Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadapi - 24
...Tak ada gunanya kamu berlari. ...
...Berhenti dan hadapi. ...
...Supaya masalahnya bisa teratasi. ...
***
Rai memang sudah merasa jika ada yang berbeda dengan Rey. Dari pagi senyumnya tidak keluar, bicara juga sekarang seperlunya. Apa Rey sedang ada masalah? Pikirnya.
Dari tadi Rai sudah memancing Rey agar bersuara. Mulai dari membahas sastra, musik, juga tentang semesta. Tapi hasilnya gagal semua. Rey hanya menjawabnya dengan deheman saja.
Sekarang simulasi ujian mereka sudah selesai, dan kini waktunya untuk pulang.
Rai dan Rey melangkah bersama ke tempat parkir tanpa obrolan, dan Rai merasa tidak nyaman. Ia merasa jika Rey sedang ingin sendiri. Terlihat dari caranya merespon cerita Rai dari tadi.
"Kayaknya kamu butuh waktu sendiri dulu? Aku pulang sendiri aja deh, ya."
Dan ketika kalimat itu terucap, ajaibnya Rey langsung menjawab.
"Pulang bareng gue. Biar gue ada temen."
Ada teman katanya? Tapi disini Rai yang merasa sendirian.
Rai menghela napas ringan. "Kamu kenapa sih, Rey? Lagi ada masalah? Mau cerita?"
Kebetulan ketika Rai selesai bertanya, mereka sudah berada di depan motor hitam milik Rey. Hal itu mampu membuat Rey mengalihkan pembicaraan dengan mudah.
"Kita pulang sekarang." Ucap Rey sembari menyodorkan helm kepada Rai.
Selama perjalanan, mereka hanya diam. Rey sibuk berkendara, sedangkan Rai sibuk melihat sekitar dengan matanya.
Sebenarnya Rey sekarang akan membawa Rai ke cafe langganan Ibunya. Ia akan mentraktir Rai makanan apa saja sebagai permintaan maaf karena sudah mendiamkannya seharian.
Rai yang memang tidak tau jalan tetap menganggap mereka akan pulang.
Tapi ketika Rey mulai menghentikan motornya di depan cafe yang pernah mereka singgahi bersama Renata, membuat rasa penasarannya mencuat begitu saja.
"Lho, kamu mau ambil pesanan Ibumu?"
"Enggak. Gue mau traktir lo disini."
Sembari turun dari motor dan melepaskan helm, Rai menatap Rey penuh tanya.
"Traktir aku? Kok tiba-tiba? Kamu ulang tahun, ya?"
Setelah berjam-jam lamanya, akhirnya Rey bisa tertawa lagi. "Lo banyak nanya. Udah, ayok!"
Mereka mulai melangkah bersama. Membunyikan lonceng ketika pintu terbuka, dan disambut senyuman seorang pekerja dengan kata sapaan yang selalu terucap ketika pelanggan masuk ke dalam.
"Mau makan disini atau dibawa pulang?"
Tanpa berpikir, Rai menjawab. "Makan disini aja. Kalau dibawa pulang nanti direcokin sama Dikta Nanta."
"Beliin juga buat mereka. Gue yang bayarin, gak papa."
Rai menggeleng untuk menolak. "Gak usah, mereka punya banyak uang. Suruh beli sendiri aja."
"Ya udah. Lo mau pesen apa?"
Ditanya seperti itu, Rai mulai membuka buku menu dihadapannya.
"Aku mau croissant coklat sama teh pait dingin." Finalnya.
Rey mengangguk dan mengangkat tangannya untuk memesan.
"Croissant coklat dua, teh pait dingin dua." Rey juga ternyata menyamakan pesanannya dengan Rai.
"Baik. Ditunggu ya, Kak."
Sembari menunggu, Rey memainkan handphonenya. Sedangkan Rai mulai mengeluarkan buku yang dibelikan Rey kemarin untuk ia baca.
Senyum Rey terangkat ketika tau Rai membaca buku pemberiannya. Otaknya menyuruh ia untuk mengabadikan wajah Rai yang fokus membaca. Makanya sekarang ia masuk ke aplikasi kamera di handphonenya.
Tapi sialnya, Rey lupa mematikan flash juga suara ketika memotret objek di depannya, yang membuat ia jadi pusat perhatian sekarang.
Rai tentu saja mendongak untuk memastikan suara yang ia dengar barusan.
"Kamu motret siapa? Aku?"
Rey mengangguk ragu. "Iya, Sorry udah motret lo diem-diem."
"Gak papa. Mana coba liat hasilnya."
Mungkin ini bisa disebut dengan foto candid? Karena Rai tidak sadar dengan kamera.
"Bagus! Fotoin lagi, dong!" Ucap Rai sembari menyodorkan kembali handphone Rey.
