Kisah yang menceritakan tentang keteguhan hati seorang gadis sederhana, yang bernama Hanindya ningrum (24 tahun) dalam menghadapi kemelut rumah tangga, yang dibinanya bersama sang suami Albert kenan Alfarizi (31 tahun)
Mereka pasangan. Akan tetapi, selalu bersikap seperti orang asing.
Bahkan, pria itu tak segan bermesraan dengan kekasihnya di hadapan sang istri.
Karena, bagi Albert Kenan Alfarizi, pernikahan mereka hanyalah sebuah skenario yang ditulisnya. Namun, tidak bagi Hanin.
Gadis manis itu, selalu ikhlas menjalani perannya sebagai istri. Dan selalu ridho dengan nasib yang dituliskan tuhan untuknya.
Apa yang terjadi dengan rumah tangga mereka?
Dan bagaimana caranya Hanin bisa bertahan dengan sikap dingin dan tak berperasaan suaminya?
***
Di sini juga ada Season lanjutan ya say. Lebih tepatnya ada 3 kisah rumah tangga yang akan aku ceritakan. Dan, cerita ini saling berkaitan.
Selamat menikmati!
Mohon vote, like, dan komennya ya. Makasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shanayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Suara getaran HP membuat Hanin menghentikan aktifitasnya dari mengaduk tepung. Terlihat nama Kenan disana. Sejak Hanin menerima HP nya 2 minggu lalu, mereka memang sudah sering, saling mengirim pesan mesra antara satu sama lain.. Wanita itu tersenyum, membuka layar dan mulai membaca pesan yang masuk.
"Sayang, aku tunggu kamu di hotel EVO jam 5 sore ini. Kamar 991. Jangan menghubungiku. Aku sedang rapat dengan klien. Tunggu saja disana. Ada kejutan kecil untukmu."
Begitulah tulisan yang tertulis di sana. Hanin sedikit heran. Tidak biasanya Kenan menyuruhnya untuk pergi seorang diri. Pria itu selama ini bahkan selalu mewanti-wanti dirinya. Bahkan, jika ada keperluan diluar. Kenan selalu menyuruh untuk menunggu dirinya.
Hanin membaca ulang pesan yang di terimanya. Memastikan jika pesan itu benar datang dari sang suami.
Hanin segera menepis perasaan anehnya. "Namanya juga kejutan" Dia tersenyum gembira.
"Bik, tolong selesaikan donatnya ya. Saya pergi keluar sebentar." Hanin berucap pada asisten yang biasa membantunya memasak.
Dia melihat jam sudah menunjuk pukul 3. Artinya, waktu sebelum sampai ke hotel hanya tersisa 2 jam lagi. Gadis itu pun naik kekamarnya untuk bersiap-siap.
Tak lama Hanin telah sampai di lobby hotel. Dia melihat sekeliling. Berharap suaminya telah datang lebih dulu. Namun, nihil. Pria itu belum terlihat. Hanin ingin menghubungi. Tapi, dia teringat pesan sang suami untuk tidak melakukan itu. Kenan memerintahkan dirinya untuk menunggu langsung di kamar.
Setelah berbicara dengan resepsionis, Hanin berjalan di lorong kamar. Mengikuti langkah kaki karyawan hotel yang menuntunnya menuju kamar yang telah terpesan.
"Silahkan buk! Ini kamarnya." Pria itu membuka pintu. Lalu, menyerahkan kunci yang bebentuk kartu itu ketangan Hanin. Dia menunduk sopan. Kemudian berlalu.
Hanin melangkah masuk. Melihat sekeliling, mengagumi kamar mewah itu.
Dia berulang kali melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul 6 lewat. Suara Adzan pun sudah berkumandang. Kenan belum juga datang. Dia memutuskan untuk melaksanakan kewajibannya dulu.
Suara ketukan pintu terdengar begitu Hanin baru memasukkan mukenahnya kembali ke dalam tas. Gadis itu tersenyum.
"Assalammualaikum," Kenan mengucap salam begitu Hanin membuka pintu.
"Waalaikum salam." Hanin meraih dan mencium tangan pria itu.
Kenan tersenyum kecil. Wajahnya terlihat kusut. Seakan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia melangkah masuk dan duduk di sofa.
