Ellara, gadis 17 tahun yang ceria dan penuh impian, hidup dalam keluarga yang retak. Perselingkuhan ayahnya seperti bom yang meledakkan kehidupan mereka. Ibunya, yang selama ini menjadi pendamping setia, terkena gangguan mental karena pengkhianatan sang suami bertahun tahun dan memerlukan perawatan.
Ellara merasa kesepian, sakit, dan kehilangan arah. Dia berubah menjadi gadis nakal, mencari perhatian dengan cara-cara tidak konvensional: membolos sekolah, berdebat dengan guru, dan melakukan aksi protes juga suka keluyuran balap liar. Namun, di balik kesan bebasnya, dia menyembunyikan luka yang terus membara.
Dia kuat, dia tegar, dia tidak punya beban sama sekali. itu yang orang pikirkan tentangnya. Namun tidak ada yang tahu luka Ellara sedalam apa, karena gadis cantik itu sangat pandai menyembunyikan luka.
Akankah Ellara menemukan kekuatan untuk menghadapi kenyataan? Akankah dia menemukan jalan keluar dari kesakitan dan kehilangan?
follow ig: h_berkarya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu tahu, aku membencimu!
Sementara itu, di tempat yang berbeda, di sebuah rumah tua yang sangat kumuh, Mama Delina terlihat sedang berbaring di tempat tidur yang reog masih memeluk boneka kesayangannya.
Wajahnya pucat, ada memar bekas tamparan terlihat jelas di pipinya.
Di depan kamarnya, dua pria berbadan tegar dan bengis tengah berjaga.
Tak lama setelahnya, Mama Luna masuk ke rumah tua itu. Penampilannya masih seperti biasa, sangat cantik dan elegant. Dia tersenyum lebar ke arah dua penjaga itu, kemudian menyuruh mereka membuka pintu.
Memasuki kamar Mama Delina, seketika raut wajahnya Mama Luna berubah total. Dari yang semula tersenyum lebar, terganti dengan senyum sinis menghiasi wajah cantiknya.
Dia mengitari ranjang itu, memperhatikan Mama Delina yang masih terlihat nyenyak dalam tidurnya, meski kasur itu kurang nyaman.
“Kamu terlihat seperti gembel sekarang, Delina..” guman Mama Luna pelan. Ada secerah kepuasan yang tergambar dari raut wajahnya.
“Kamu tahu, putrimu yang menyebalkan itu berani mencari tahu tentang masa lalu ku. Dia meneriaki aku Jalang, bahkan dia terlihat begitu membenciku” sambungnya berbicara meski Mama Delina mungkin tidak mendengar suaranya.
“Jujur, sampai sekarang aku masih membencimu, Delina. Kenapa kamu selalu hidup dalam perhatian orang banyak? Kenapa kamu selalu menjadi yang spesial, bahkan sampai saat ini, suami kita masih terus memikirkan kamu, bukan aku!” Dia terkekeh pelan, meratapi nasib yang tidak pernah memihak padanya sedari dulu.
“kamu terlahir dari keluarga kaya, memiliki suami kaya, sementara aku? Aku harus mengorbankan diri dan kehormatan demi mendapati uang, begitu miris kan?” lagi dan lagi, Mama Luna mengeluarkan semua uneg unegnya.
“Bangun!!!” dia menarik paksa Mama Delina yang masih terlelap tidur, hingga wanita itu terbangun dengan penuh ketakutan.
Suara teriakkan Mama Luna begitu mengerikan, apalagi saat ini, tangannya sudah bersiap menarik wanita gila itu ke lantai.
“kamu tahu, aku sangat membencimu Delina!!” bak orang kesetanan, dia terus berteriak, membuat Mama Delina memeluk lututnya lantaran takut
“Ka-kau pelakor.. Kau, dimana putraku?” di sela rasa takut itu, Mama Delina masih bersuara lirih, membuat Luna tersenyum sinis.
“Ah, iya. Aku melupakan hal itu, hahahhah. Tentu saja dia sudah mati, kamu tidak menerima rekamannya?” berjalan mendekat, Mama Luna menarik rambut Mama Delina, hingga sangat empunya berpekik.
Mereka berdua sama sama gila. Ya, sebut saja Mama Luna sekarang gila, karena begitu terobsesi ingin menyiksa orang yang mengalami gangguan mental hanya karena sebuah takdir.
Takdir yang kurang beruntung, harusnya begitu, tapi kenapa dia harus menyalahkan orang lain? Bukankah yang menciptakan takdir adalah yang di atas?.
