Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Pelit dan Bom Waktu
Perasaan senang tak terkira sedang meluap dalam dada Rian. Untuk pertama kalinya, ia bisa duduk makan satu meja bersama gadis yang ia sukai. Tadi pagi, rencana sarapan bersama buyar karena Jelita buru-buru berangkat ke rumah sakit tanpa sempat makan. Tapi sekarang, ia duduk tepat di hadapan Jelita. Sebuah hal sederhana yang terasa begitu istimewa baginya.
“Makannya nggak akan habis kalau cuma diliatin aja,” tegur Kakek Doni tanpa ampun.
Rian langsung tersentak. Sendok yang ia pegang hampir jatuh, sementara wajahnya memanas ketika mendapati Jelita ikut melirik ke arahnya. Gadis itu tidak berkata apa-apa, hanya mengerjap pelan. Tapi itu saja sudah cukup membuat Rian semakin gugup.
Makan malam mendadak hening beberapa detik, sebelum akhirnya Kakek Doni kembali bertanya, kali ini kepada cucunya.
“Sudah jadi Kakak kirim pesan ke Zaidan?”
Jelita mengangguk kecil. “Sudah, Kek.”
“Terus dia bilang apa?” tanya sang kakek lagi.
“Katanya nanti mau hubungi Kakek langsung.”
Kakek Doni mengangguk paham. Sementara Rian hanya bisa mengernyit bingung. “Siapa lagi itu Zaidan?” pikirnya. Nama laki-laki asing muncul begitu saja. Tidak enak juga rasanya mendengar ada nama pria lain dibicarakan begitu santai.
Akhirnya ia memberanikan diri bertanya, “Zaidan itu siapa, Kek?”
“Urusan keluarga, jangan ikut campur,” jawab Kakek Doni ketus tanpa menatapnya.
Rian terdiam. Bibirnya maju sedikit, tanda kesal. Jelita yang melihat itu hanya menunduk dan, tanpa ada yang sadar gadis itu tersenyum tipis. Ia seperti menikmati Rian yang gelagapan dan bingung, meski ia tidak berani memperlihatkannya terang-terangan.
Makan malam berlanjut dengan suasana canggung yang anehnya… terasa menyenangkan bagi Rian. Sesekali ia curi-curi pandang ke Jelita. Dan setiap kali Jelita kebetulan melihat ke arahnya, Rian buru-buru menatap piringnya kembali.
“Kamu tambah lagi, Rian?” tanya Kakek Doni sambil menyodorkan lauk.
“Ah, engg—enggak usah, Kek. Sudah cukup,” jawab Rian cepat.
“Kamu makannya dikit banget. Biasanya dua kali tambah,” komentar Kakek Doni yang membuat Rian memerah lagi.
“Itu karena… ya, makanannya enak,” jawab Rian ngaco. Jelita hanya menatap tenang ke arah Rian.
“Tentu saja kamu puji enak karena masakan ibu kamu sendiri,” gumam Kakek Doni dan bisa didengar oleh Rian. Namun pria itu hanya bisa tersenyum malu.
Setelah semua selesai makan, Jelita segera berdiri, membersihkan meja. Rian spontan ikut berdiri, menawarkan bantuan.
“Saya bantu ya, Mbak.”
“Duduk saja, Rian,” cegah Kakek Doni. “Nanti berantakan.”
Rian mengempiskan pipinya kecewa, sedang Jelita hanya menggeleng pelan sambil membawa piring ke dapur.
Beberapa menit kemudian, Rian akhirnya pamit. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat sejak makan tadi. Saat hendak keluar rumah, Jelita muncul dari dapur, mengantar dirinya sampai teras.
“Hati-hati di jalan, Mas,” ucap Jelita tenang dan terdengar tegas.
Rian langsung menegakkan tubuh. “I… iya, Mbak Jelita.”
Rian semakin merasakan dadanya kian bergejolak karena mengira Jelita yang secara sengaja ingin mengantarkan dirinya hingga ke depan teras.
“Nggak perlu ngantar saya keluar, Mbak,” ucap Rian sambil malu-malu. Jelita yang mendengar ucapan Rian menatap bingung pria itu.
“Orang tua saya dari dulu selalu mengajarkan saya untuk mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan teras,” jelas Jelita.
Senyum yang tadinya merekah di bibir Rian tiba-tiba redup. Ternyata hanya dirinya saja yang kepedean dengan hal ini.
Beberapa detik mereka hanya berdiri berhadapan. Rian ingin bicara sesuatu, apa saja asal tidak terlihat canggung. Tapi mulutnya seolah terkunci.
“Jelita…” panggil Rian akhirnya dengan nada yang lembut setelah beberapa saat.
Jelita sempat tersentak, karena untuk pertama kalinya, Rian memanggil namanya dengan suara lembut yang entah bagaimana ia merasakan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Maaf, boleh kalau saya panggil nama saja?” izin Rian sebab melihat reaksi Jelita yang tadi sempat terkejut.
