Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.
Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Bisik-bisik mulai menyebar di antara para karyawan Satya Group, terutama mereka yang bekerja di lantai eksekutif.
Sejak pagi, berita mengenai istri pribadi Arya Satya beredar cepat bak angin kencang. Beberapa menatap heran, beberapa lainnya saling bertukar pandang penuh prasangka.
Mereka tak menyangka bahwa sosok wanita sederhana yang beberapa kali terlihat datang ke kantor dengan wajah datar itu kini menyandang status istri sang CEO.
Di pantry, dua karyawan yang cukup senior tengah berbicara pelan namun tajam.
"Aku masih nggak percaya. Perempuan itu? Jadi istrinya Pak Arya?" ucap Indira, staf keuangan yang terkenal cerewet dan ambisius.
"Aku juga. Bukan maksud meremehkan, ya. Tapi dari mana asalnya? Dia bukan dari kalangan mana pun yang pernah dekat dengan Pak Arya," timpal Fina, staf hubungan investor, menatap ke arah koridor dengan tatapan penuh selidik.
"Lalu bagaimana dengan Bu Nayla? Mereka sudah menikah bertahun-tahun, bukan?"
"Konon katanya itu cuma pernikahan bisnis. Tapi tetap saja, ini bikin nama perusahaan jadi bahan omongan. Apa enggak mencoreng citra ya?"
Tak jauh dari situ, Laras hanya menghela napas sambil menatap layar laptopnya. Ia tahu, tugasnya bukan sekadar mengatur jadwal atau mengingatkan Arya soal rapat.
Menjaga reputasi sang CEO juga bagian dari perannya. Ia menahan keinginan untuk ikut campur dalam pembicaraan, tapi diam-diam mencatat dalam benaknya siapa saja yang perlu diwaspadai.
Di ruangan Arya, suasana tetap tenang. Sang CEO duduk di balik meja kerjanya, tampak tak terganggu sama sekali oleh rumor yang tengah berkembang di luar sana.
Kaila duduk di sofa, menatap sunyi ke luar jendela, memikirkan bagaimana hidupnya berubah drastis hanya dalam beberapa minggu.
"Aku tahu ini tak mudah bagimu," kata Arya, akhirnya membuka suara.
Kaila menoleh perlahan. "Kau tidak menyesal mengatakannya di depan semua orang?"
Arya menatapnya dengan sorot mata dingin namun tegas. "Tidak. Sekarang mereka tahu tempatmu. Dan aku akan pastikan mereka tahu untuk tidak bermain-main denganmu."
Seketika, hatinya yang tadinya gelisah mulai mereda. Entah mengapa, meski sikap Arya sering membingungkan, ada ketegasan dalam ucapannya yang mampu membuat Kaila merasa sedikit lebih aman.
Namun konflik baru sedang membentuk dirinya, perlahan namun pasti. Bisik-bisik itu akan berkembang menjadi rencana yang lebih besar.
Karena di antara mereka yang membicarakan, ada satu sosok yang menyimpan iri dan ambisi lebih dari sekadar rasa ingin tahu.
Salah satu ruangan di lantai lima khusus untuk tim pengembangan proyek terlihat lebih tenang dari biasanya.
Namun bukan karena tidak ada aktivitas. Justru ada satu orang yang sedang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya sambil menatap layar dengan ekspresi penuh perhitungan.
Namanya Rani Wulandari, Kepala Divisi Proyek Khusus. Usianya baru tiga puluh dua, ambisius, cerdas, dan dikenal punya kedekatan profesional yang cukup intens dengan Arya.
Beberapa kali, dia pernah ditugaskan langsung mewakili Arya dalam pertemuan dengan investor luar negeri. Tak sedikit pula rekan kerja yang berspekulasi bahwa Rani menyimpan perasaan khusus pada CEO mereka yang dingin dan penuh karisma itu.
Dan pagi tadi, ketika Arya Satya mengumumkan bahwa Kaila adalah istrinya, mata Rani hanya menatap kosong.
“Aneh,” gumamnya lirih. “Seorang CEO sekelas dia... menikah dengan wanita tak dikenal, tanpa latar belakang bisnis, bukan dari keluarga terpandang…”
Tangannya menggenggam mouse dengan kuat, lalu menekan klik sembarangan hingga spreadsheet-nya tertutup.
