Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Missing You
Kau mengira dirimu sudah cukup membekali diri dengan belajar berbagai bidang keilmuan, namun itu tidak pernah cukup untuk memahami roda kehidupan. Keilmuan akhirnya kau sadari hanya sebagai benteng pertahanan untuk bertahan hidup, akan tetapi untuk menjalani kehidupan kau membutuhkan lebih. Dan hal-hal “lebih” tersebut akan diajarkan padamu oleh hidup itu sendiri. Kadang dengan cara yang tidak pernah terpikirkan bagi beberapa orang.
Kau belajar untuk berjalan, kemudian batu-batu menyandungmu. Kau terjatuh. Namun, apakah kau berhenti berjalan setelahnya? Apakah kau berhenti berjalan hanya karena takut terjatuh lagi? Sepertinya tidak, karena yang kau lakukan malah berdiri lalu berjalan lagi. Namun, kali ini kau berjalan dengan lebih baik, dengan lebih hati-hati, dengan lebih teliti untuk mencegahmu dari terjatuh. Namun, batu sandungan berubah bentuk menjadi lubang, atau paku berkarat, atau pohon tumbang yang melintang di tengah jalan. Semua ada di sana dengan tujuan untuk melukaimu, menghambat langkahmu, menghentikanmu. Dan sekali lagi, apakah kau akan berhenti di sana selagi roda kehidupanmu masih berputar?
Tidak.
Kau akan berjalan (lagi) bahkan mungkin mulai berlari. Apa pun yang terjadi tidak akan menjadi alasan yang menyurutkan langkah untuk mencapai tujuan, sejauh dan sebesar apa pun itu. Walaupun banyak godaan untuk menyerah, dari luar maupun dalam dirimu sendiri, kau tidak akan membiarkan dirimu kalah. Sebaiknya tidak, karena kau tidak akan pernah tau apa yang akan kehidupan berikan padamu sebagai hadiah, mengganti peluhmu selama ini. Hadiah dari kehidupan tidak akan pernah mengecewakan.
Karena di sinilah aku sekarang.
Bandara Internasional Minangkabau. Ghani dan aku mengantar Wide yang akan kembali ke Jakarta setelah seminggu penuh berada di sini untuk membesukku dan menyaksikan kedua temannya yang lain mengalami morning sickness. Lol. Iya, dengan izin Tuhan usia kandungan Mimi sudah memasuki bulan ketiga, seperti halnya Lulu. Aku bahkan sempat mengejek mereka karena kehamilan yang hampir bersamaan ini. Janjian nih, yee.
Namun, selama itu pula aku harus menghadapi amukan dan repetan Wide saat mengetahui teman Bang Rian yang berhasil dipaksa untuk menjadi “photographer suka-suka”-nya saat pernikahan adalah Alex, Alex-ku yang pernah aku ceritakan. Alex yang aku ratapi hampir selama empat tahun belakangan. Alex yang merupakan salah satu putra konglomerat Indonesia.
“Gila, gila, gila, gila, gila! Mampus aku, Kay! Kamu kenapa enggak bilang sebelumnya, sih? Aaaaaaa!” Wide mencak-mencak di depanku saat ini. Mukanya merah menyala menahan malu. Dia baru saja bertemu Alex yang harus keluar ruangan untuk mengangkat telepon.
Aku tertawa hingga perutku menegang, ekspresinya saat ini benar-benar membuatku merasa lebih segar. Setelah hampir tiga minggu di rumah sakit, hari ini aku rasa aku sudah bisa keluar dari sini. “Loh? Kok aku yang salah? Kan sebelumnya juga udah cerita kan, Wi? Kamunya aja yang enggak nyambung gitu.” Aku berusaha menyelesaikan tawa.
“Iyaaaa, Kayraaa, tapi aku kan enggak tahu kalau itu Alex yang sama sama yang kamu ceritain. Lagian pas nikahannya Mimi, Bang Rian bilang itu temannya dia bukannya teman kamu. Makanya.” Dia masih saja merepet.
“Udah, udah, enggak usah dipikirin kayak begitu banget, ah. Lagian dia juga gak marah tuh disuruh-suruh ngambilin foto, kan? Sekalian belajar fotoin model, biasanya kan dia motoin pohon aja.” Walaupun bermaksud menenangkan Wide, aku tidak kehilangan selera untuk terus menggodanya.
