Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Rencana Pensiun Dari Gigolonisme
Paijo mencoba membalas pesan dengan hati-hati.
“Madam Claudia, saya minta maaf kalau ada yang membuat anda tidak nyaman. Tapi... saya mohon, jangan kirim foto-foto seperti itu lagi.”
Balasannya cepat. Tak sampai sepuluh detik.
“Kau milikku! Jangan lupa siapa yang membayar semua kemewahan itu.”
Paijo mengusap wajahnya. Napasnya berat. Untuk pertama kali dalam sekian lama, dia merasa tidak nyaman dengan salah satu kliennya.
Malam harinya, ketika Paijo mengantar Suzy pulang usai nonton bioskop, suasana manis berubah tegang.
Suzy menoleh ke arah Paijo yang tampak gelisah.
“Mas Paijo... kamu kenapa sih dari tadi kaya nggak tenang?” tanyanya pelan.
Paijo memaksakan senyum. “Enggak, Mbak... cuma... kerjaan agak mumet aja.”
Suzy tidak memaksa. Tapi Paijo tahu, lama-lama pertanyaan itu akan muncul juga. Dan jika waktunya tiba, ia tak yakin bisa menghindar lagi.
Di tengah malam, saat Paijo hendak tidur, ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Claudia. Dengan enggan, Paijo mengangkatnya.
Muncul wajah Claudia di layar. Wajah yang sangat terawat meski usianya sudah tak lagi muda. Tidak ada satu pun kerutan di wajahnya.
Saat ini tampak Claudia sedang tidak memakai pakaian apapun karena berada di dalam bathtub. Di jam segini? Tampaknya wanita itu memang bukanlah wanita biasa.
“Kenapa tidak membalas pesanku?” tanya Claudia, suaranya terdengar datar tapi tajam.
Paijo menahan napas. “Saya sudah bilang, Madam... saya ingin menjaga batas.”
Claudia hanya tersenyum tipis. Tapi senyumnya terasa dingin.
“Kalau begitu, jangan salahkan aku kalau aku mulai membuka rahasiamu, sayang.”
Klik. Sambungan terputus. Paijo menatap layar ponsel yang kembali gelap. Jantungnya berdegup kencang. Claudia bukan hanya klien lagi. Ia menjadi ancaman.
...****************...
Pagi itu, Jakarta belum begitu panas. Paijo duduk di pinggir tempat tidur apartemen mewahnya—yang dibayari oleh cucuran keringat dan... Alvarez. Tangannya menggenggam sebuah foto lama yang diselipkan di balik dompet: foto dirinya bersama Mbok Sarni dan ayam kampung yang pernah jadi satu-satunya sahabat saat hidup di desa.
Matanya nanar.
“Apakah ini yang aku mau?”
“Bukan. Bukan ini.”
Dia menghela napas panjang. Kemewahan yang dulunya ia impikan, kini terasa hampa. Kamar luas, ranjang empuk, kulkas penuh minuman impor—tapi hatinya kosong. Kepalanya penuh kebohongan. Dan tiap malam saat menatap cermin, yang dilihat hanya topeng: Joe Gregorius sang model, Alvarez sang legenda ranjang, dan di tengah semua itu, Paijo Madindun—anak desa yang hanya ingin hidup tenang.
Dan kini, ada Suzy.
Senyumnya, cara dia tertawa sambil menutupi mulut, matanya yang sedikit sayu saat lelah kuliah. Semua tentang Suzy perlahan membuat Paijo ingin jadi laki-laki yang lebih baik. Yang jujur. Yang punya masa depan jelas.
“Sudah cukup,” bisik Paijo pada dirinya sendiri.
Pagi itu, ia duduk di depan laptop dan mulai menulis daftar dengan huruf kapital:
RENCANA PENSIUN DARI GIGOLONISME
Mengurangi klien tetap secara perlahan.
(→ Claudia? Berbahaya. Harus ekstra hati-hati)
Tabungan cukup. Pindahkan sebagian ke rekening lain.
**Cari kerja “normal”. Modeling bisa jadi jembatan.)
Hapus semua jejak sebagai Alvarez.
Jujur pada Suzy… suatu hari nanti.
Setelah selesai menulis, Paijo mengembuskan napas dalam. Entah kenapa, dadanya terasa lebih lega.
Namun, tak lama kemudian, ponselnya berbunyi.
Madam Vivi.
Pesan singkat:
Sayang, job spesial minggu depan. Hanya kamu yang bisa.
Paijo menatap layar itu lama. Lalu... ditekan tombol “hapus”.
"Cukup."
