Istri kedua itu memang penilaiannya akan selalu buruk tapi tidak banyak orang tau kalau derita menjadi yang kedua itu tak kalah menyakitkannya dengan istri pertama yang selalu memasang wajah melas memohon simpati dari banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ranimukerje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Selepas maghrib, wisnu pamit untuk menghadiri sebuah acara yang tidak bisa diwakilkan dan febri yang sejak pagi sedikit lemas sehingga tidak diijinkan untuk ikut menemani. Didalam kamar, febri duduk bersandar dikepala ranjang sambil memainkan gawainya. Scrol tikt*k inst*gram faceb*ok dan lainnya, sampai rasa jenuh itu datang. Diletakkan gawai itu disamping bantal dan dengan gerakan pelan diambilnya mangkuk kecil berisi anggur yang tadi sengaja wisnu siapkan karena semenjak hamil, buah kesukaan febri adalah anggur.
Tring
Ponsel milik febri berdenting tanda satu pesan masuk. Tak langsung diambil, sengaja karena febri masih menikmati anggur ditangannya. Setelah dirasa cukup, diletakkan lagi mangkuk itu dimeja samping ranjang. Dilap tangannya menggunakan tissue dan diraih ponsel itu.
Satu pesan datang dari nara. Tubuh febri sontak menegang. Sudah lama sekali, terakhir nara menelpon dan mengirim pesan itu sebelum dirinya menikah dengan wisnu dan malam ini tiba-tiba saja nara mengirimi pesan. Tak langsung dibuka, febri sedang menenangkan diri, jantungnya bertalu. Sungguh, ada rasa takut kali ini. Kenyataan yang coba febri abaikan sepertinya akan diungkap sekarang ini.
Janin, janin dalam rahimnya bukan miliknya. Hal itulah yang berputar dikepala febri saat ini.
Klik
Dengan tangan gemetar. Febri membuka room chat itu, pesan lama masih tersimpan rapih. Sebaris pesan baru yang nara kirim berhasil membuat febri terpaku cukup lama.
"Sudah hamil kan? Selamat ya, jaga baik-baik karena itu anak ku dan mas wisnu."
Air mata febri tumpah tanpa diminta. Ia menangis, menangis pilu sambil mengelus perutnya yang masih rata. Janin ini milik mba nara dan mas wisnu batin febri nelangsa. Kehidupan dalam rahimnya bukan miliknya, dia yang akan membawa janin ini selama 9 bulan tapi nanti setelah lahir harus diserahkan pada si pemilik. Miris, hidup sebercanda ini.
Febri sudah tau konsekuensinya sejak awal tapi saat kenyataan itu diperjelas kenapa sakitnya bukan main. Febri ingin membawa pergi anak ini, hanya untuk dirinya agar anak ini jadi miliknya seorang. Si biji kacang hijau ini, belum berkembang tapi sudah berhasil membuat febri merasa takut kehilangan.
"Mama ga bisa kehilangan kamu." Lihir febri disela isak tangisnya yang makin pilu.
"Mama mau kamu ikut mama aja."
Panik, tapi panik berubah jadi ketakutan yang membabi buta. Satu pesan masuk lagi dan itu masih dari nomor yang sama, nara.
"Oh ya, jangan lupa ya. Kamu cuma jadi ibu untuk hamil aja. Jangan sampai lupa diri karena sejak awal aku cuma mau anak dari kamu dan mas wisnu. Setelah anak itu lahir kamj harus kembali jadi febri yang dulu, pergi yang jauh dari hidup ku maa wisnu juga anak kami."
Dada febri sesak. Bak ada batu ribuan ton yang menghantam. Sampai sampai febri lupa caranya bernapas dengan benar. Ibu hamil itu langsung ngeblang, matanya seketika gelap dan febri tak sadarkan diri.
.
.
.
Wisnu pulang sudah menjelang tengah malam, lampu kamar masih menyala terang saat wisnu membuka pintu kamar. Disisi ranjang tempat biasa febri berbaring ada sosok yang ia rindukan tapi mata wisnu menangkap hal aneh. Posisi tidur febri sangat janggal tidak rapih dan .......
"Sayang" Wisnu mendekat.
Yang pertama wisnu dapati adalah wajah sembab nan pucat istrinya. Wisnu mendekat, menyentuh wajah istrinya yang ternyata dingin. Sontak wisnu panik dan berteriak kencang memanggil ayah dan ibunya. Tapi sia-sia, kamar wisnu ada dilantai dua sementara kamar orangtuanya ada dilantai satu jadi sekencang apapun wisnu berteriak sangat kecil kemungkinannya bisa terdengar sampai kebawah apalagi sekarang sudah tengah malam bisa dipastikan orangtuanya sudah beristirahat.