“Tapi, kan dia itu anaknya yang punya RS Grup, Kaaaay.”
Kesalahpahaman—sebenarnya lebih kepada perasaan tidak enak Wide sudah memperlakukan Alex seenaknya—disudahi dengan obrolan singkat melalui telepon keesokan harinya karena malam itu Alex harus kembali ke Jakarta. Hampir tiga minggu dia meninggalkan pekerjaan demi menemaniku di rumah sakit, Alex akhirnya memesan tiket penerbangan terakhir dengan berat hati.
“I’ll be back soon, okay?” Alex mengecup kening dan memelukku yang duduk di atas tempat tidur. Di belakangnya sudah ada Bang Rian yang siap mengantar ke bandara. Dalam pelukannya aku bisa merasakan dia menarik napas dalam beberapa kali.
“I know. I’m waiting.” Aku membalas pelukannya.
“Mulai sekarang enggak ada alasan buat sakit lagi ya, Neng?” Wide menutup pintu mobil. Dia meneruskan repetannya sambil berjalan menuju pintu keberangkatan. Aku dan Ghani mengekor dalam diam. “Gejalanya udah berat. Kamu harus ekstra jaga kondisi. Enggak boleh kecapekan, kurang nutrisi, kurang istirahat. Banyak makan buah, sayuran, vitamin jangan lupa. Kalau bisa kurangin kerjaan, yang paling penting jangan banyak pikiran lagi. Urusan galau sama Alex udah end, kan? Kalian udah balikan, jadi seharusnya enggak ada masalah. Ngerti?”
Wide kemudian berbalik menghadap kami setelah menyelesaikan ceramahnya. Walaupun tingkat kecerewetannya hampir menyamai Mama dalam beberapa hal, menyenangkan bisa mempunyai orang yang peduli padamu seperti dia peduli pada dirinya sendiri. Aku tersenyum dan memeluknya.“Iya, cerewet. Tenang aja. Enggak ada cerita galau lagi. Makannya juga nanti dibanyakin. Istirahatnya juga. Soal kerjaan, nanti juga bisa diatur.”
Dia menepuk-nepuk punggungku lembut beberapa kali sebelum melepaskan pelukan. “I’ll make sure. Jaga dia ya, Ghan. Kami percaya sama kamu.” Wide menekankan kata “kami” dalam kalimatnya pada Ghani yang tersenyum.
****
Aku selalu kagum pada setiap ketukan detik yang merangkak diam-diam, penuh rahasia, namun tak pernah lupa menebar benih-benih cerita. Kau dan aku, kita adalah jiwa-jiwa yang menari, berpijak di satu titik ke titik lainnya, menebar tawa, meluruhkan air mata, melahirkan sebuah peristiwa.
****
Kalau diakumulasikan dengan libur semester genap yang menyambutku sepulang dari rumah sakit, rasanya tiga bulan sudah cukup untuk mengisi ulang penuh sepenuh-penuhnya baterai tubuhku. Bahkan karena bosan di rumah, aku kadang menyempatkan diri bertandang ke cabang yayasan yang kini sudah berkembang sangat baik di tangan kawan-kawan. Tante Meli juga beberapa kali singgah ke rumah saat berada di sini. Sementara Alex sempat menghabiskan dua hari liburnya untuk mengunjungiku. Benar-benar dua hari libur yang dia punya disela-sela kesibukan super yang dijalaninya menggantikan Mr. Rahardjo yang sedang melakukan perjalan keliling dunia bersama istrinya menggunakan kapal pesiar untuk memperingati ulang tahun pernikahan mereka.
“kamu seharusnya stay di Jakarta dan istirahat, Lex. Jadwal kamu kan padat banget. Kamu juga harus jaga kesehatan, jangan bisanya cuma ingetin aku aja.” Aku mengomel saat mendapatinya berdiri di depan pintu rumah. Sepuluh menit yang lalu aku menerima pesan singkat Alex yang memberitahukan bahwa sebentar lagi dia akan sampai.
