Demi melunasi hutang orang tuanya, Venzara harus menerima pernikahan paksa dengan anak majikan bibinya. Mau tidak mau, Venza akhirnya menerimanya dan siap menerima syarat yang ditentukan.
Tidak hanya terikat dalam pernikahan paksa, Venza juga harus menerima perlakuan buruk dari suaminya. Namun, sosok Venza bukanlah perempuan yang lemah, bahkan dia juga perempuan yang berprestasi. Sayangnya, perekonomian keluarganya tengah diambang kehancuran.
Jalan satu-satunya hanya bisa menikahkan Venza dengan lelaki kaya dengan kondisinya yang lumpuh.
Akankah Venza mampu bertahan dengan pernikahannya? yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hampir jatuh
Saat sudah berada dalam kamar, Venza segera menutup pintunya.
"Kenapa kamu masih berada dalam kamar? cepat keluar dan temui Gilang, siapa tahu aja ada sesuatu yang akan disampaikan oleh adikku." Ucap Razen tanpa menatap wajah istrinya.
Venza menarik kursi roda yang diduduki suaminya dan menghadapkan ke arah dirinya.
"Kenapa kamu bicara seperti itu? ucapanmu juga kedengaran seperti sedang marah, apakah kamu sedang marah denganku?"
"Ya, aku marah karena kamu tidak mengambilkan ku air minum. Jangan kepedean, aku tidak ada rasa cemburu padamu. Aku hanya kesal saja sama kamu. Bukannya mengambilkan air minum, justru kamu asik bermain drama bersama adikku."
"Yakin?"
"Yakin. Perempuan seperti mu bukan tipeku. Jadi, kamu gak usah kepedean. Sudah sana pergi, lagi pula pernikahan kita ini hanya sebatas merawatku saja. Kamu berhak mau mencari suami baru untuk menggantikan ku." Jawab Razen dengan suara yang terdengar dongkol.
"Baiklah, jika mengusir ku untuk keluar. Yakin tidak apa-apa aku tinggal di kamar sendirian?"
"Ambilkan minum untukku dulu, setelah itu terserah kamu. Mau menemui Gilang dan membicarakan hal lebih juga bukan urusanku."
Venza yang mendengarnya, pun hanya tersenyum dan bergegas pergi ke dapur untuk mengambilkan air minum.
Razen yang masih merasa dongkol saat teringat kejadian di dekat dapur, rasanya ingin sekali memarahi istrinya. Namun, rupanya gengsinya lebih besar dari pada kejujurannya.
Lain lagi dengan Gilang, dirinya tengah dilema saat mengetahui sang pemilik gelang tersebut, yakni milik kakak iparnya sendiri.
"Aw! Nandin. Kamu ini ya, ngagetin kakak aja."
"Cie ... yang lagi kepikiran." Ucap adik perempuannya yang ikutan berdiri di balkon.
"Apa-apaan sih kamu, sok tahu."
"Ya dong, Nandin kan, selalu serba tahu."
"Hem. Palingan juga dari Mama, siapa lagi." Ucap Gilang sambil memandangi pemandangan disekitar rumahnya.
"Kak Gilang suka ya, sama kakak ipar?"
"Nga_co' kamu itu kalau ngomong, gak baik bicara seperti itu. Kakak hanya kecewa saja, tapi ya sudahlah, pemilik gelang itu sudah menjadi istrinya Kak Razen. Jadi, mungkin memang bukan jodohnya Kakak." Jawab Gilang yang kini menatap adiknya.
"Ya aku ngerti perasaan Kak Gilang itu gimana, kecewa sudah pasti. Namanya juga barang semu, maksudnya pemiliknya yang semu. Jadi, kalaupun sudah berharap dan tidak sesuai kenyataan, Kak Gilang harus bisa terima." Ucap Nandin.
"Sudahlah, sana keluar. Kakak lagi males ngomongin gelang, Kakak mau istirahat. Jadi, mendingan kamu temani Mama ngapain kek, atau apa kek, sudah cepetan sana keluar."
"Dih, kejam banget Kak Gilang mah. Awas loh, nanti bibit pebinor muncul, au ah ngeri." Ucap Nandin dan bergegas keluar dari kamar kakaknya.
Gilang yang mendapat ledekan dari adik perempuannya, pun merasa geram.
'Mana mungkin Kak Razen mau menceraikan istrinya. Sudah cantik, pengertian lagi. Yang ada juga bakal dipertahankan, bukan untuk diceraikan." Gumam Gilang sambil menghela napasnya.
Sedangkan Venza yang sudah mengambilkan air minum untuk suaminya, ia segera kembali ke kamar.
Karena harus melewati tangga yang sama, Venza dan Gilang akhirnya berpapasan di anak tangga.
Venza yang tidak ingin menambah masalah pada suaminya, memilih untuk menundukkan pandangannya.
"Awas!"
Seketika, Gilang menahan tubuh Venza karena hampir saja tergelincir. Saat itu juga, keduanya saling menatap satu sama lain.
Venza yang tersadar, pun langsung membenarkan posisinya. Sedangkan Gilang masih memegangi punggung kakak iparnya.
"Makasih. Maaf, aku harus kembali ke kamar." Ucap Venza yang kini menjadi gugup.
"Ya, enggak apa-apa. Lain kali Kak Venza hati-hati." Jawab Gilang dan melepaskan tangannya.
Tidak ingin masalah bertambah, Venza cepat-cepat masuk ke kamarnya.