NovelToon NovelToon
About Me (Alshameyzea)

About Me (Alshameyzea)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Febby Eliyanti

Saksikan perjalanan seorang gadis yang tidak menyadari apa yang telah disiapkan takdir untuknya. Seorang gadis yang berjuang untuk memahami konsep cinta sampai dia bertemu 'dia', seorang laki-laki yang membimbingnya menuju jalan yang lebih cerah dalam hidup. Yuk rasakan suka duka perjalanan hidup gadis ini di setiap chapternya.


Happy Reading 🌷
Jangan lupa likenyaa💐💐💐
Semoga kalian betah sampai akhir kisah Alsha🌷 Aamiin.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febby Eliyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33. Jejak Jangan yang Tersisa

...Assalamualaikum guys!! Sebelum baca, bantu support yaa dengan follow, vote, like dan komen di setiap paragraf nya!! Karena support kalian sangat berarti bagiku💐Makasiiii!🌷...

...⋆.⋆...

...🌷Happy Reading 🌷...

...⋆...

...⋆...

...⋆...

..."Di balik amarah, ada rasa peduli yang enggan diakui."...

...⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆...

Bel istirahat berbunyi nyaring, menggemakan semangat kebebasan yang singkat di seluruh kelas. Para siswa segera bergerak, memburu waktu, memasukkan buku-buku ke dalam tas mereka dengan tergesa-gesa. Tadi kami baru saja menyelesaikan pelajaran fisika dengan Bu Sri. Dia meninggalkan kelas 20 menit yang lalu, meninggalkan kami dengan tumpukan tugas yang menggunung. Keluhan terdengar dari beberapa teman, karena tugas itu hampir mencapai lebih dari dua halaman, meski untungnya baru dikumpulkan minggu depan.

Aku merapikan buku paketku dengan rapi, memasukkannya ke dalam tas tanpa banyak bicara. Dengan cepat, kuputuskan untuk pergi ke lab komputer. Sebelum melangkah keluar, aku sempat berpamitan pada Aline yang sibuk dengan tugasnya. Tugasku sendiri? Entah kenapa, aku merasa bisa menyelesaikannya nanti di rumah. Aline tampaknya lebih rajin akhir-akhir ini, sesuatu yang jarang terlihat darinya. Biasanya, saat istirahat, dia selalu mengajakku ke kantin, tapi kali ini dia tampak begitu fokus.

Begitu keluar kelas, aku terhenti. Pemandangan yang kulihat membuat langkahku terhenti dan hatiku menciut. Arshaka berdiri di sana, menunduk dengan perhatian penuh pada Clara yang duduk di dekatnya. Tangannya terulur lembut, mengobati luka di tangan Clara. Tatapan mereka begitu dekat, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Aku merasakan detak jantungku melambat, seolah-olah tubuhku mengkhianatiku dengan perasaan yang tak kuundang. Tanpa pikir panjang, aku berbalik, mencoba mencari jalan lain untuk menghindari mereka. Namun, belum sempat aku berbalik sepenuhnya, sosok tubuh tinggi dan kekar muncul di depanku, menghentikan langkahku.

"Keenan," suaraku nyaris tercekat, keluar dalam bisikan lemah.

Dia terkekeh pelan, senyum lebar menghiasi wajahnya, "Kaget ya?" godanya, matanya bersinar-sinar, seakan menikmati kejutan yang ditimbulkannya.

Aku mengangguk pelan, masih berusaha mengendalikan detak jantungku yang berpacu kencang, bukan hanya karena terkejut, tapi juga karena senyumannya yang tiba-tiba menyerang perasaanku.

"E-eh iya," sahutku gugup, mencoba menyembunyikan kekacauan dalam diriku.

Keenan menertawakan reaksiku, suara tawanya ringan, penuh kehangatan yang selalu membuatku merasa sedikit lebih tenang.

"Sheenaku mau kemana?" tanya Keenan, nada suaranya lebih lembut, tapi penuh perhatian yang membuat dadaku berdesir.