Jelita mengangguk pelan. Lagipula usianya memang di bawah Rian, pikirnya.
Rian menarik nafas panjang sebelum berbicara. “Boleh kalau besok saya main kesini lagi?”
Jelita kembali mengangguk. “Tentu saja. Saya tidak mungkin melarang seseorang yang ingin bertemu dengan Kakek.”
“Bukan,” jawab Rian cepat. “Saya bukan ingin bertemu dengan Kakek. Tapi… saya ingin bertemu dengan Jelita,” ucap Rian jelas dan tegas. Tidak ada lagi keraguan seperti tadi di ucapannya.
Jelita bingung harus menjawab seperti apa. Namun setelah beberapa detik berfikir, dirinya tidak memiliki alasan untuk menolak pria ini main ke rumah kakeknya. Untuk bertemu dengan dirinya… Jelita bingung harus menjawab apa. Jika menolak, Jelita takut akan dianggap sombong, akhirnya ia hanya bisa mengangguk.
Sebuah anggukan yang sederhana, tapi bagi Rian terasa seperti hadiah besar.
Rian baru turun dua anak tangga ketika Kakek Doni berseru dari dalam, “Besok kalau mau makan lagi, makan yang bener. Jangan cuma diliatin cucu saya!”
Rian hampir tersandung. Ia langsung memukul pelan tiang rumah, malu setengah mati.
“Maaakkasih, Kek!” seru Rian dari halaman sambil menutup wajahnya karena malu.
Tapi saat ia melangkah menuju motor dan menyalakannya, bibir Rian tidak bisa berhenti tersenyum.
Malam itu, ia pulang dengan hati paling ringan yang pernah ia rasakan sejak lama. Atau bisa dikatakan, ini adalah pertama kalinya yang ia rasakan.
*
*
*
“Dari mana kamu?” tanya Bu Sri yang sudah berdiri di depan pintu rumah.
“Eh, Ibu…” Rian menyalami ibunya dengan senyum yang masih terkembang.
“Pulang malam nggak ada kabar, tiba-tiba senyum-senyum nggak jelas. Kamu kesambet penghuni pokok jengkol, Mas?”
Senyum di bibir Rian tiba-tiba redup mendengar ucapan sang ibu. “Ibu jangan ngomong yang aneh-aneh.”
“Kamu yang aneh, Mas. Senyum sendiri aja. Jawab pertanyaan Ibu, dari mana baru pulang jam segini?” tanya Bu Sri galak.
“Habis dari rumah Kakek Doni,” jawab Rian sambil masuk ke dalam rumahnya. Ia terus berjalan meninggalkan sang ibu yang masih berdiri di depan pintu. Di ruang tengah, ia bertemu dengan kedua adik kembarnya yang sedang santai menonton tv.
“Paling lagi ngapel Mbak Jelita, Bu,” sahut Riski yang memang mendengar percakapan ibu dan abangnya.
“Eh, kok tau?” tanya Rian yang.
“Sudah ku bilang, tidak ada yang tidak kuketahui tentang Mas Rian,” jawab Riski asal.
Rian hanya memutar malas matanya. Tidak mau terlalu menanggapi ocehan sang adik, Rian langsung naik ke lantai atas tempat kamarnya berada.
Pria itu langsung membersihkan dirinya. Ia mandi lalu kemudian memakai bajunya dengan pakaian santai. Tidak lupa dirinya melakukan ibadah sholat isya sebelum akhirnya Rian membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Ia tatap langit-langit kamarnya sambil tersenyum, seakan di atas sana ia bisa melihat wajah anggun dan tegas Jelita.
“Padahal senyumnya pelit, tapi kenapa kelihatan cantik banget, ya,” gumamnya.
Rian masih terus tersenyum, lalu kemudian menutup pelan kedua matanya. Berharap esok hari akan menjadi hari yang indah, dan dirinya mengalami kemajuan dalam hal pendekatan dengan Jelita. Namun tanpa Rian ketahui, jika sebuah bom waktu sedang bersiap-siap meledak menghampiri dirinya.
****
Maaf kalau kemarin author tidak update, ya. Pikiran author susah banget buat konsentrasi. Suami kemarin lagi dinas di salah satu kabupaten di Sumatra Barat dan jadwalnya buat pulang dan naik travel.
Tahu 'kan sekarang di Sumatra terutama Aceh, Sumut dan Sumbar lagi bencana banjir dan longsor. Nah, rute yang suami lewati ini rawan longsor dan jalan terban. Kiri jurang, kanan bukit tebing. Author sibuk mantau sosmed sambil terus komunikasi sama suami. Alhamdulillah suami bisa lewat tepat waktu, karena nggak berapa lama setelah travelnya lewat, jalan alternatif yang tinggal satu-satunya itu longsor 😢
Sama-sama kita berdoa, semoga bencana ini segera selesai. Nangis kalau lihat sosmed sekarang. Bahkan kampungnya kakek suami sudah terisolir, nggak ada listrik nggak ada sinyal 😭😭
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