Tak mau membuang waktu, wisnu menelpon nomor sopir dan setelahnya menelpon ibunya. Seketika kepanikan terjadi dirumah besar itu.
"Nu" Dewi berdiri didepan pintu dengan wajah khawatir dan dibelakangnya ada lim kusuma yang huga sama menunjukkan kekhawatiran yang amat sangat.
"Papa sudah telpon dokter. Tunggu dulu."
"Bawa aja langsung kerumah sakit pa ma, kita ga tau udah berapa lama febri begini."
Wajah wisnu sudah basah begitupun dewi. Dewi mendekat, berusaha membangunkan menantunya dengan mengusap kaki dan tangan febri bergantian. Mba yang ikut terbangun karena sopir disana membangunkan mereka ikut membantu dengan memberi pijatan dengan minyak kayu outih ada yanh menyiapkan teh hangat. Sampai setengah jam kemudian febri sadar dengan air mata yanh mengalir deras dan bertepatan dengan dokter yang lim kusuma panggil datang.
Shock
Satu penjelasan yang sebenarnya masih belum bisa wisnu terima secara utuh. Shock karena apa, wisnu masih terus memikirkan diagnosa dari dokter yang tadi memeriksa kondisi febri dan penyebab apa yang membuat istrinya ini sampai pingsan.
Wisnu tak bertanya apapun karena melihat febri banyak diam dengan gerak mata menunjukkan kegelisahan yang tidak bisa ditutupi apalagi dewi ibunya sudah berpesan agar tidak menanyakan hal apapun sampai febri benar benar tenang dan mau bercerita sendiri.
Tangis itu masih ada tapi tidak sampai terisak parah karena febri berusaha sekuat tenaga agar tidak sampai menimbulkan suara. Mereka saling diam, wisnu tetap memeluk tubuh istrinya dalam posisi saling rebah diranjang. Febri sudah makan sudah minum obat plus vitamin yang tadi dokter resepkan. Malam beranja pagi tapi mereka tetap terjaga walau tidak ada suara diantara keduanya.
Dilantai bawah, dikamar lim kusuma dan dewi. Dua baya itu juga saling diam. Pikiran mereka saling terka hal apa yang membuat febri sampai mengalami shock dan berujung tak sadarkan diri. Dewi merasa bersalah karena tadi tak lagi mengecek kondisi febri sebelum benar benar akan beristirahat.
"Mama nyesel banget tadi ga naik lagi keatas buat ngecek febri gimana. Kalau aja mama tadi naik pasti kejadiannya ga akan gini."
Lim kusuma menggenggam tangan dingin istrinya guna memberi rasa nyaman dan tenang.
"Udah kejadian. Tapi lain kali kita harus lebih peka lagi, febri sedang mengandung dan kita harus ekstra perhatian dan jaga dia."
Dewi mengangguk setuju dan matanya sudah merah berembun siap menangis lagi.
"Pa, kayaknya papa harus pertimbangkan permintaan wisnu tadi."
Giliran lim kusuma yang mengangguk kepala. Malam tadi, sebelum berangkat keacara yang akan dihadiri wisnu sempat menyampaikan keinginannya untuk bekerja dari rumah selama istrinya menganduk dan akan keluar rumah saat ada meeting dan acara acara tertentu yang memang mengharusnya untuk datang. Tadinya lim kusuma belum memberi tanggapan apapun tapi setelah kejadian tadi, sepertinya apa yang wisnu inginkan akan terwujud. Tak mengapa lim kusuma akan lebih sibuk dikantor asalkan menantu dan calon cucunya bisa sehat dan selamat.
Sebenarnya bisa saja, dewi yang dirumah memperhatikan febri dengan sebaik mungkin tapi akan lebih baik memang wisnu yang selalu ada didekat istrinya karena febri pasti akan merasa lebih nyaman kalau pada suaminya.
#Happyreading
nara dan org tuanya tak benar" menganggpmu sbg bagian dri keluarga.... mereka hnya mnjadiknmu mesin uang.....
miara ular ber bisa kok betah amat wisnu....
jgn nnti bilang nyesel klo febri prgi dri hidupmu krna kmunya menye" g jelas... & msih sja mmberi nara ksempatan brbuat ulah untuk yg ksekian kalinya...
km permpuan egois... punya kekirangan tpi ttp sja g berubah tetap aja miara pola hidup buruk....
jgn salahkn suamimu bila kelak mmbuangmu nara.... suamimu jga makin lama bkalan muak dgn sikapmu yg semakin g karuan... ap lgi madumu perempuan idaman suami dan mertua...