“Ah, sudah sejak lama aku ingin membuatmu menderita, Delina. Aku tidak ingin kamu sembuh, tapi putrimu itu sangat keras kepala, hendak memindahkan kamu bahkan sampai membawa keluarga Wijaya di pihaknya. Kalau saja kamu masih betah ada di Rumah sakit, dan anak itu tidak berencana membawamu keluar untuk pengobatan, mungkin aku membiarkannya karena yakin kamu tidak akan sembuh.”
“Tapi karena dia nekat, maka lebih baik kamu di habisi, dari pada sembuh nanti, posisiku terancam” sambungnya dengan seringai yang tercetak jelas di bibirnya.
.
.
"Ka-kalian, kenapa kalian membawa kami kesini? apa salah kami, hah?" seorang gadis yang mungkin berusia 15 tahunan berbicara dengan nada tinggi terhadap Ellara dan Gavin.
"Iya, kalian siapa?" anak laki laki kecil di sebelahnya ikut bersuara. netra anak itu terlihat sangat tajam memandang dua orang di depannya.
"Hubungi Dokter Elis, sekarang!" perintah Ellara, memberikan ponsel gadis itu. Lucas sudah bersiap dengan komputer yang tersambung dengan ponsel gadis itu.
"Mama, buat apa?" masih bingung, dua anak itu bertanya tanya sembari melirik satu sama lain.
"Tidak perlu banyak tanya, cukup hubungi dia dan bilang kalau kalian dalam bahaya!" titah Gavin dengan suara yang sangat datar. Auranya berhasil membuat dua anak itu ketakutan.
Perlahan, gadis kecil itu mulai membuka ponsel, dan menghubungi mamanya.
"Halo, sayang. kalian di mana?" suara yang terdengar panik dari seberang sana. tanpa menunggu lama seperti yang Ellara lakukan tadi, nyatanya sambungan telepon itu cepat sekali tersambung.
"Mam, tolong kami.. kami di tahan di sebuah rumah oleh orang orang jahat" jawab bocah laki laki itu dengan raut yang menahan tangis.
"Apa? kalian dimana sekarang? ayo telepon vidio!" titah Dokter Elis dari seberang.
Setelahnya, telepon tersambung ke panggilan Vidio, sementara Lucas masih dalam pekerjaannya, meretas ponsel Dokter Elis.
"Mama.." rengek bocah laki laki itu, memperlihatkan tubuhnya yang terikat di sebuah kursi, dia juga mengarahkan ponselnya ke kakaknya yang duduk di sebelahnya.
Melihat hal itu, hati ibu mana yang terima. Dokter Elis terdengar menangis dan bertanya tanya.
...----------------...
"Halo dokter," Ellara mengambil alih ponsel dari tangan bocah itu, menyapa Dokter Elis yang kini berwajah pucat.
"Apa dokter mengingat saya?" tanya Ellara pelan, padahal dia sudah ingin bicara pada pointnya.
"Ellara... ke-kenapa kamu menculik anak anakku?"
"Pertanyaan yang menarik, menurut anda kenapa Dok?" Ellara bertanya balik.
"Ellara, tolong jangan sakiti mereka, aku mohon.."
"Aku tidak janji Dok," jawab Ellara terlihat tenang, berhasil membuat dokter Elis takut.
"gimana, sudah?" tanya Ellara pada Lucas.
"Tapi ini lokasi rumahnya, Ella. Apa mama kamu di bawa ke rumahnya? coba tanya mereka?" perintah Lucas.
Ellara menanyakan kedua anak itu, tapi mereka menjawab tidak lantaran memang Mama Delina tidak ada disana.
"Ellara, aku akan memberitahu lokasi Mama kamu, tapi tolong bebaskan mereka.." Dokter Elis masih terdengar dengan suara penuh permohonan.
Seketika, bibir Ellara menarik sekilas, tersenyum tipis.
"Beritahu, dimana Mama sekarang dan siapa yang memberimu perintah!" tanya Ellara.
Dokter Elis yang awalnya berniat bungkam, kini harus menceritakan semuanya pada Ellara, demi nyawa kedua anaknya.
"shittt!" umpat Ellara mengepalkan tangannya kuat
Usai mendengar penjelasan itu, Ellara langsung mematikan sambungannya sepihak. Dia tidak melepaskan kedua anak itu, mereka masih harus berada di sana sebelum semuanya klear.
Dia kembali keluar dari rumah itu, berlalu menuju motornya. begitu pula dengan Gavin dan Lucas. kali ini, mereka pergi bertiga, sementara anak dari dokter Elis di tinggal begitu saja.
sebelum melajukan motornya, tidak lupa Ellara memberi kabar pada Arkana, agar pria itu juga pergi ke lokasi yang dia kirim.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kenapa diam? Anda sudah menyadarinya? Ya sudah, aku ke kam—"
Koreksi sedikit ya.