Galih adalah seorang lelaki Penghibur yang menjadi simpanan para Tante-tante kaya. Dia tidak pernah percaya Cinta hingga akhir dia bertemu Lauren yang perlahan mulai membangkitkan gairah cinta dalam hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAAB 9
Akhir-akhir ini, Galih kembali tenggelam dalam rutinitas lamanya. Jadwalnya kembali padat, bukan oleh tugas-tugas kuliah, tetapi oleh para pelanggan lamanya—para tante yang menuntut perhatian dan waktunya. Salah satu dari mereka, tentu saja, adalah Tante Jesika dan Tante Liana yang menjadi pelanggan paling royalnya.
Galih tahu bahwa ia mulai kehilangan momen-momen hangat bersama Lauren, namun kebutuhan hidup dan tekanan keuangan membuatnya tak bisa berpaling dari kenyataan. Ayahnya masih dirawat, dan biaya rumah sakit tidak murah. Sementara beban kuliah terus berjalan.
Lauren merasakannya. Perubahan itu.
Galih kini jarang duduk bersamanya di kantin, tak lagi menyapa duluan lewat chat, bahkan seringkali hanya memberikan senyum sekilas lalu pergi terburu-buru. Dan Lauren membenci perasaan kosong yang mulai tumbuh dalam hatinya.
Hari itu, saat langit mendung menggantung di atas kampus, Galih dan Lauren duduk di bangku taman belakang fakultas. Suasana mereka canggung, tidak seperti biasanya. Galih terlihat gelisah, sering menengok ke arah ponselnya.
Lauren mencoba mencairkan suasana, “Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Sibuk banget. Sampai-sampai ngajak ngobrol aja kayak minta jadwal.”
Galih hanya tertawa kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
“Maaf ya… Aku lagi banyak urusan sama kerjaan”
Namun sebelum percakapan mereka berkembang, ponsel Galih berbunyi.
Notifikasi pesan. Dari Jesika.
> "Sayang, aku sudah di parkiran. Aku tunggu ya 💋"
Galih langsung berdiri. "Aku ada janji... harus pergi sekarang."
Lauren menatap Galih bingung. “Udah buru-buru banget. Emang penting banget ya?”
Galih hanya tersenyum kecil, tidak menjawab, lalu berjalan cepat meninggalkannya.
Lauren menatap punggung Galih yang semakin menjauh… hingga berhenti di sisi seorang wanita paruh baya bergaun mewah, dengan senyum genit dan kacamata hitam yang disibakkan ke atas kepala. Wanita itu langsung menyambut Galih dengan pelukan akrab dan ciuman ringan di pipinya.
Lauren berdiri terpaku di tempat. Ada yang berdenyut di dadanya.
Sakit.
Pahit.
Kecewa.
Ia tahu, ia tidak memiliki hak untuk merasa seperti ini. Ia dan Galih tidak pernah berkomitmen apa pun. Tapi perasaan bukan sesuatu yang bisa dikendalikan dengan logika.
Lauren menarik napas dalam-dalam, menatap langit mendung.
“Bodohnya aku…” gumamnya lirih.
Lalu ia berjalan pergi. Sendiri. Seperti pertama kali ia bertemu Galih.
Dari sisi mobil mewah tempat ia berdiri bersama Tante Jesika, Galih menoleh. Matanya menangkap bayangan Lauren yang perlahan berjalan menjauh, punggungnya tampak lemah, langkahnya lambat seperti menahan sesuatu yang berat.
Galih menggenggam tangan kanannya—menahan gejolak yang seolah ingin membawanya mengejar gadis itu.
Namun di sisi lain, suara lembut menggoda terdengar dekat di telinganya.
> “Sayang... aku nggak sabar. Ayo kita cepet ke hotel, ya?”
> bisik Tante Jesika dengan senyum genit, tangannya melingkar di leher Galih, jemarinya bermain-main di kerah kemeja Galih.
Galih hanya terdiam.
Hatinya mencelos. Dada kirinya terasa sesak, seperti ada yang menekan dari dalam. Tapi bukan karena pelukan Tante Jesika—melainkan karena bayangan Lauren yang kini tak lagi terlihat.
Ia tahu... ia baru saja mengabaikan satu-satunya hal yang membuatnya merasa menjadi manusia sepenuhnya akhir-akhir ini.
Namun... apa daya?
Baginya yang terpenting saat ini adalah uang. Perasaan hatinya hanyalah sebuah rasa yang harus diabaikan.
Kebutuhan hidup, biaya rumah sakit, cicilan semester depan… semuanya tidak akan lunas hanya dengan perasaan.
> “Ayo naik,”
> ujar Tante Jesika dengan nada puas, lalu melepaskan pelukannya dan masuk ke dalam mobil dengan anggun.
Galih masih berdiri terpaku. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Di dalam pikirannya, suara Lauren bergema...
Tawa kecilnya, cara dia mengernyit saat kesal, dan caranya diam-diam memperhatikan Galih saat mereka belajar bersama.
Semuanya terasa semakin jauh.
> “Dasar bodoh,” gumam Galih pada dirinya sendiri.
Dengan langkah berat, Galih pun masuk ke dalam mobil. Mesin dinyalakan. Mobil melaju, meninggalkan kampus... dan meninggalkan rasa bersalah yang kini mulai tumbuh dalam hati Galih.
Namun, belum tahu…
berapa lama lagi dia bisa terus berbohong. Cepat atau lambat dirinya harus jujur ke Lauren bahwa dia hanyalah seorang laki-laki penghibur.