Mata elang Layla mengamati pria yang akan menjadi suaminya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tindikan di telinga, tato di lengan, dan aura berbahaya yang terpancar, adalah definisi seorang badboy. Layla mendesah dalam hati. Menikahi pria ini sepertinya akan menjadi misi yang sangat sulit sepanjang karir Layla menjadi agen mata-mata.
Tapi untuk menemukan batu permata yang sangat langka dan telah lama mereka cari, Layla butuh akses untuk memasuki keluarga Bagaskara. Dan satu-satunya cara adalah melalui pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alisha Chanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Matahari mulai memancarkan sinarnya melalui celah jendela kamar, menyinari wajah Adrian dan Layla yang masih saling memeluk erat. Pagi itu, mereka terlihat lengket seperti tutup dan botolnya, setiap inci tubuh saling menempel, seolah tak mau ada jarak walaupun satu inci saja.
"Sudah waktu kerja, sayang." Bisik Layla dengan suara lembut, tapi tangannya tak bergerak dari pinggang Adrian.
Adrian semakin mengeratkan pelukannya pada Layla, mencium dahinya dengan lembut.
"Kamu yang pergi duluan ya. Aku tak mau pergi duluan, rasanya sakit sekali jika aku yang harus meninggalkanmu lebih dulu." ucap Adrian dengan nada lirih dan manja.
Layla mengangkat wajahnya, netra coklatnya memandang Adrian dengan penuh cinta dan sedikit kesedihan.
"Begitu juga aku. Aku tak bisa membayangkan hari ini tanpa kamu di sampingku sayang. Jadi kamu yang pergi duluan, ya?" cicit Layla pula.
Mereka berdua bertukar pandangan, masing-masing menuntut yang lain untuk meninggalkan kamar lebih dulu. Perdebatan sepele ini sudah berlangsung selama sepuluh menit lamanya, tapi tetap tak ada yang mau mengalah. Meskipun berat, mereka harus tetap berpisah dan bekerja di perusahaan masing-masing, jarak yang tak hanya akan memisahkan tempat, tapi juga waktu sepanjang hari.
Adrian dan Layla menatap ke arah pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Mom Anzela, berdiri di ambang pintu dengan senyum yang mengembang, netra birunya berbinar kala melihat tempat tidur Adrian dan Layla yang berantakan.
"Sepertinya, harapanku untuk segera punya cucu akan segera terwujud." gumam mom Anzela di dalam hati. Wajah cantiknya semakin berseri-seri, tak sabar menantikan hal itu akan terjadi.
"Ada apa mom? Kenapa masuk kamar kami tanpa permisi?" tanya Adrian yang tak suka kebersamaannya dengan sang istri terganggu, sekalipun pengganggu itu adalah ibu kandungnya sendiri.
"Kalau kalian berdua terus berpelukan seperti itu, kalian berdua akan terlambat pergi ke kantor." ujar Mom Anzela dengan nada lucu.
"Aku sudah meminta Adrian untuk pergi lebih dulu mom, tapi Adrian tidak mau." adu Layla.
"Tidak mom, aku tidak akan pergi jika Layla tidak pergi lebih dulu." balas Adrian.
"Bagaimana kalau kalian berdua pergi bersamaan saja? Seperti pasangan yang bahagia pada umumnya." mom Anzela menyarankan.
Adrian dan Layla saling melihat, lalu tertawa perlahan. Benar, mengapa harus saling memaksakan? Mereka melepaskan pelukan, tapi masih menggenggam tangan satu sama lain. Bersama-sama, mereka berdua mulai melangkah keluar kamar, berjalan menuju pintu depan sambil terus berpamitan dengan kata-kata cinta yang tak pernah ada habis.
"Dasar bucin." cibir mom Anzela namun dengan bibir tersenyum manis. Kemudian mom Anzela memerintahkan para pelayan untuk membersihkan kamar Adrian dan Layla.
***
"Jangan lupa telepon aku ya," ujar Layla setelah sampai di garasi, di mana banyak mobil mewah milik keluarga Bagaskara terparkir rapih di sana.
"Aku akan telepon tiap jam." Adrian mencium tangan Layla sebelum mereka masing-masing naik ke mobil yang berbeda.
Mobil hitam milik Adrian dan juga mobil merah milik Layla berjalan beriringan melewati gerbang kediaman keluarga Bagaskara, matahari sudah semakin meninggi menyinari jalan yang akan mereka tempuh. Meskipun harus terpisah, rasa cinta mereka tetap seperti tutup dan botolnya, akan selalu saling melengkapi.
***
Pintu depan Budiman Corp terbuka lebar seakan menyambut kedatangan Layla. Langkahnya tegas dan penuh rasa percaya diri, seolah pijakan di bawah kakinya adalah karpet merah yang mengarah ke sebuah takhta.
"Selamat pagi nona Layla." Setiap karyawan yang dilewatinya segera membungkuk untuk memberi hormat, lengkap dengan senyum sopan dan mata yang penuh rasa hormat, bahkan ada sedikit rasa segan terarah pada wanita cantik itu.
Layla tersenyum lebar. Rasanya seperti seorang ratu di sebuah istana megah, di mana semua orang akan tunduk pada kehendaknya. Suara langkah sepatunya yang keras mengganggu keheningan lorong, menjadi nada kebanggaan yang menyertai setiap langkahnya.
Layla berhenti di depan lift khusus petinggi perusahaan. Pintu lift terbuka seketika setelah dia menekan tombol, seolah mengetahui kehadirannya. Di dalam lift, cahaya lampu kristal memancar pada rambut hitam Layla yang tergerai indah, membuat penampilannya semakin memukai. Tujuan Layla hanya satu sekarang, yaitu menuju ruangan CEO.
Pintu ruangan CEO terbuka lebar tanpa Layla mengetuk terlebih dahulu. Di dalamnya, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih terkejut melihat kedatangan Layla. Papa Indra menatap Layla dengan mata membelalak, tangan yang sedang memegang kertas laporan terhenti di udara.
"Layla! Ini kantor, bukan rumahmu! Harus ketuk pintu dulu sebelum masuk, kamu harus tahu aturan!" seru papa Indra dengan nada menyindir, meskipun suara itu terdengar sedikit gemetar.
Layla melangkah ke dalam dengan yakin, sampai dia berdiri tepat di depan meja papa Indra. Wanita cantik itu menatap sang ayah dengan tatapan yang tegas dan tak tergoyahkan.
"Mulai sekarang, ruangan ini akan menjadi ruanganku. Karena aku adalah pemimpin di perusahaan ini." ujar Layla dengan suara yang tenang tapi penuh kekuasaan.
Papa Indra mengangkat alisnya, seolah tak percaya kata-kata itu akan keluar dari mulut gadis desa yang selama 20 tahun ini tinggal di desa seperti Layla.
"Apa yang kamu katakan Layla? Papa yang mendirikan perusahaan ini, jadi ruangan ini milik papa! Kamu cari saja ruangan lain!" ucap papa Indra dengan nada memerintah.
"Ya, tapi sekarang ruangan ini milikku. Jadi, silakan papa pergi dari ruangan ini. Waktu untuk pergantian kekuasaan sudah tiba." Jawab Layla tegas.
Bersambung.