Ketika cinta datang dari arah yang salah, tiga hati harus memilih siapa yang harus bahagia dan siapa yang harus terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santika Rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
“Makasih mbak.” kata Alleta ramah pada mbak-mbak yang baru mengantar pesanan mereka.
Keduanya kini terlihat tengah duduk di sebuah gazebo, di tepi pantai yang mereka sewa. Pakaian yang tadinya basah karena bermain jetski, kini sudah diganti dengan pakaian kering yang mereka bawa.
“Nanti makanannya biar gue yang bayar.” kata Alleta sambil menarik es kelapa lalu meneguknya.
Sagara yang tengah sibuk membuka cangkang kepiting, langsung menoleh cepat, “Gak usah, biar gue aja.”
“Kan daritadi Lo terus yang keluar duit.” balas Alleta santai. “Sekali-kali gantian lah.”
Sagara terkekeh pelan, “Tapi kan gue yang ngajak, masa first date split bill, taruh mana harga diri gue.”
“Uhuk..” Alleta tersedak kecil mendengar penuturan pemuda itu.
Dengan sigap, Sagara langsung mengambil tisu dan memberikannya pada Alleta, “Pelan-pelan.” katanya lembut.
“Alleta mengambil tisu tersebut, menepuk-nepuk bibirnya pelan. “Gapapa kali, split bill, lagian kalau Lo terus yang bayar, gue gak enak.”
“Ngapain gak enak, nih.” Sagara meletakkan sepotong daging kepiting yang telah dikupasnya di piring Alleta, “Makan nih kepiting, enak.” katanya santai, seolah itu bukanlah hal yang besar.
“Gue tau kok, duit Lo banyak, tapi kalau jalan sama gue, biar gue yang bayarin, duit gue lebih banyak.” Sagara berucap lagi, nadanya terdengar sombong namun tulus.
Alleta menatap Sagara dengan alis yang sedikit terangkat, dia bingung harus menjawab apa, “Kok Lo baik banget sama gue?” tanyanya akhirnya.
Pemuda bermata elang itu menelan sisa makanan di mulutnya, dia menatap jauh ke arah laut sebelum akhirnya menjawab, “Gue juga gak tau, kenapa tiap dekat Lo, rasanya nyaman. Gue udah ketemu sama, orang yang bisa bikin gue terbuka, dan itu Lo.” tutur pemuda itu, dalam. “Gue suka sama Lo All.”
Alleta terpaku, kalimat terakhir yang diucapkan Sagara membuatnya tidak bisa berkata-kata. Terlalu cepat, untuk mereka yang baru kenal tiga bulan.
“Gak usah buru-buru dijawab, gue cuma mau bilang perasaan gue, kasih gue kesempatan ya.” pintanya tulus. Nada itu terdengar lembut, sangat jauh dari dingin yang biasanya Alleta dengar.
“Kesempatan buat?” Alleta bertanya, padahal dia sudah tau jawabannya.
“Buat deketin lo.” sahut Sagara.
Alleta menarik napas, kemudian menunduk, hatinya semakin tidak aman mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut pemuda itu. Setelah merasa lebih tenang, dia kemudian mengangkat wajahnya, mengangguk. “Oke, tapi kalau suatu saat, ternyata gue gak mau sama Lo, gimana?”
Sagara tersenyum, “Ya gak apa-apa, itu hak lo.” balasnya santai. “Tugas gue cuma mengusahakan apa yang gue bisa, Lo terima atau nggak, itu tergantung isi hati lo.”
Alleta semakin speechless, setiap kata yang keluar dari mulut Sagara benar-benar membuatnya terpesona, pemuda itu ternyata memiliki pemikiran yang luas dan terbuka. Hanya saja tertutup oleh sifat dingin dan cueknya selama ini.
“Kok bisa sih, lo berpikir sedewasa itu?” tanya Alleta kagum.
Senyum di wajah pemuda itu semakin terlihat jelas, “Gue juga gak tau, intinya sekarang gue cuma pengen berusaha, entah nanti gue yang jadi pilihan Lo, atau orang lain, itu terserah takdir.”
“Pasrah banget Lo..” balas Alleta tertawa kecil.