Hanin berjongkok, melepas sepatu dan kaus kaki Kenan. Tak lupa wajah tersenyum gadis itu selalu terpancar di wajahnya. "Apa pekerjaan hari ini banyak mas?" Hanin berjalan ke lemari, tempat menyimpan sepatu.
Kenan menarik nafas beberapa kali. "Tidak." Dia masih melihat kearah sang istri.
"Lalu, kenapa wajah mas kusut seperti itu?" Apa mas capek, mau aku pijitin mas?" Tangan Hanin sudah berpindah pada kedua bahu Kenan.
Pria itu menahan tangan istrinya, menarik kedepan, dan mendudukkan Hanin di pahanya.
"Aku hanya terlalu merindukanmu" Kenan memeluk Hanin kuat.
Hanin menggeliat, dia merasa sedikit sakit. Karena, pelukan kenan terasa agak kuat. "Mas, sakit." Ucapan Hanin menyadarkan Kenan. Membuat pria itu segera menlonggarkan tangannya.
Kenan terus memeluk Hanin tanpa suara, membuat wanita itu merasa ada yang aneh dengan sang suami. "Mas, apa terjadi sesuatu yang buruk?" Hanin mulai merasa khawatir.
Kenan mengangkat wajahnya, dia memggeleng sambil terus memandang Hanin, dalam.
"Bolehkah aku meminta dirimu, melayani ku?" Dia bertanya.
Hanin semakin merasa ada yang aneh. Dia heran kenapa Kenan meminta ijin seperti itu, saat ingin menyentuhnya. Dia tak punya kesempatan lagi untuk bertanya, saat merasa tangan dan bibir suaminya sudah mulai beraksi.
Setelah selesai dengan urusan ranjangnya, Kenan langsung jatuh tertidur. Dia mengambil posisi membelakangi Hanin. Hal yang belum pernah dilakukan pria itu semenjak mereka mulai berbaikan. Meski merasa sedikit sedih, namun Hanin tetap berusaha berpikiran positif.
Pagi menjelang. Hanin terbangun, bersuci dan kembali menunaikan ibadah paginya.
Karena tak tau harus mengerjakan apa, akhirnya gadis itu kembali ke tempat tidur.
Hanin terjaga ketika mendengar suara gemercik air kamar mandi. Tak lama, pria itu keluar. Dia telah mengenakan baju stelan kantor. Melirik Hanin sekilas, lalu duduk di atas sofa.
"Hanin kemari lah!" Kenan memanggil.
Hanin yang dari semalam sudah merasakan ada yang aneh dengan suaminya, mulai berdebar. "Kenapa mas Kenan terlihat dingin, apa perasaanku saja?" Dia bergumam di sela langkah menuju sofa.
"Mas, apa ada masalah? Dari semalam aku merasa mas berbeda dari biasanya." Hanin bertanya saat dirinya sudah duduk di samping Kenan.
Kenan mulai terlihat serius, dia menarik nafas panjang beberapa kali. Meraih tas yang semalam di bawanya. Dan, mengeluarkan sebuah berkas dari sana. "Tadi malam adalah malam terakhir kita bersama. Ini buatmu dan mulai sekarang kau boleh pindah dari rumahku." Kenan berucap lantang. Dia melatakkan sebuah berkas di atas paha wanita itu.
Hanin tersentak, detak jantung semakin tak beraturan. Tangannya gemetar melihat berkas yang diberikan oleh Kenan. Membuka dengan pelan, terlihat disana berkas tentang beberapa aset yang telah berpindah atas namanya. Bukan satu. Tapi, entah beberapa lembar. Dia tak perduli. Dengan dada berguncang dan pikiran aneh yang mulai terlintas di benak, wanita itu memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Apa maksudnya mas, bisa tolong diperjelas?" Hanin mencoba tetap terlihat tenang.
"Aku ingin kita berpisah." Kenan mengepalkan tangannya. Dia tak berani menatap mata Hanin saat mengatakan hal itu.
Duar, jantung Hanin terasa copot. Air mata yang tadi sudah mengenang, kini mulai berjatuhan. Tak ada angin, tak ada hujan. Kenapa suaminya meminta berpisah. Dia merasa tak percaya dengan apa yang didengar oleh telinganya.
