Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
Memulai hari dengan hadiah spesial dan pernyataan cinta tidak pernah ada dalam to do list Naren. Boro-boro masuk to do list, membayangkannya saja tidak pernah. Dia ini sibuk dengan si kunyuk Eric sejak masih orok, jadi tidak punya waktu untuk melirik lawan jenis. Teman-teman sekelasnya selama SD sampai SMA saja dia tidak benar-benar hafal muka dan namanya, apalagi ini teman kuliah yang bahkan tidak berada di satu kelas.
Naren memandang heran sosok gadis berambut legam sepunggung di hadapannya. Dress warna pastel dengan motif floral yang dibalut cardigan rajut itu malah mengingatkannya pada outfit Kayanara. Bedanya, gadis ini tampak cantik dan anggun, sedangkan Kayanara terlihat seperti emak-emak tukang gosip yang suka keluyuran keluar rumah dengan rol rambut menggantung.
“Aku rajut sendiri loh, hasil belajar selama beberapa bulan.”
Dipandanginya paper bag yang gadis itu sodorkan. Di dalamnya mengintip sweater warna hitam. Ada secarik kertas menyembul dari balik lipatannya.
“Buat gue?” tanyanya sekali lagi, sambil menunjuk wajahnya sendiri.
Si gadis mengangguk semangat. Senyum manis madunya semakin lebar dari waktu ke waktu.
“O—oke, makasih.” Karena tidak enak, dia terima pemberian gadis itu, tak lupa memberikan senyum karier sebagai bentuk sopan santun.
“Sama-sama, Narendra. Semoga kamu suka, ya!” celoteh gadis itu riang.
“Iya.” Naren menjawab sekenanya.
Gadis itu lalu balik badan sambil mesem-mesem sendiri. Mengabaikan mahasiswa lain yang berlalu-lalang di koridor.
Sekitar empat langkah diayun, gadis itu berhenti. Naren yang memang masih berada di tempatnya, praktis menaikkan sebelah alisnya otomatis. Pikirnya, kenapa lagi nih?
“Di dalamnya ada surat tulisan tangan, kalau kamu sempat tolong dibaca ya.”
Oh...
Naren mengangguk saja, supaya cepat. Dia tidak nyaman menjadi pusat perhatian oleh mereka-mereka yang melintas. Belum lagi si kutu kupret Eric yang sedari tadi menahan tawa dan tak berhenti menyenggol-nyenggol lengannya.
“Ya udah, bye Narendra!”
Lambaian tangannya tak dibalas, Naren hanya tersenyum malas sampai si gadis semakin menjauh. Setelah sosoknya hilang ditelan belokan, dia berbalik melotot pada Eric.
“Kunci mulut lo, jangan sampai Ayah sama Abang dengar gosip yang enggak-enggak.” Dia memperingatkan.
Eric hanya menyengir seperti orang bodoh. Membuat Naren ragu anak itu akan bisa menjaga rahasia.
Tenang, sabar... Naren menarik napas dalam-dalam. Paper bag di tangannya dioper kepada Eric, lalu dia melangkah mendahului.
“Buat gue nih?” tanya Eric seraya berlari menyusul.
“Bawain. Tangan gue pegel,” sahut Naren, kemudian menyakui kedua tangannya.
Eric berdecak pelan, tapi tetap mendekap paper bag milik Naren dan kembali tersenyum lebar.
“Gue nggak nyangka lo udah punya penggemar di minggu pertama kuliah,” goda Eric.
Mata Naren melirik tak suka. Bibirnya bungkam, enggan bicara.
“Siapa tadi namanya? Jihan? Megan? Afgan?”
“Pala lo Afgan!” omel Naren. Langkahnya berhenti sebentar, hanya untuk menemukan Eric cengengesan.
“Terus siapa dong?”
“Nggak inget.” Naren kembali melangkah, pandangannya lurus ke depan. Sepuluh meter lagi sampai di kelas.