Aku hanya bisa melotot kecil ke arahnya, merasa sebal tapi sekaligus tersenyum dalam hati karena panggilannya. Ada sesuatu dalam panggilan itu yang selalu berhasil membuatku merasa istimewa.

Dia terkekeh lagi, "Iya-iya, mau kemana sih?" desaknya lembut.

"Ke lab komputer," jawabku, sedikit tergagap, masih mencoba menenangkan diriku.

"Trus kenapa balik?" tanyanya lagi, matanya yang penuh rasa ingin tahu.

Aku ragu sejenak, "Aku... aku mau lewat sana aja," ucapku sambil menunjuk jalan di depan, jalan yang mengarah ke kelas XI IPS, berlawanan dengan arah Arshaka dan Clara. Keenan menoleh sejenak ke arah yang kutunjuk, kemudian kembali menatapku. Sekilas dia melirik ke belakangku, seakan memahami sesuatu yang tak terucap.

"Lewat sana aja, aku temenin," tawarnya lembut, tapi tegas.

Aku menggeleng cepat, hendak menghindari pertemuan yang tak diinginkan. Tapi saat aku mencoba melangkah ke kanan, tubuh Keenan yang kekar segera menghalangi jalanku. Aku berusaha melangkah ke kiri, namun dia lagi-lagi menutupi jalanku, tubuhnya yang tinggi dan kuat tentu saja sangat mudah menghalangiku. Aku merasa terjebak, baik secara fisik maupun emosional.

"Keenan," keluhku penuh frustasi, suaraku terdengar lemah, seakan semua keberanian yang kumiliki telah terhisap habis.

Keenan hanya mengangkat satu alisnya, pandangannya sekali lagi melirik ke arah Arshaka dan Clara, seakan memberitahuku bahwa dia tak akan membiarkanku lari dari kenyataan ini. Aku menghela napas panjang, pasrah, dan tanpa berkata apa-apa lagi, kami berdua akhirnya berjalan beriringan.

Ketika kami melangkah tepat di depan mereka, Keenan membuka obrolan, suaranya sedikit keras, seperti sengaja menarik perhatian. "Rencananya nanti sore aku mau ngajak kamu ke rumah, tapi kalo kamu ada rapat OSIS, malemnya juga nggak papa. Jadi sorenya aku jemput kamu." Ucapannya tak hanya ditujukan padaku, tapi jelas diarahkan pada Arshaka yang duduk tak jauh dari kami.

Aku menoleh, terkejut dengan ucapannya yang tiba-tiba, dan dari sudut mataku, aku bisa melihat Arshaka dan Clara memperhatikan kami. Jantungku berdegup lebih kencang, tapi aku tidak tahu harus merespons seperti apa. Tatapan tajam Arshaka bertemu dengan tatapan Keenan, begitupun sebaliknya, tatapan yang sangat sulit dijelaskan.

"E-eh, Keenan, kayaknya-" suaraku tergantung, bingung dengan situasi yang tiba-tiba memanas.

Namun Keenan tak memberi kesempatan untuk menyelesaikan kalimatku, "Kavin mau ketemu sama kamu, Sheena. Emangnya kamu nggak kangen dia?" potongnya cepat. Nama Kavin tiba-tiba menjadi alasan yang membuatku terpaku, meski aku tahu ini hanya caranya untuk mengalihkan perhatian.

Aku merasa tak punya pilihan lain, akhirnya aku mengangguk, sedikit gugup, tak berani menatap ke arah Arshaka yang sepertinya tak senang dengan situasi ini.

Keenan tersenyum, senyum yang hangat dan menenangkan, lalu mengisyaratkan agar kami melanjutkan perjalanan. Aku mengikuti, mengangguk pelan, masih merasa bingung dengan perasaanku sendiri. Tanpa menoleh lagi ke arah Arshaka dan Clara, aku dan Keenan melanjutkan perjalanan menuju lab komputer, meninggalkan ketidakpastian dan kebingungan yang menggantung di udara.