“Bukan pasrah.” sarkas Sagara cepat.
“Terus?”
“Cuma sadar diri, kita manusia biasa, ngerubah diri sendiri aja kadang kewalahan, apalagi mau ngerubah orang lain, biar mau sama kita.” pemuda itu berkata santai, sembari mengambil beberapa potong kepiting yang belum terkupas.
Alleta benar-benar semakin kagum dengan cara berpikir Sagara, “Udah ih, kapan makanya..” katanya mengalihkan topik.
Sagara menurut, dia meletakkan beberapa daging kepiting yang sudah dikupas di piring Alleta,
“Thanks.”
Pemuda itu mengangguk.
Mereka mulai fokus mengunyah untuk mengisi kembali perut mereka yang kosong setelah bermain jetski.
Di kejauhan, hamparan laut benar-benar terlihat menenangkan, langit senja mulai berubah orange, angin berhembus semakin sejuk.
“Ehh sunset..” Alleta berseru kagum, matanya berbinar melihat pemandangan indah di hadapannya.
Sagara ikut menoleh ke ufuk barat. “Indah ya.” ucapnya pelan.
Alleta segera meletakan sendoknya, dia mengambil tisu membersihkan sisa makanan di mulutnya. Gadis itu bangkit dan berdiri semakin dekat ke bibir pantai. Cahaya jingga memantul di permukaan laut, ombak berkejaran seolah ingin ikut menyentuh matahari yang perlahan tenggelam.
“Sa, fotoin gue dong.” pinta Alleta spontan, tanpa menoleh.
Sagara sempat terdiam sepersekian detik, lalu meraih ponselnya dan melangkah menuju Alleta.
“Dari sini?” tanyanya.
“Munduran dikit..” Alleta memberi instruksi. “Nahh, dari sana.” ujarnya ketika Sagara sampai di titik yang tepat.
Gadis itu mulai bergaya, sementara Sagara memotret dengan kamera ponselnya.
Setelah beberapa jepretan, Alleta langsung menghampiri Sagara, “Coba liat.”
Sagara memberikan ponselnya, membiarkan gadis itu melihat foto hasil tangkapannya. “Ih kok gini..” keluh Alleta melihat foto yang tidak sesuai ekspektasinya.
“Gimana?, bagus kok.” balas Sagara.
“Lo fotonya jangan berdiri, gue jadi pendek.” pinta Alleta lagi.
Sagara mengangkat alisnya, lalu terkekeh kecil. “Terus gue harus jongkok gitu?”
“Iya.” jawab Alleta tanpa dosa. “Biar proporsional.”
“Emang badannya yang pendek, tapi gak mau kelihatan pendek.” gumam Sagara, tapi tetap menuruti. Ia sedikit menekuk lutut, menurunkan posisi ponselnya. “Gini?”
Alleta melirik sekilas, lalu mengangguk mantap. “Nah gitu dong.”
Klik. Klik.
Beberapa kali Sagara memotret. Kali ini Alleta tak banyak gaya, ia hanya berdiri membelakangi laut, sesekali menoleh, senyumnya tipis tapi hangat. Angin sore memainkan ujung rambutnya.
“Udah.” kata Sagara akhirnya.
Alleta menghampiri lagi, melihat hasilnya. Kali ini ia tersenyum puas. “Nah, ini baru bagus. Gue keliatan tinggi.”
“Udah setinggi harapan lo?” Sagara meledek.
Alleta menoleh tajam. “Diem lo.”
Mereka tertawa bersamaan. Senja semakin turun, langit berubah lebih pekat, jingga bergeser ke merah keunguan.
Saat akan kembali ke gazebo, seorang penjual keliling tiba-tiba menghampiri mereka, “Mas, mbak, ini ada aksesoris, boleh dilihat-lihat dulu.” katanya menawarkan barang dagangannya.
Alleta melambatkan langkahnya, matanya tanpa sadar tertuju pada deretan aksesoris yang digantung di tangan si penjual. Gelang kerang, kalung tali dengan bandul kecil, juga cincin sederhana berkilau terkena sisa cahaya senja.
“Lucu-lucu ya…” gumamnya pelan.
Sagara melirik sekilas, dia ikut berdiri di belakang Alleta.
