Jihan, wanita Sholehah yang dinikahkan dengan cinta pertamanya terpaksa harus menelan kepedihan, karena ternyata sang suami justru tidak menerima dirinya sebab sudah memiliki kekasih.
Berbagai perlakuan kasar dan menyakitkan kerap Jihan terima, namun dia tetap bersabar demi menjaga perasaan orang tua serta mertuanya.
Sampai sebuah kejadian besar membuat Jihan akhirnya menyerah dan pergi dari hidup sang suami. Namun di saat bersamaan rahasia besar pun terbongkar hingga membuat suaminya menyesal telah menyakitinya.
Rahasia apakah itu?
Akankah Jihan kembali bersatu dengan suaminya?
Atau dia memilih untuk mengakhiri semua ini?
Baca kisahnya, yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZiOzil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 34.
Setelah dari rumah Arif tadi, Ammar tak langsung pulang. Dia justru pergi ke klub malam langganannya untuk meluapkan emosi dan rasa kecewanya. Ammar menenggak minuman keras, bahkan ini sudah gelas yang ke sepuluh. Matanya terlihat sayu, sebab dia mulai mabuk.
Miranda yang kebetulan juga ada di sana terkejut saat melihat sosok Ammar.
“Ammar? Wah, kebetulan sekali!” Seru Miranda. Dia bergegas mendekati Ammar dan duduk di samping kekasihnya itu.
“Hai, sayang. Kok ke sini enggak ajak aku, sih?” Sapa Miranda sembari memegang pundak Ammar.
Ammar spontan menepis tangan Miranda dari pundaknya dan melirik sinis wanita itu.
“Jangan ganggu aku!” Pinta Ammar dingin.
“Kamu kenapa, sih? Kok kasar begini sama aku? Kamu lagi ada masalah?” Tanya Miranda dengan nada mengalun.
“Aku bilang, jangan ganggu aku!” Bentak Ammar. Untung saja suara musik terlalu keras, sehingga pengunjung lain tak mendengar bentakan nya.
“Kenapa kamu marah? Memangnya aku salah apa?”
“Kalian semua pembohong! Bermuka dua! Enggak ada yang bisa aku percaya lagi di dunia ini. Semua orang pengkhianat!” Ammar meracau dengan nada tinggi, matanya menunjukkan kemarahan yang besar. Dia kemudian beranjak dan melangkah pergi meninggalkan Miranda.
Miranda menyeringai, dia bergegas mengejar Ammar yang berjalan keluar klub dengan sempoyongan.
“Sayang, tunggu! Kamu kenapa, sih?” Miranda menarik lengan Ammar, tapi lagi-lagi Ammar menepisnya dengan kasar.
“Sudah aku bilang, jangan ganggu aku! Kau tuli, ya!” Hardik Ammar dengan sorot mata yang tajam.
Tapi Miranda tak menyerah, dia tetap berusaha bersikap manis kepada Ammar.
“Sayang, sebenarnya ada apa? Kalau kamu ada masalah, cerita padaku. Aku ini kekasihmu, aku pasti membantumu.” Ujar Miranda sok baik.
Ammar tertawa sumbang. “Kekasih macam apa yang tega membohongi pasangannya, haa?”
“Kamu ini bicara apa? Aku enggak mengerti maksudmu.”
“Kau pasti mengerti maksudku. Jadi jangan berpura-pura! Kau dan Jihan sama saja!” Ammar kembali membentak Miranda.
“Tapi aku enggak pernah berbohong.”
“Oh ya?” Ammar menaikkan sebelah alisnya. “Sekarang saja kau sedang berbohong. Dasar munafik!”
Miranda terkesiap mendengar cacian Ammar.
“Kenapa dia bisa berkata begitu? Apa yang dia ketahui tentangku?” Batin Miranda.
“Mulai sekarang jangan ganggu aku lagi! Aku benci kau! Aku benci dia! Aku benci semua orang!” Teriak Ammar lalu bergegas pergi.
“Aku enggak akan melepaskan mu sebelum tujuanku tercapai. Aku akan cari tahu, kenapa dia bisa menuduhku pembohong.” Tutur Miranda dengan seringai licik.