“Kok bisa nggak inget?”
Ayunan kaki Naren terhenti lagi di depan ruang kelas. Dia menatap Eric dengan sorot kelelahan. “Nama lo aja gue nggak akan inget kalau bukan karena udah temenan dari orok, jadi mau berharap apa?” todongnya.
Eric geleng-geleng kepala tak habis pikir. “Sayang banget muka tampan lo itu, ketemu sama pemilik yang salah.” Celotehnya terdengar ngawur dan tidak masuk akal.
“Muka lo juga sayang banget ketemu lo yang gesrek dan nggak waras,” balas Naren tak mau kalah. Daripada makin kesal, dia masuk ke dalam kelas. Keadaan masih sepi, baru beberapa bangku yang terisi.
Di bangku tengah, Naren duduk, disusul Eric beberapa detik kemudian. Dia mengeluarkan ponselnya, berniat main game satu putaran sambil menunggu dosen tiba.
Proses loading masih berlangsung ketika seseorang memanggil namanya dari arah depan. Naren mengangkat kepala. Seorang gadis berambut pendek sebahu, mengenakan blouse floral dan high waist jeans, tersenyum padanya.
Kenapa semua hawa yang gue temuin hari ini pakai baju bunga-bunga, sih? Batinnya, malah salah fokus pada motif baju si gadis alih-alih menanyakan ada keperluan apa.
“Ada apa, Cantik?” Sebagai gantinya, Eric mewakili bertanya.
Yang dipanggil cantik masih tersenyum. Dari goodie bag bersablon karakter anime yang tersampir di bahunya, ia mengeluarkan satu kotak berukuran sedang berwarna hitam dengan pita biru muda. Kotak itu kemudian disodorkan kepada Naren.
“Hadiah perkenalan,” katanya.
Naren menoleh ke samping, beradu tatap dengan Eric, kebingungan.
“Kenapa?” tanyanya sewaktu kembali mendongak pada si cantik. Tampangnya seperti orang bloon.
"Karena aku suka.”
“Suka Naren?” serobot Eric.
Si cantik tampak tersenyum malu-malu. “Belinya jauh ke London, harus custom juga. Jadi semoga kamu suka, ya.”
Naren masih tidak mampu mencerna situasinya. Dalam satu waktu, dua gadis cantik datang padanya, memberinya hadiah. Padahal dia tidak habis berbuat apa pun yang bisa menarik perhatian mereka.
"Iya, makasih ya.” Eric menyambar kotak hadiah tersebut karena Naren terlalu lama melamun.
“Makasih ya temannya Narendra,” kata gadis itu pada Eric.
Senyum Eric pudar seketika. Temannya Narendra, katanya. Apa gadis cantik mirip Dewi Yunani ini tidak tahu siapa namanya?
Belum juga sempat protes, gadis itu sudah lebih dulu pergi. Dia berjalan ke deretan bangku belakang. Eric memandanginya sampai gadis itu duduk di bangku paling belakang, deretan tengah.
“Lo habis pasang susuk, ya?” tanya Eric curiga. Suaranya pelan, dibisikkan dekat sekali dengan telinga Naren.
“Susuk apaan. Percaya dukun aja enggak.” Naren merebut kotak hadiah dari tangan Eric, menyimpannya ke dalam paper bag pemberian si gadis pertama. Habis itu, dia memasang earphone, khidmat bermain game. Lumayan satu babak, daripada harus mendengar ocehan tidak masuk akal dari mulut Eric.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
...
“Mau ngapain?”
“Nelpon nenek sihir, lah, minta jemput.” Jempolnya sudah dekat dengan layar, siap menekan nomor Kayanara, ketika Eric menginterupsi.
“Nah ini,” Telunjuk Eric bergerak-gerak. “Ini nih akibatnya karena lo terlalu sensi sama Macan, jadinya dia ngomong apa pun nggak pernah lo dengerin.”