Penjual itu tersenyum lebar, segera mendekatkan dagangannya. “Ini cocok buat mbaknya, kelihatan manis.”
Alleta mengambil sebuah gelang kerang berwarna putih pucat. Ia memutarnya di jemari, matanya nampak berbinar. “Berapa, mbak?”
“Yang itu, tiga, lima puluh.”
Sagara refleks merogoh saku, “Gue–
“Eh, Alleta menahan lengannya cepat. “Gue aja.”
“Bentar ya Bu.” Alleta berlari cepat ke arah gazebo, mengambil dompetnya, lalu menghampiri penjual itu lagi.
“Nih bu.” ujarnya memberikan uang lima puluh ribu pada si penjual.
“Makasih neng, ini silahkan, dipilih lagi dua.” si penjual mendekatkan gelang-gelang itu pada Alleta.
Gadis itu kembali melihat-lihat, ia kemudian tertarik oleh gelang yang sama dengan ukuran yang lebih besar, dan satu lagi gelang mutiara berwarna jingga dengan liontin kerang. “Ini aja bu.”
Penjual itu mengangguk senang, “Makasih ya, mas, mbak.” ujarnya lalu pergi.
Alleta kemudian melangkah kembali ke arah gazebo, diikuti oleh Sagara. Dia meletakkan gelang mutiara di dalam tasnya, lalu memakai gelang kerang yang ukurannya lebih kecil. “Cantik kan?” tanyanya, menunjukkan tangannya pada Sagara.
“Iya, cantik ” Sagara membalas, namun matanya tidak sedikitpun melihat ke arah gelang, kata cantik itu lebih mengarah untuk gadis yang bertanya barusan.
“Sini tangan lo.” Alleta menarik pergelangan pemuda itu, belum sempat Sagara bereaksi, dia memakaikan gelang kerang yang yang tadi ia beli.
Sagara sedikit terkejut, refleks hendak menarik tangannya, tapi gerakan Alleta lebih cepat. Gadis itu dengan cekatan memakaikan gelang kerang berukuran lebih besar ke pergelangan tangan Sagara.
“Nah.” Alleta tersenyum puas. “Lucu kan.”
Sagara menatap pergelangan tangannya sendiri, lalu ke tangan Alleta. Gelang mereka senada—sederhana, tapi entah kenapa terasa bermakna. “Couplean?” tanyanya pelan, setengah bercanda.
“Iya, hadiah first date dari gue.” balas Alleta membanggakan diri.
Sagara tersenyum–tipis namun tulus. “Bakal gue jaga baik-baik hadiahnya.” gumamnya namun masih bisa terdengar.
“Eh tapi, besok jangan ngomong apa-apa ya ke anak-anak.” ujar Alleta tiba-tiba. “Apalagi Aru, pasti bakal heboh banget kalau tau kita jalan.”
Pemuda itu mengangguk, “Iya, harusnya Lo yang lebih jaga mulut, Lo kan deket sama semua orang.”
“Iya..iyaa..”
"Dasar hidung belang...!!!!, lihat anak Lo kelaparan di rumah!!!, malah enak disini, bawa selingkuhan lagi..."
Suasana yang tadinya damai, tiba-tiba berubah ketika keributan terdengar dari kejauhan.
Keduanya sontak menoleh, di gazebo lain yang tak jauh dari mereka. Terlihat seorang wanita yang menggendong anak laki-laki yang sepertinya belum genap satu tahun, wajahnya nampak murka, dia sempat menjambak rambut pirang wanita lain yang sepertinya adalah selingkuhan suaminya–seorang pria yang kini berdiri dengan ekspresi terkejut, namun lebih memilih melindungi wanita berambut pirang itu.
Beberapa pengunjung lain ikut menoleh, ada yang berusaha melerai, ada yang hanya menonton, dan ada juga malah memvideokan.
Berbeda dengan Alleta yang terlihat penasaran, Sagara malah terlihat kurang nyaman. Mata pemuda itu perlahan memerah, Sagara merasa darahnya seolah naik sehingga suhu tubuhnya juga meningkat.
“All, kita pulang.” katanya dengan nada rendah.