---

Di depan lab komputer, langkah kami melambat. Suara langkah kaki kami bergema samar di sepanjang lorong yang sunyi, hingga tiba-tiba seorang siswa menghampiri kami. Andi, dengan wajah sedikit terburu-buru.

"Keenan, lo dicari Bu Sri tadi," katanya sambil mengatur napas.

Keenan mengernyitkan dahi, menoleh sedikit ke arah Andi. "Kenapa katanya?" tanyanya, suaranya tetap tenang.

"Katanya sih mau bahas tentang Pekan Olahraga Pelajar Nasional," jawab Andi dengan sedikit ragu.

Mendengar itu, Keenan langsung menoleh ke arahku, menunggu reaksiku. Aku hanya mengangguk pelan, memberinya izin tanpa harus mengucapkan apa pun. Keenan sepertinya bisa membaca bahasa tubuhku lebih baik dari siapa pun.

"Nanti kalo aku udah selesai, aku bakal ke sini lagi," katanya dengan nada memastikan.

Aku tersenyum, menggeleng ringan. "Nggak usah, Keenan. Lagian, aku cuma sebentar di sini."

Keenan langsung menggeleng dengan tegas, sorot matanya mengunci pandanganku. "No, Sheena. Aku gak terima penolakan. Jangan kemana-mana. Aku cuma mau nemuin Bu Sri, bentar."

Sebelum aku sempat membalas, dia sudah melangkah pergi bersama Andi. Punggungnya yang lebar dan tegap tampak menjauh, sementara aku hanya bisa menghela napas panjang, menatapnya hingga hilang di tikungan. Sifatnya yang keras kepala itu masih ada. Keenan yang kukenal memang tak pernah berubah soal ini—dia tak pernah menerima penolakan dari siapa pun. Mungkin itu sifat dasar semua laki-laki?

Aku mengusir pikiran yang tak perlu, lanjut membuka pintu lab komputer. Begitu masuk, hawa dingin langsung menyergap kulitku. Ruangan itu sangat sunyi, sepi dari keramaian. Jarang sekali siswa memilih datang ke sini saat jam istirahat, kecuali kalau ada tugas mendesak. Semua orang sekarang lebih memilih menggunakan laptop mereka sendiri di kelas atau kantin. Tapi hari ini, karena aku lupa membawa laptop, aku terpaksa harus meminjam salah satu komputer di sini.

Aku berjalan menuju deretan komputer di depan ruangan. Suhu dingin dari AC menusuk hingga tulang. Rasanya setiap langkah semakin menambah kesadaran bahwa tubuhku tidak tahan dengan dingin. Bahkan di jam istirahat, suasana di sini tetap terasa seperti freezer. Entah cuaca yang tak stabil, atau aku yang terlalu sensitif terhadap suhu dingin?

Setelah memilih tempat duduk di baris terdepan, tanganku langsung menyalakan komputer dan membuka Microsoft Word. Jari-jariku mulai mengetik di atas keyboard, menyalin program dari map yang telah kubawa. Meskipun sebagian kertasnya basah terkena air, untungnya aku masih bisa membaca dan memahami tulisannya. Toh, semalam aku sudah mempelajari ulang semuanya. Kalimat-kalimat yang ditulis oleh Arshaka sudah hampir kuhafal di luar kepala.

"Save," gumamku pelan setelah beberapa detik mengetik. Rasanya seperti beban besar terangkat dari bahuku ketika aku menyelesaikan salinan dokumen itu. Aku segera mencetaknya dan memasukkannya ke dalam map baru yang kubawa tadi.

"Baiklah, saatnya kembali ke kelas," monologku, tapi kemudian aku teringat sesuatu. "Eh, Keenan kan katanya mau nyamperin aku ke sini," lanjutku.

Aku meraba-raba sakuku, mencari handphone untuk menghubunginya. Tapi tanganku hanya menyentuh ruang kosong. Aku membeku sejenak, hp-ku ketinggalan dimana? Kelas? Aku menghela napas, frustrasi. Aku menepuk dahiku pelan, baru ingat kalau tadi aku terburu-buru. Bener kata nenek, kalau buru-buru itu bukan hal yang baik.