Hanin menatap Kenan. "Tapi, kenapa mas? Kenapa tiba-tiba mas ingin kita berpisah. Bukankah selama ini kita baik-baik saja? Apa, aku melakukan kesalahan? Katakan saja mas, aku akan berusaha memperbaikinya." Hanin meraih tangan Kenan. Air mata makin membanjiri pipi. Tapi, pria itu tetap tak mau melihat ke arah istrinya.
"Kau tidak salah, kau wanita yang baik. Hanya saja, aku telah bosan hidup bersamamu. Pergilah, aku rasa aset itu lebih dari cukup untuk menghidupi mu." Kenan berdiri, berjalan menuju pintu kamar.
Hanin makin terenyuh, hati yang tadinya sakit. Saat ini, telah berubah menjadi hancur berkeping-keping. "Tunggu mas." Suara Hanin menghentikan langkah Kenan. Dia berhenti, tapi tetap tak mau menoleh pada wanita itu.
"Apa semudah itu dirimu membuangku? Aku manusia mas, bukan binatang." Hanin berjalan mendekat.
"Aku tau, kalau bisa. Maafkan aku. Kau wanita yang baik, hanya saja. Aku tidak bisa laginterus bersama denganmu." Suara Kenan terdengar bergetar. Seperti menahan sesuatu beban di hatinya.
"Hanya itu? Apa hanya itu yang bisa mas ucapkan? Apa mas sudah tidak mencintai ku lagi?" Hanin meraih tangan Kenan. Tapi, pria itu segera menepisnya.
"Tidak!" Jawabnya cepat.
"Hah, Bisakah mas mengatakannya dengan memandangku?" Hanin mengusap air matanya.
Kenan yang dari tadi membelakangi Hanin. Terlihat menarik nafas panjang beberapa kali. Tangan pria itu terkepal kuat. Dia berputar, melihat Hanin dengan mata tajam. "Hanindya Ningrum, aku ingin kau melupakan ku. Dan, hiduplah dengan baik. Karena, aku sudah tidak mencintaimu lagi." Ucapan Kenan terdengar bergetar, seakan ada yang menekan hatinya. Mata pria itu memerah, terlihat genangan cairan bening di sudutnya.
Kenan cepat berbalik. Melangkah keluar. "Tunggu." Panggilan Hanin menahan langkahnya.
Hanin berjalan menuju sofa, mengambil berkas. "Kalau mas ingin kita berpisah, baiklah.
Tapi, bawa ini bersamamu." Dia memberikan berkas aset tadi kembali ketangan Kenan.
"Aku istrimu mas. Kau tidak boleh memperlakukan aku seperti wanita di pinggir jalan." Hanin mengahapus air matanya.
"Kalau dengan wanita bayaran, kau boleh berlaku seenakmu. Ketika kau suka, kau bisa memakainya. Namun, begitu kau bosan, kau boleh membuangnya dengan memberikan mereka harta kekayaan. Tapi, aku istrimu. Kau bertanggung jawab denganku di hadapan Allah. Cukup ceraikan saja aku, dan aku akan pergi dari hidupmu." Ucap Hanin. Suaranya tak lagi terdengar bergetar. Harga dirinya menahan untuk tetap terlihat tenang.
Kenan terdiam. "Kalau hanya itu yang kau inginkan. Maka, tunggulah surat cerai dariku." Pria itu melanjutkan langkahnya, tanpa menoleh sedikit pun.
Hanin menatap punggung suaminya yang telah menghilang di balik dinding kamar. Dia merasa tulangnya mulai lemah. Wanita itu terduduk di lantai. Menangis sejadi-jadinya. "Uhu.. uhuk.. " Dia terus menangis.
Bukan karena di tinggal oleh Kenan. Namun, karena dia merasa bodoh. Dia menyesali ketidak tahuannya, sejak kapan sang suami mulai merasa bosan pada dirinya. Dia selalu merasa di cintai. Karena itulah, dia tidak tau. Kapan semua terjadi.
TBC
Selamat membaca, mohon bantu vote, like, kasih hadiah dan silahkan berkomen ria.
Terima kasih.
sorry gwa baca sampe sini