Ia menghela napas panjang, lalu menyender ke kursi. Wajahnya masih tenang, tapi matanya menyimpan bara.
“Aku sudah berdiri di dekatnya selama bertahun-tahun… Aku tahu bagaimana ritme kerja dan cara berpikirnya. Tapi perempuan itu muncul begitu saja dan langsung mendapat tempat khusus?”
Tak lama kemudian, Laras masuk ke ruangan itu untuk mengirimkan dokumen hasil revisi. Rani menyambutnya dengan senyum tipis.
"Laras," ujarnya dengan nada datar. "Kau pasti tahu lebih dulu soal ini, bukan? Tentang... 'istri baru' itu."
Laras hanya tersenyum sopan. “Saya tahu apa yang perlu saya tahu. Dan itu sudah cukup.”
“Pintar,” sindir Rani halus. “Tapi kadang menyembunyikan sesuatu terlalu lama bisa menjadi bumerang. Apalagi kalau menyangkut citra perusahaan.”
“Justru karena itu saya menjaga rahasia perusahaan sebaik mungkin, termasuk privasi Pak Arya,” balas Laras dengan tenang, namun tegas.
Rani menatap Laras sebentar, lalu tertawa pelan. “Aku hanya ingin memastikan. Tak ingin perusahaan tempat kita bekerja jatuh karena urusan hati seseorang.”
Setelah Laras pergi, Rani membuka ponselnya dan mulai mencari data tentang Kaila. Ia bukan tipe wanita yang duduk diam saat ada ancaman terhadap posisi strategis yang ingin ia raih.
Di tempat lain…
Beberapa staf lain seperti Indira dan Fina masih membicarakan gosip itu di chat grup kantor yang tak resmi. Dan gosip semakin panas ketika salah satu dari mereka mengaku pernah melihat Kaila mengantarkan makanan ke ruang CEO jauh sebelum pengumuman itu dilakukan.
Kabar - kabar palsu seperti itu akan sangat mudah tersebar di antara para karyawan.
“Aku pikir dia OB baru,” tulis salah satu karyawan. “Ternyata istri bos? Gila.”
“Kita lihat aja. Apa perempuan itu bisa tahan di lingkungan kerja yang penuh tekanan ini.”
Gosip menyebar, perlahan berubah menjadi tekanan sosial. Beberapa orang mulai bersikap dingin kepada Kaila, meski masih terselubung sopan.
Dan di balik semua itu, Rani terus menyusun langkahnya. Ia tahu, untuk menjatuhkan lawan, bukan kekerasan yang dibutuhkan, tapi strategi. Ia hanya perlu satu celah untuk menjatuhkan citra Kaila di mata Arya dan ia yakin celah itu akan datang.
.....
Di tengah hiruk-pikuk kantor yang tak pernah berhenti, Arya duduk di meja kerjanya, mata tetap terfokus pada layar komputernya.
Meski dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak kunjung berhenti, pikirannya sebenarnya terganggu oleh kehadiran seseorang. Kaila. Ia bisa merasakan keberadaan perempuan itu, bahkan ketika Kaila hanya duduk di meja dekatnya.
Pagi itu, seperti biasa, Arya menjaga penampilannya yang dingin, menanggapi setiap pertanyaan dari karyawan dengan tegas dan penuh kewibawaan.
Namun, ketika mata mereka bertemu sesekali, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya, meski ia berusaha keras untuk tetap memelihara sikap profesionalnya.
Kaila, yang duduk di meja dengan tumpukan dokumen yang juga cukup banyak, sesekali melirik ke arah Arya.
Ia bisa merasakan ketegangan di udara, tetapi sepertinya Arya tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka pembicaraan lebih lanjut.
Arya tetap seperti biasanya, tenang dan tak terpengaruh. Namun, di dalam dirinya, ia sangat menyadari kehadiran Kaila yang semakin sulit ia abaikan.
"Arya," Kaila memulai dengan suara lembut, cukup keras untuk menarik perhatian Arya meski ia berusaha fokus pada pekerjaan. "Ada yang ingin aku bicarakan."