Dengan sedikit kesal pada diri sendiri, aku memutuskan untuk menunggu Keenan di sini. Sambil menunggu, aku memanfaatkan waktu dengan Googling beberapa referensi untuk tugas dari Bu Sri. Jari-jariku mengetuk keyboard dengan irama pelan, namun pikiranku sudah mulai tak fokus.

Sepuluh menit berlalu, dan Keenan tak juga datang. Tubuhku mulai terasa menggigil, udara dingin di lab semakin menusuk. Rasa tidak nyaman terus merambat dari ujung jemari hingga ke pundakku. Akhirnya, aku menyerah pada rasa dingin yang semakin tak tertahankan. Aku mematikan komputer, menutup tab pencarianku, dan beranjak dari tempat duduk.

"Lebih baik aku menunggunya di luar saja," gumamku pelan, berharap udara di luar lebih bersahabat dibandingkan di dalam sini.

Saat tanganku menyentuh gagang pintu lab komputer, ada perasaan aneh. Pintu itu seharusnya terbuka dengan mudah, tetapi tidak kali ini. Aku mencoba lagi, lebih keras kali ini, namun tetap tidak ada hasil. Sebuah firasat buruk muncul di benakku—pintu ini terkunci dari luar. Napasku perlahan terasa semakin cepat. Seriusan aku terkunci di lab?

Pikiran panik mulai merasuki benakku. Jendela di lab ini berlapis ganda, tebal dan kuat. Jika aku berteriak, tidak ada satu pun suara yang akan terdengar ke luar. Ruangan ini sepi, hanya ada dengungan lembut dari komputer-komputer yang sudah lama dimatikan. Tak ada jalan keluar, tak ada cara untuk meminta pertolongan, handphone ku juga ketinggalan di kelas.

Lututku terasa lemas. Aku berusaha duduk di lantai dingin, mencoba menenangkan diriku. Namun, rasa dingin semakin merayap, tidak hanya di kulitku, tapi juga di tulang-tulangku. Seakan udara di ruangan ini menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Aku menggigil, gigiku mulai bergemeretak. Keringat dingin membasahi dahiku, tetapi tubuhku tetap bergetar hebat. Sudah hampir setengah jam berlalu semenjak aku masuk ke ruangan ini, dan tubuhku mulai kehilangan kekuatannya.

Lalu, tiba-tiba suara gedoran keras terdengar dari balik pintu. Jantungku berdegup lebih kencang, antara cemas dan penuh harapan. Apa itu Keenan? Harapan berkilau sejenak di benakku. Tapi kenapa tidak ada suara panggilan dari Keenan? Dan di saat yang bersamaan, tubuhku terlalu lemah untuk bangkit dan berlari menuju pintu. Kakiku seperti terbenam dalam dingin yang menggerogoti.

Gedoran di pintu semakin keras, namun seiring waktu, pandanganku mulai kabur. Aku menggenggam erat diriku sendiri, mencoba menahan tubuh yang menggigil hebat. Seseorang di luar berusaha membuka pintu, namun detik-detik terasa panjang, seakan menggantung di antara kesadaranku yang semakin menipis.

Lima menit berlalu dalam rasa nyeri yang tak tertahankan, dan akhirnya, pintu itu terbuka dengan suara keras. Cahaya dari luar menyilaukan pandanganku yang sudah kabur. Sosok buram menghampiriku, langkahnya cepat, terdengar seperti gemuruh di telingaku yang mulai berdenging. Aku ingin melihat siapa dia, namun mataku mulai kehilangan fokus. Tubuhku terlalu lemas untuk bergerak.

Kemudian, aku merasakan lengan kuat melingkari tubuhku, mendekapku dalam pelukan yang hangat. Sosok itu menggendongku dengan cepat, membawaku keluar dari lab yang dingin dan sunyi. Aku mencoba membuka mataku sekali lagi, berharap setidaknya bisa melihat wajahnya. Tapi pandanganku semakin kabur, dan dalam hitungan detik, semuanya berubah menjadi gelap. Aku tidak bisa lagi melawan kelelahan ini, kesadaranku perlahan tenggelam dalam kegelapan yang menjemput.