Dia tak lagi mengejar Ammar dan membiarkan lelaki itu pergi bersama amarahnya.
☘️☘️☘️
Ammar tiba di rumah, dia berjalan masuk dengan malas, wajahnya terlihat kusut dan dipenuhi guratan kemarahan. Yusuf dan Anita sudah menunggunya sejak tadi, tapi Ammar malah berjalan melewati mereka tanpa menyapanya sama sekali.
“Ammar!!! Papa mau bicara!!!” Sergah Yusuf.
Ammar berhenti sejenak.
“Aku enggak ingin bicara dengan siapa pun!” Sahut Ammar dan kembali melanjutkan langkahnya.
“Ammar!! Jangan kurang ajar!!” Bentak Yusuf. Dan berhasil membuat Ammar kembali menghentikan kakinya lalu berbalik memandang kedua orang tuanya itu dengan wajah dingin.
Yusuf juga Anita pun mendekati putranya itu, dan sontak menghela napas saat mencium aroma minuman keras.
“Apa kau pikir minum-minum itu bisa menyelesaikan masalah?” Tanya Yusuf.
Ammar hanya mengembuskan napas, tanpa berniat menjawab pertanyaan dari sang ayahanda.
“Mar, kau ini bukan anak kecil lagi. Belajarlah dewasa. Berpikir yang matang, jangan gegabah.” Lanjut Yusuf.
“Sebenarnya Papa mau bicara apa? Langsung saja! Jangan bertele-tele! Aku enggak ada waktu untuk mendengarkannya.” Jawab Ammar angkuh.
Yusuf mengeraskan rahangnya. “Anak ini!”
“Pa, tenang. Jangan emosi! Ingat kesehatan Papa.” Anita berusaha menenangkan suaminya itu.
“Papa mau kau cabut ucapanmu dan minta maaf kepada Jihan serta keluarganya. Ini salah paham, Jihan enggak akan melakukan hal serendah itu! Dia pasti dijebak!” Ujar Yusuf.
Ammar tersenyum sinis. “Papa masih saja menutup mata dan membela pelacur itu.”
Plaaaakk ....
Satu tamparan keras kembali mendarat di pipi kiri Ammar.
“Jaga bicaramu! Papa enggak pernah mengajarkan kau kurang ajar seperti ini!”
Ammar bergeming sembari mengepalkan tangannya dengan kuat demi menahan geram.
“Kau sadar enggak? Ucapan dan sikap kurang ajarmu ini bisa melukai perasaan Jihan dan keluarganya.” Ujar Yusuf marah.
“Nak, jangan pernah mengatakan kata-kata yang buruk saat kau marah hanya agar kau menang. Kemarahan mu lambat laun akan hilang, tapi kata-katamu yang menyakitkan itu bisa melukai perasaan orang lain seumur hidupnya.” Sela Anita, mencoba menasihati putranya itu.
“Kalian sangat takut perasaan mereka terluka, lalu bagaimana dengan perasaan ku? Apa kalian pikir aku enggak terluka dengan semua ini?” Tanya Ammar dengan sorot mata menyalang.
“Enggak ada hal yang lebih menyakitkan selain dikhianati. Dan asal kalian tahu, aku enggak akan mencabut ucapanku apalagi minta maaf pada mereka. Terserah kalau kalian mau marah, aku enggak peduli.” Sambung Ammar dan bergegas pergi meninggalkan Yusuf dan Anita.
“Ammar! Papa dan Mama belum selesai bicara!” Teriak Yusuf, tapi Ammar tak peduli dan segera masuk ke kamarnya lalu membanting pintu dengan keras.
“Sudah, Pa. Jangan dipaksakan, pelan-pelan saja.” Anita mengusap pundak Yusuf.
“Tapi dia sudah bersikap kurang ajar pada keluarga Arif dan bahkan kepada kita, Ma!” Sahut Yusuf kesal.
“Ammar masih emosi, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Sebaiknya sekarang kita pulang, nanti kita kesini lagi kalau Ammar sudah lebih tenang.” Pungkas Anita.
Yusuf mengembuskan napas berat. “Iya, baiklah.”
Yusuf dan Anita akhirnya meninggalkan rumah Ammar.
☘️☘️☘️