Ia berdiri, mengambil jaket, dan keluar dari apartemen.
Tujuannya? Sebuah toko kecil di daerah Blok M. Ia pernah lewat bersama Suzy, dan melihat ada lowongan untuk asisten toko buku. Gajinya pasti tak seberapa. Tapi itu... jujur.
Blok M pagi itu terasa adem. Paijo berjalan pelan menyusuri trotoar dengan hoodie abu-abu dan celana jeans longgar. Tak ada jejak Joe Gregorius si model iklan kontrasepsi. Tak ada bayang-bayang Alvarez si senjata 22 cm yang konon menjadi legenda. Hanya Paijo Madindun, lelaki biasa dari desa yang kini hendak melamar pekerjaan... sebagai penjaga toko buku.
Toko itu bernama “Obral Literasi”. Tempatnya kecil, teduh, dan penuh aroma buku tua. Di depan pintu, sebuah papan karton bertuliskan:
DIBUTUHKAN PEGAWAI. SYARAT: NGGAK MALING DAN BISA NGURUS LAPAK. GAJI SEIKHLASNYA BOS.
Paijo melangkah masuk dengan hati yang deg-degan. Seorang pria bertopi rimba dan berkumis lentik tengah duduk di balik meja kasir. Di sebelahnya, seekor kucing oranye sedang menjilati buntutnya.
“Permisi, saya lihat ada lowongan,” ucap Paijo pelan.
Si pria menoleh. Tatapannya tajam seperti detektif kelurahan. Ia mengerutkan dahi, lalu menyipitkan mata.
“Kamu... kayaknya familiar. Pernah masuk tivi ya?”
Paijo terkesiap. “Enggak, Mas. Paling mirip orang aja.”
“Oh, ya udah. Nama siapa?”
“Paijo Madindun.”
“Marga? Madindun itu marga apa?”
“Bukan marga Mas. Saya nggak ada marga. Nama saya cuma Paijo Madindun.”
“Bagus. Orang yang sederhana. Oke, saya Bos Beben. Saya punya beberapa pertanyaan wawancara. Siap?”
Paijo mengangguk, mencoba serius. Bos Beben mencondongkan badan.
“Pertama, kalau ada pelanggan minta buku ‘How to Stop Procrastinating’, tapi kamu malas nyarinya, itu namanya ironi atau hipokrisi?”
Paijo berpikir. “Itu... kayaknya dosa, Mas.”
Bos Beben nyengir. “Boleh. Lanjut. Kalau kamu sendirian jaga toko dan tiba-tiba ada pengunjung kerasukan baca puisi Chairil Anwar pakai nada death metal, apa yang kamu lakukan?”
Paijo berkedip. “Saya... ikutan tepuk tangan?”
“Salam sastra!” seru Beben, mengepalkan tinjunya.
Paijo ikut mengepalkan tangan, agak bingung.
Bos Beben lalu berdiri, mengambil satu buku tebal berjudul “Ensiklopedia Kucing dengan Masalah Eksistensial”.
“Kalau buku ini jatuh dan menimpa kepala pelanggan, siapa yang salah?”
“Buku itu, Mas.”
“Kenapa?”
“Karena manusia tak bisa disalahkan atas kejatuhan literatur.”
Bos Beben mematung. Lalu... ia tertawa terbahak-bahak.
“Wah, kamu cocok, Bro. Puitis juga ternyata.”
Paijo tertawa karir. Di dalam hatinya, dia mulai merasa... nyaman.
Kucing oranye di kasir naik ke meja dan mendekati Paijo, lalu menjilat tangannya.
“Namanya Sastrawidjaja. Kalau dia suka kamu, berarti kamu boleh kerja di sini,” kata Bos Beben.
Sastrawidjaja mengeong, lalu tidur di kaki Paijo.
“Selamat. Kamu diterima,” ucap Bos Beben dramatis.
Paijo tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, senyum itu datang bukan karena keberhasilan di ranjang atau viral di media sosial. Tapi karena diterima jadi manusia biasa, penjaga toko buku. Tak ada kamera. Tak ada ranjang satin. Tak ada orgasme klien-klien absurd.
Hanya buku, kucing, dan kopi tubruk dari termos tua.
Sore harinya, Paijo menulis pesan pada Suzy:
Mbak Suzy, saya dapat kerjaan baru jaga toko buku. Tempatnya kecil, tapi tenang. Suatu hari, Mbak harus main ke sini. Saya mau traktir bajigur.
Suzy membalas cepat:
“Wah, selamat ya, Mas Paijo! Aku suka banget toko buku. Aku pasti mampir 😊”
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️