Alleta menoleh, rasa penasarannya juga menghilang ketika melihat Sagara begitu serius. “Lo gak apa-apa?” tanyanya khawatir.
“Nggak, kita pulang sekarang.” pintanya lagi.
Alleta, meski terlihat bingung, tapi dia menurut dan tetap mengemasi barang-barangnya. Sagara membayar makanannya cepat, kemudian melangkah menuju parkiran.
Pemuda itu semakin terlihat tidak baik-baik saja, nafasnya memburu, peluh terlihat mengalir di pelipisnya meskipun udara terasa dingin.
“Lo beneran gak kenapa-napa?” tanya Alleta, dia semakin khawatir melihat Sagara.
Sagara menggeleng, dia kemudian menekan tombol pada kunci mobil, lampu mobil menyala, disusul bunyi beep pendek. Sagara membuka pintu pengemudi, tapi tangannya sempat tertahan di gagang pintu. Dadanya naik turun tak beraturan.
Alleta refleks mendekat. “Sa…” suaranya merendah. “Kalau lo gak enak badan, kita duduk bentar aja. Gak usah maksain nyetir.”
Sagara menggeleng pelan. Rahangnya mengeras. “Gue bisa.” katanya singkat, tapi jelas menahan sesuatu.
Di dalam mobil, Sagara menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Pusing mendera, suara-suara dari masa lalu kembali berputar menghiasi ingatannya.
Suara pukulan, pecahan prabot, hingga tangis ibunya ketika mengetahui ayahnya minum-minum bersama banyak wanita–semuanya berputar di kepala.
“Sa.., jangan bikin gue panik..” Alleta menggoyangkan lengan pemuda itu, ketika Sagara tiba-tiba memejamkan mata sembari memegangi kepalanya.
Beberapa detik berlalu, Sagara membuka kembali matanya, Alleta langsung memberikan air minum. “Minum dulu, tenangin diri lo.” katanya lembut, meskipun dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sagara meraih botol minum itu, langsung meneguk setengah isinya. Tatapan matanya kembali kosong untuk sesaat, Alleta yang tak tahu harus berbuat apa hanya terdiam, menunggu reaksi selanjutnya dari pemuda itu.
“Maaf ya, udah bikin Lo panik.” ujar Sagara tiba-tiba, suaranya terdengar melemah.
“Gak apa-apa, ”jawab Alleta, lega sekaligus bingung. “Lo sebenarnya kenapa?”
Sagara meneguk lagi air minumnya, kemudian meletakkan sisanya di sebelahnya. Dia menggeleng pelan, “Gak usah dipikirin, ada hal yang belum bisa gue kasih tau Lo sekarang.” katanya lirih.
Alleta memandangi pemuda itu lekat, dia mengangguk meskipun masih belum puas dengan jawaban itu. “Yaudah, gak apa-apa, gue gak akan maksa Lo buat cerita.” ujarnya tulus, dia sebenarnya ingin tahu lebih banyak tentang Sagara, tapi mungkin ini memang belum saatnya.
“Kita pulang sekarang?” tanya Sagara.
“Lo beneran udah gak apa-apa?” Alleta kembali memastikan.
“Iya, beneran.” balas Sagara, kali ini dengan sedikit senyum tipisnya.
“Yaudah, tapi nanti kalau Lo kenapa-kenapa lagi, kita berhenti aja dulu.” pinta Alleta, kekhawatiran masih belum hilang dari wajahnya.
“Oke, gue udah baik-baik aja kok.” Kata Sagara akhirnya. Mesin mobil perlahan menyala, kemudian melaju pelan. Sagara nampak tenang, namun pikirannya sebenarnya masih ribut.
Baru saja bipolar yang dideritanya kembali kumat, beruntung hanya kumat ringan, dan dia masih bisa mengendalikan dirinya. Untuk saat ini, Sagara memilih untuk diam, dia merasa belum siap untuk menceritakan tentang penyakit mental yang dideritanya itu kepada siapapun–termasuk Alleta.
...Bersambung......
...-Ada beberapa hal yang sebaiknya tidak diceritakan....
...Cukup dipendam dan dirasakan sendiri.-...
^^^~Sagara Kelana Biantara~^^^