Arya hanya mengangkat alis, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer. "Tentang apa?" jawabnya, dengan nada datar dan tampak tidak tertarik, meskipun dalam hatinya ia merasa tergerak untuk mendengarkan lebih banyak.
Kaila merasa sedikit canggung, tapi ia memutuskan untuk melanjutkan. "Tentang kita... tentang pernikahan ini. Aku merasa semakin banyak hal yang belum aku mengerti, tentang dirimu dan... tentang kita."
Arya menatapnya sejenak, namun tidak berkata apa-apa. Matanya yang tajam seperti biasa, tapi dalam sekejap itu, Kaila bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik tatapan itu.
Arya hanya diam, pura-pura cuek, meski ia merasa jantungnya sedikit berdebar. Ia tidak pernah berbicara banyak tentang dirinya, apalagi tentang pernikahan ini, tapi entah mengapa saat ini, Kaila menembus dinding ketegarannya.
“Aku tahu kita hanya terikat dalam kontrak ini, tapi... kadang aku berpikir kita bisa lebih dari itu, kan?” Kaila melanjutkan dengan perlahan, sedikit ragu.
Arya memutuskan untuk tetap berpura-pura tidak peduli. Ia mengeraskan ekspresinya dan meletakkan pensil di atas meja dengan gerakan hati-hati, seolah tidak ingin menunjukkan apa pun yang tidak perlu diketahui orang lain. "Kita di sini karena alasan tertentu, Kaila," jawabnya tanpa emosi, namun sebenarnya ia tahu bahwa kata-katanya tidak sepenuhnya menggambarkan perasaannya.
Kaila menunduk, mencoba memahami situasi ini, meskipun ia tahu Arya sedang berusaha menjaga jarak.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia bisa merasakan adanya ketertarikan yang terpendam dalam diri Arya. Hanya saja, pria ini terlalu menjaga citra dan tidak mau menunjukkan sisi lain dirinya.
"Jadi, kamu tidak ingin menjelaskan lebih banyak?" tanya Kaila, nada suaranya sedikit lebih rendah, mencerminkan keputusasaan.
Arya kembali menatapnya dengan tatapan penuh kewibawaan. "Tidak perlu ada penjelasan lebih, Kaila. Kita tahu apa yang terjadi, dan itu sudah cukup," jawabnya, tetap dengan nada datar dan profesional.
Namun, di dalam dirinya, Arya sebenarnya sedang berperang dengan perasaan yang semakin sulit ia kendalikan.
Setiap kali Kaila berbicara, setiap kali ia merasakan kedekatannya, Arya merasa semakin terjerat dalam perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia merasa cemas, takut jika terlalu banyak terbuka akan membuat semuanya semakin rumit.
Kaila, yang merasa sedikit kecewa dengan jawaban Arya, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia tahu bahwa perasaan yang ada di antara mereka masih terlalu rumit untuk dijelaskan.
"Baiklah," kata Kaila pelan, mengalihkan pandangannya ke tumpukan dokumen di mejanya. "Aku akan berusaha lebih mengerti."
Suasana di sekitar mereka kembali terasa dingin, namun ada kehangatan yang terpendam. Meski Arya berusaha menjaga jarak, Kaila tahu bahwa di balik sikap dinginnya, ada perasaan yang lebih dalam yang sulit untuk disembunyikan.
Tapi untuk saat ini, mereka hanya bisa berdiam diri, masing-masing terperangkap dalam dunia mereka sendiri yang tak bisa disatukan dengan mudah.
Di luar ruangan, beberapa karyawan melirik ke arah mereka, mencoba mengamati interaksi mereka dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan.
Namun, Arya tetap tidak menunjukkan perubahan ekspresi, menjaga jarak dan sikap profesionalnya.
Dengan ketegangan yang menggantung, Kaila menunduk kembali, merasa seolah hubungan mereka belum akan berubah begitu saja.
Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan mungkin, di suatu hari nanti, Arya akan membuka diri.
Tapi untuk saat ini, mereka berdua tetap terperangkap dalam pernikahan yang tak biasa ini, dengan segala perasaan yang tak terungkap.