----

Aku membuka mata dengan perlahan, merasakan hawa dingin yang khas dari ruangan yang tenang. Pandanganku beradaptasi dengan cahaya yang lembut, dan segera aku mengenali tempat ini—UKS. Sekali lagi, aku berakhir di sini. Ini adalah kedua kalinya aku pingsan dan harus dibawa ke ruangan ini. Rasanya tubuhku lebih lemah dari biasanya.

Mataku perlahan bergerak ke sisi ranjang, di mana sosok yang kukenal duduk di sana. Wajah tegas itu tak bisa disalahpahami—Keenan. Sorot matanya penuh dengan rasa bersalah dan penyesalan, namun tetap menjaga ketenangannya seperti biasa.

"Maafin aku, Sheena, harusnya aku nggak ninggalin kamu tadi," suaranya serak, terdengar berat.

Aku menggeleng pelan, berusaha menenangkan kekhawatirannya. "Aku nggak apa-apa kok, Keenan. Kamu nggak perlu nyalahin diri sendiri." Suaraku pelan, hampir seperti bisikan, mencoba meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja.

Tapi Keenan tidak melepaskan perasaan bersalah itu. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi rasa sesal yang mendalam. "Enggak, Sheena. Ini semua gara-gara aku," ucapnya lagi, kali ini lebih pelan, namun tetap terasa berat.

Sebelum aku bisa menanggapi, pintu UKS terbuka dengan cepat, dan Aline muncul bersama Kafka, Abhi, dan Nevan. Mereka tampak cemas, ekspresi mereka seolah-olah aku baru saja bangkit dari kematian. Aline segera menghampiriku, matanya menatapku dengan rasa khawatir yang mendalam.

"Bener kan, kamu sebenarnya belum fit. Kamu maksain buat masuk sekolah hari ini," omel Aline dengan nada tajam, tapi ada getaran cemas di balik suaranya.

"Heh, Alsha itu lagi sakit. Dia butuh istirahat, bukan omelan dari lo," sahut Kafka yang berdiri di belakang Keenan. Ekspresi datarnya sedikit mengendur, namun tetap ada ketegasan dalam nadanya. Di sebelahnya, Abhi dan Nevan mengangguk, ikut mengaminkan ucapannya.

Aline melotot sebal pada Kafka, tapi kemudian kembali menatapku, jelas-jelas masih khawatir. "Aku udah nggak apa-apa kok, Lin," kataku dengan senyum lemah, mencoba menenangkan teman baikku yang selalu overprotective ini.

"Neng, kalo sakit jangan maksain buat masuk sekolah," ucap Abhi dengan bijak, nada suaranya rendah dan menenangkan.

"Bener tuh, Al. Kasian bos kita," sahut Nevan sambil melirik ke arah Keenan.

Aku mengerutkan kening, menoleh ke arah Keenan, mencari penjelasan. "Dia sampe ijin dulu ke Bu Sri, buat jenguk lo ke sini. Padahal kita semua lagi ngomongin hal penting terkait lomba tingkat nasional," jelas Kafka, nada suaranya tetap tenang tapi ada sedikit sindiran di sana.

Tatapanku beralih ke Keenan. Matanya tak lepas dari wajahku, seolah mencoba memastikan bahwa aku benar-benar baik-baik saja. Sorot khawatirnya begitu jelas, membuatku merasa bersalah karena telah membuatnya cemas.

"Keenan, aku beneran gak papa kok," ucapku pelan, tapi Keenan tetap diam, hanya menatapku dengan tatapan yang membuat jantungku berdebar. Ada sesuatu dalam pandangannya yang membuatku merasa hangat, meski tubuhku masih lemah.