"Oke. Bergaya!"
Rai mengangkat ibu jari dan jari tengahnya bersamaan, membentuk huruf V dan tersenyum lebar ke arah kamera.
"Lagi."
Rai menggeleng. "Sekarang kita selfie berdua. Sini HP kamu nya."
Dan Rey menurut. Ia mulai mengangkat handphonenya cukup tinggi hingga mereka bisa terlihat di kamera.
"Satu, dua, tiga!"
Cekrek!
Rey melihat hasilnya. Dan tersenyum puas setelahnya.
Sepertinya ia salah mengambil tindakan hari ini. Seharusnya ia tetap seperti biasa kepada Rai, tetap memberinya senyuman dan mengajaknya berbicara.
Karena melihat Rai dari kamera saja, membuat hati Rey menghangat.
Benar kata Angkasa, ia harus melakukan apapun yang ia inginkan, sebelum Tuhan memanggilnya pulang. Termasuk menjadikan Rai orang istimewa di hidupnya.
Karena ia hidup hanya sekali saja. Bahkan bertemu Rai saja sepertinya hal yang sulit ketika ia pulang nanti.
***
Jika kebanyakan orang suka dengan hari libur, Angkasa tidak. Ia tidak suka tinggal di rumahnya yang diisi orang asing yang selalu merusak suasana hatinya.
Angkasa selalu melarikan diri kemana saja asal dirinya bisa tenang. Dan anehnya, rumah Rey lah tempatnya.
Syukurnya keluarga Rey selalu menerimanya.
Sepulang sekolah, Angkasa langsung ke rumah Rey untuk kembali menginap. Sebagai ucapan terimakasih, Angkasa selalu membantu Ibu Rey untuk membereskan rumah.
Seperti sekarang, ia sedang membersihkan halaman rumah yang kotor karena hujan.
Sembari bersenandung kecil, tubuhnya begitu lihai membersihkan noda yang membuat rumah besar ini tak enak dipandang mata.
"Yey, sampe!" Suara Rai dan deru motor Rey membuat perhatiannya teralihkan.
"Jalan-jalan kagak ngajak gue." Ucapnya dengan nada yang dibuat kesal.
Rai yang sedang melepas helmnya menatap Angkasa heran. "Kamu jadi pembantu di rumah Rey sekarang?"
Rey sempat tertawa sebentar, sedangkan Angkasa melotot tak terima ketika mendengarnya.
"Enggak, lah! Gue cuman bantuin Tante Rania aja."
Rai ber-oh ria. "Kirain."
Rai juga sekarang tiba-tiba ingat dengan Rindu, yang menitipkan pesan kepada Angkasa selaku Kakaknya. "Oh iya, Sa. Tadi pagi Rindu-"
"Itu biar gue aja yang kasih tau dia." Potong Rey membuat Rai sedikit berpikir kenapa harus begitu.
Tapi karena tidak ingin berpikir terlalu dalam, akhirnya Rai mengiyakan. "Ya udah, aku ke dalem, ya! Makasih buat traktiran sama anterannya!"
Rey mengangguk. Lalu setelah memastikan Rai masuk dengan aman, ia langsung mendekati Angkasa untuk membicarakan hal yang memang harus diselesaikan sekarang.
Angkasa tidak bisa terus berlari seperti ini.
"Sa, lo di suruh Ayah lo buat pulang. Ada yang pengen diomongin katanya."
Angkasa tak menjawab, dirinya malah berpura-pura sibuk mengepel lantai, yang membuat Rey menghela napas panjang.
"Lo gak bisa terus lari. Mencoba untuk mendengarkan gak ada salahnya, Sa."
Dan Angkasa masih belum mau menanggapi.
"Gue cuman pengen lo anggap mereka keluarga. Tempat buat lo pulang, tempat nyaman disaat lo kecapekan. Gue tau mungkin susah buat lo nerima Rindu sama Ibunya. Tapi mau gimanapun juga, mereka keluarga lo sekarang."
"Tapi gue gak terima mereka nyakitin Ibu waktu itu." Balas Angkasa lirih.
"Makanya lo dengerin dulu Ayah lo."
Angkasa memalingkan muka, tak ingin mendengar lagi ucapan Rey yang membuat pertahanannya goyah begitu saja.
"Mereka mau menjelaskan, tapi lo nya malah kabur-kaburan, gimana bisa selesai?"
Angkasa tau, cepat atau lambat, ia memang harus mendengarkan, yang pastinya akan membuat ia kesakitan. Tapi hatinya belum siap jika harus mendengarkan sekarang.
"Iya iya, Pak Rey. Udah sana masuk! Gue mau ngepel lagi."
Rey tau Angkasa pasti akan memikirkan perkataannya. Makanya sekarang, Rey menurut untuk masuk ke dalam.
***
^^^26-Mei-2025^^^