araya yang menekan, membuat para komandan itu semakin gelisah dan kata-kata mereka semakin kacau.
Miku dan Akihisa, yang mengamati dari samping, melihat bahwa Araya sedang membiarkan mereka menghancurkan kredibilitas mereka sendiri sebelum serangan balik dimulai.
Setelah membiarkan Kapten Takeda dan timnya puas menuduh, Araya memutuskan untuk mengakhiri sandiwara itu. Ia menyadari gertakan terbaik adalah gertakan yang dijamin oleh nama-nama besar.
Araya mengambil setumpuk formulir dari laci mejanya.
"Baiklah, Kapten Takeda," ujar Araya, suaranya tenang. "Jika Anda ingin mengajukan keluhan resmi tentang prosedur, kami harus melakukannya dengan benar. Ini adalah formulir pengaduan internal."
Araya memberikan formulir untuk para komandan itu isi.
"Saya akan memastikan laporan ini disampaikan secara langsung ke kantor pusat di Suzaku," lanjut Araya, mencondongkan tubuh sedikit. "Khususnya, ini akan diurus oleh Jeon Goto, kakak dari Indra Goto—Kepala Divisi Kontrol Internal Suzaku. Tentu saja, laporan Anda juga akan diperiksa oleh jaksa di sana, yaitu Evelia Nishida."
Para komandan merasa ngeri mendengar nama mereka. Jeon Goto dikenal karena tidak mengenal ampun terhadap korupsi internal, dan Evelia Nishida adalah jaksa federal paling ditakuti di Shirayuki. Nama-nama itu bukan hanya gertakan; itu adalah hukuman mati karier.
Namun, mereka berpikir Araya hanya menggertak mereka untuk menakut-nakuti, mencoba untuk tetap terlihat kuat.
Saat Kapten Takeda mengambil pulpen untuk mengisi formulir dengan tangan gemetar, Araya mendekat, merendahkan suaranya hingga hanya Takeda yang bisa mendengarnya.
"Saya tahu kalian yang waktu itu menjebak Indra dan mengeluarkannya dari kepolisian," bisik Araya. "Dan saya punya rekaman Dokter Satou yang mengkonfirmasi koneksi Anda dengan AgateX. Isi formulir itu, Takeda. Semakin banyak Anda menulis, semakin banyak bukti yang akan saya kirimkan kepada Jeon."
Wajah Takeda memucat sempurna, menyadari bahwa Araya tidak hanya menggertak, tetapi sedang bermain dengan api dengan dukungan dari Suzaku.
Kapten Takeda dan dua komandan lainnya, yang kini lumpuh oleh ancaman Araya dan nama besar Jeon Goto dan Evelia Nishida, dengan patuh mulai mengisi formulir pengaduan, meskipun tangan mereka gemetar.
Araya menunggu mereka semua mengisi formulir dengan kesabaran yang dingin. Sambil sesekali menyesap kopinya—kopi kantor yang dibuat dengan mesin seadanya.
Araya mengeluarkan keluhan di tengah situasi yang begitu tegang.
"Astaga," keluh Araya, meletakkan cangkir kopinya. "Kopi di kantor ini benar-benar tidak bisa diminum. Rasanya seperti air kotor."
Ia menatap Akihisa dan Miku.
"Aku harus mengeluh pada bagian logistik. Kopi di sini tidak sebaik buatan Indra. Itu baru kopi yang pantas diminum."
Araya kembali menatap para komandan yang sedang menulis, seolah-olah dia sedang menunggu pesanan makanan daripada laporan ancaman.
Akihisa dan Miku saling pandang, menahan tawa. Di tengah konfrontasi yang bisa menjatuhkan karir mereka, Araya justru fokus pada kualitas kopi. Mereka berdua tertawa canggung. Ini adalah cara Araya menunjukkan dominasi: betapa tidak pentingnya ancaman para komandan itu dibandingkan dengan rutinitasnya.
Araya memutuskan sudah cukup bersantai.
Araya menaruh kopinya dan berjalan perlahan, mendekati mereka. Ia berdiri di samping Kapten Takeda, lalu memiringkan kepalanya sedikit.
"Kapten," tanya Araya dengan nada tenang namun menusuk. "Mengapa tidak mengisi formulirnya? Anda mengajukan keluhan serius, tetapi Anda hanya menulis nama dan pangkat di kolom pengadu. Di mana detail ancaman yang begitu mengerikan itu?"
Tekanan dari Araya, ancaman Suzaku, dan fakta bahwa Araya tahu mereka menjebak Indra sudah terlalu berat.
Para komandan mulai merasa pesimis. Salah satu komandan di belakang Takeda yang sudah selesai mengisi namanya saja, berbisik:
"Kapten, kita tidak akan menang. Araya pasti punya backup. Kita mundur saja."
Akhirnya Takeda menggebrak meja dengan frustrasi yang luar biasa. Ia menggerutu sambil berjalan keluar, diikuti oleh anak buahnya, meninggalkan formulir yang setengah terisi di atas meja. Mereka benar-benar kalah.
Saat mereka melewati pintu, Akihisa dan Miku memberikan ucapan ramah mereka yang paling sinis.
"Terima kasih sudah berkunjung, Kapten Takeda!" ujar Akihisa.
"Semoga harimu menyenangkan, Komandan!" tambah Miku.
Araya hanya tersenyum dingin memandang mereka pergi. Ancaman internal telah dinetralkan.
Setelah komandan korup itu pergi, Araya berbalik menghadap Miku dan Akihisa, yang masih sedikit terkejut dengan sandiwara yang baru saja terjadi. Araya ingin memastikan bahwa penyamaran Indra sebagai 'Konsultan' tetap aman.
Araya bertanya kepada Akihisa dan Miku tanpa memandang mereka secara langsung pada awalnya, nadanya santai seolah-olah mengajukan pertanyaan basa-basi.
"Hei, Akihisa, Miku," ujar Araya, berpura-pura merapikan mejanya. "Menurut kalian, mungkinkah jika aku bekerja sama dengan Indra saat ini untuk menangani kasus ini?"
Araya memastikan jika Akihisa dan Miku tidak mencurigai apapun tentang peran Indra yang sebenarnya dalam 'penculikan' Kevin dan strategi jebakan tadi.
Akihisa dan Miku menjawab canggung karena mereka tahu riwayat hubungan Araya dan Indra. Mereka tahu Araya waktu itu sangat marah dengan Indra karena pelanggaran prosedur yang menyebabkan Indra keluar.
"Uh, Araya-san," jawab Akihisa ragu-ragu. "Mungkin saja, tapi... agak sulit dipercaya, mengingat apa yang terjadi waktu itu. Kalian kan saling membenci."
"Ya, Araya-san," timpal Miku. "Setelah semua keributan soal protokol itu, dan kau terus bilang dia 'si bodoh yang merusak prosedur'... sepertinya tidak mungkin kalian bekerja sama lagi."
Araya menyeringai lebar. Ia telah mendapatkan jawaban yang ia inginkan: penyamaran aman.
Araya mengkonfirmasi jawaban Akihisa dan Miku dengan nada mengejek.
"Tentu saja tidak mungkin!" seru Araya, sambil menoleh ke mereka tersenyum lebar. "Aku tidak mungkin bekerja sama dengan si bodoh itu lagi! Dia hanya akan merusak semua prosedurku!"
Araya tertawa kecil, berhasil mengalihkan kecurigaan timnya.
"Ayo, fokus. Sekarang kita punya lokasi Haruna, nama petinggi AgateX, dan daftar pengkhianat di markas kita. Kita atur penangkapan besar-besaran."