Aku mencoba menenangkan rasa bersalah yang kurasakan. "Maafin aku ya, udah bikin kamu khawatir gini," lanjutku, menatap wajahnya yang terlihat sedih. Tubuhku yang mudah pingsan ini tak lagi sekuat dulu, dan aku tahu Keenan tak suka melihatku seperti ini.

Namun, pikiranku segera terganggu oleh ucapan Kafka. Keenan menjengukku? Itu berarti bukan Keenan yang membawaku kesini. Lalu, siapa?

Aku menatap sekeliling ruangan dengan mata yang masih kabur, berusaha mencari jawaban. Dengan perlahan, aku duduk di ranjang, berusaha menenangkan diri meskipun tubuhku masih terasa lemah. Aline segera membantuku, memastikan aku duduk dengan nyaman.

Ketika aku berusaha duduk dengan benar, gerakan kecilku membuat sesuatu terlepas dari bahu dan jatuh perlahan ke pangkuanku. Sebuah jas. Aku terdiam sejenak, memperhatikan kain itu. Hangat. Sejak kapan ada jas yang melindungiku? Tubuhku terasa nyaman karena kehangatannya, tetapi sekarang aku menyadari keanehan ini.

Jelas ini bukan jas milikku. Aku masih mengenakan jas almamaterku sendiri. Mataku kemudian beralih pada Aline, yang juga sedang memakai jasnya. Punya Kafka? Tidak mungkin. Dia hampir selalu memakai hoodie yang kusut, menolak untuk terlihat rapi kecuali saat terpaksa. Abhi dan Nevan? Sama sekali bukan gaya mereka. Keenan? Sejak kapan aku melihatnya mengenakan sesuatu selain jaket jeans kesayangannya?

Jantungku mulai berdegup lebih cepat, rasa penasaran menggumpal di dada. Siapa yang memakaikan jas ini padaku? Tiba-tiba mataku terhenti pada label yang terjahit rapi di sana. Nama yang tertera di situ seperti sengatan listrik yang menembus kesadaranku, menyebar ke seluruh tubuhku dengan cepat.

Jantungku terasa berhenti sejenak. Pikiran dan logikaku menolak menerima kenyataan ini. Bagaimana bisa? Perasaan terkejut dan tidak percaya bergejolak di dadaku, menciptakan badai kecil yang tak dapat kuabaikan. Aku menatap jas itu lagi, mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah kesalahpahaman, tapi nama itu tetap ada, jelas tertulis dan tak dapat dipungkiri. Sederhana, namun membuat hatiku bergemuruh.

Bagaimana mungkin dia yang menyelimutiku dengan penuh perhatian ini?

Arshaka Najendra?

...BERSAMBUNG...

#alshameyzea

#alsha

#keenan

#aboutme

#fiksiremaja

#arshaka

#rey

⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆

Assalamualaikum guys!! Bantu support yaa dengan follow, vote, dan komen di setiap bab nya!! Makasiiii!🌷💖

Mari kepoin cerita kami juga di ig: @_flowvtry @febbyantii._

Salam kenal dan selamat membacaa. Semoga betah sampai akhir kisah Alsha! Aamiin.💖

Komen sebanyak-banyaknya disini 👉🏻 👉🏻 👉🏻

Eh? Kalian mau kasih saran dan kritikan? Boleh banget, disini yaaa👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻👉🏻

Thanks udah mau bacaa bab iniii sampe akhir💐

1
Sodiri Dirin
jujursi ceritanya bikin binggung tp bagus 🤔
_flowvtry: Makasii kaaa🥹🥹🥹🌷
total 1 replies
Sodiri Dirin
up tor jangan lama2,,sejujurnya aku ngrasa binggung sama ceritanya kaya GK nyambung lompat2 GK jelas tp seneng aja bacanya 🤗
_flowvtry: makasii kaaa, update terbaru ada di aplikasi wp kaa🙏🏻😭
total 1 replies
lilyflwrsss_
kerennnn bangett, alurnya bener-bener ga ketebak.
jd pengen baca terus menerus.
ditunggu updatenya kaak
_flowvtry: makasiiii kaaaa huhuu🥹🥹❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!