Naren tidak mengerti Eric bicara apa, jadi dia tetap menekan nomor Kayanara lalu menempelkan ponsel ke telinga.
“Nggak akan diangkat, Macan lagi sibuk.”
Sebelah alis Naren terangkat. Karena benar. Teleponnya tidak tersambung. Suara operator perempuan menyapa telinganya alih-alih suara cempreng Kayanara.
“Tahu dari mana kalau nenek sihir lagi sibuk?” tanyanya seraya menurunkan ponselnya.
Eric mendengus. “Tadi pagi kan Macan bilang mau ada meeting sama klien, jadinya bakal telat jemput. Lo sih keburu kabur, makanya nggak denger.”
“Oh.” Singkat, padat, menyebalkan.
“Lain kali jangan begitu.”
“Lah, kenapa jadi belain nenek sihir?”
Eric mengembuskan napas kasar. “Bukan mau belain, tapi kalau lo main pergi gitu aja, mana lo tahu kalau ada informasi penting yang harus lo denger?” jelasnya.
Naren terdiam, lalu menghela napas rendah. “Ya udah, ini kita gimana? Mau naik taksi online aja?”
“Nggak mau.”
"Minta tolong jemput Pak Dahlan deh.”
Eric menggeleng, kedua tangannya menyilang membentuk huruf X. “Pak Dahlan lagi sibuk.”
“Sibuk apaan? Dia kan khusus nyetirin lo doang.”
“Sibuk istirahat,” cetus Eric. Mengundang decakan sebal dari Naren.
“Terus mau gimana? Macan Lo itu lama nggak meeting-nya? Bisa kering kita kalau nungguin dia di sini.” Naren merepet. Agak sensi karena matahari masih bersinar terik di atas kepalanya.
“Jangan nunggu di sini.”
“Ya terus di mana?” Dia makin sewot.
“Warnet aja yuk, mabar.”
“Nggak.”
“Ke bioskop deh, nonton Jumbo. Gimana?” Alis Eric naik turun.
“Nggak. Nggak relate, gue nggak punya emak.”
Eric tertohok, dadanya seperti habis ditonjok. “Buset, dark jokes.” Kepalanya menggeleng pelan.
“Naik taksi online aja udah.” Naren bersikeras.
Tetapi, Eric juga tak kalah keras kepala. Dia menggeleng kuat-kuat. “Ke kafe Bang Dirga aja yuk.”
“Jauh,” tolak Naren.
"Deket kok, cuma 30 menit naik taksi online.” Eric masih berusaha menawar.
“Tambah 15 menit bisa sampai rumah, dodol.”
“Ih, ayolah....”
Demi Tuhan... Naren kesal sekali kalau Eric sudah menyerobot bagiannya begini. Eric ini semacam karma instan yang dikirim Tuhan kepadanya. Di rumah, dia bisa tantrum pada ayah dan abangnya, lalu dibalas seketika melalui si kunyuk satu ini.
“Ya udah!” kesalnya. Mengalah saja lah, daripada mereka jadi tontonan karena si Eric mulai melompat-lompat tantrum tidak keruan.
“Yess!” Eric berseru senang. Kedua tangannya mengepal di depan dada, kegirangan.
“Buruan pesan taksi online, kepala gue udah mau meledak nih saking panasnya.” Naren setengah berlari ke gazebo depan.
Eric menyusul setelah berseru, “Siap, Bos!” yang ujung-ujungnya tetap membuat mereka menjadi pusat perhatian.
Beberapa orang melemparkan tatapan skeptis pada Naren, membuatnya mendengus sebal. Kesannya seperti dia sedang membully Eric kalau begini. Padahal dia kan anak baik, sopan, rajin menabung, dan berbudi pekerti luhur.
“Stop bertingkah, Met. Gue lagi nggak mood nih, jangan sampai pas tidur nanti malam, gue bekap muka lo pakai bantal sampai mampus.”
Bersambung....