“Ini istirahat yang aku mau.” Dia masuk setelah mengecup keningku sambil lalu. Terdengar suaranya riang menyapa Papa dan Mama yang sedang sarapan. Tak habis pikir, aku menyerah dan mengikutinya menuju ruang makan.
“Sarapan dulu, Lex. Pasti kamu belum sempat sarapan, kan?”Mama kemudian meminta Tek Nur mengambilkan piring tambahan.
“Iya, Ma.” Dengan santai Alex meletakkan ransel yang disandangnya ke atas sofa ruang
tengah lalu menuju ruang makan dan duduk di kursi di sebelah Mama. Iya, semenjak di rumah sakit aku tidak pernah lagi mendengarnya memanggil Papa dan Mama dengan sebutan Om dan Tante. Hanya masalah waktu, jawabnya waktu kutanya soal itu. Dasar.
Sekarang semuanya tampak berjalan baik, sangat baik malah. Papa dan Mama dalam keadaan sehat. Bang Rian dan Mimi sedang menanti kehadiran anak pertama mereka. Lulu dan Bang Danu yang bahagia melihat Rindu sangat bersemangat menunggu kelahiran adiknya. Para teletubbies yang lain juga ikut deg-degan menyambut anggota baru pewaris persahabatan kami nanti. Ghani yang masih setia menjadi kakak ketigaku setelah Bang Bian dan Bang Rian.
Dan Alex.
Terima kasih, Tuhan.
****
Lulu : Para Tante, nanti aku sama Mimi operasi di hari yang sama ya
Lulu : Biar kalian engga repot hehe
Lulu : rencananya tanggal 1 Mei
Lulu : jangan lupa siapin kado, oke?
Mimi : Iya, Tante-Tante cantiks
Mimi : kami udah engga sabar nih
Ada-ada saja mereka berdua.
Me : Oke oke
Me : no problemo
Me : tapi Mimi udah engga sabar nunggu lahiran atau kadonya nih?
Anggre : Iya kita standby kok
Wide : Yeay!
Wide : ketemu bentar lagiii
Wide : tapi kado dari aku diwakilin Kayra dulu ya, Mi? Lu?
Wide : Hahaha.
Dasar, Wide!
“Everything okay?”
Ghani baru saja kembali dari toilet. Aku mengalihkan pandangan dari ponsel. “Yeah, Lulu and Mimi are so exciting about their due dates. Mereka bahkan memutuskan tanggal yang sama untuk operasi.”
“That’s great! But it will be the best kalau kalian berlima bisa melahirkan di hari yang sama, kan? Di rumah sakit yang sama? Whoa!” Ghani terlihat takjub mendengar idenya sendiri. Aku memutar bola mata. “What?” Dia mengangkat bahunya, mempertanyakan ekspresi look-who’s-talking-nonsense-ku. “Kalian enggak berencana jadi jomblo seumur hidup kan?”
Kalian yang dimaksudnya adalah Anggre, Wide dan aku. Aku menggeleng cepat. “Jangan ngomong gitu deh, Ghan. Amit-amit. Tapi, kayaknya pernikahan masih terasa jauh sekarang.”
“Who knows?”
****
Alex : Thailand is no fun without you
Sebuah pesan masuk ke ponsel saat aku bersiap untuk tidur. Alex. Walaupun belum bertemu semenjak kedatangannya ke rumah waktu itu, pesan dan telepon selalu bisa mewakili keberadaan dirinya. Perhatian-perhatian kecil adalah hal yang paling aku sukai. Dan Alex tampak mengerti sekali dengan fakta ini. Aku mengetik balasan.
Me : Jangan lebay deh
Sebenarnya aku menikmati sensasi yang ditimbulkan pesan Alex barusan, akan tetapi aku memilih untuk tidak terlalu menunjukkannya. Playing hard to get, istilahnya.
Alex : lol
Alex : believe me it’s true
Me : I know I know
Me : fly home safely, ok?
Alex : I always will
Alex : gotta go
Alex : Have a good night, sweetheart
Alex : hope I can beat those appointments and meet you soon
Alex : miss you so bad
Mengetahui Alex sedang merindukanku bisa jadi hal terbaik yang terjadi di hari ini. And realizing I feel the same make it even better.
Me : miss you too
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️