Alvin sosok pria dingin tak tersentuh telah jatuh cinta pada keponakannya yang sering dipanggilnya By itu.
Sikapnya yang arogan dan possesive membuat Araya sangat terkekang. Apalagi dengan tali pernikahan yang telah mengikat keduanya.
"Hanya aku yang berhak untukmu Baby. Semua atas kendaliku. Kau hanya milikku seorang. Kau tidak bisa lepas dariku sejauh manapun kau pergi. Ini bukan obsesi atau sekedar rasa ingin memiliki. Ini adalah cinta yang didasari dari hati. Jangan salahkan aku menyakiti, hanya untuk memenuhi rasa cinta yang berarti."
-Alvin-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ist, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah Berakhir
"Keluar yuk."
"Mau kemana?"
"Aku pengen makan pizza." rengek Aya.
"Jangan lah Yang. Makan yang sehat sehat aja."
"Tapi aku pengen."
"Enggak Yang. kamu boleh minta lainnya deh. Asal jangan makanan yang ga sehat kaya gitu."
"Ih sekali aja." Alvin yang gemas langsung menciumi wajah istrinya.
"Lebih baik makan buah atau apa gitu Yang."
"Aku pengennya pizza. Udah lama ga makan. Terakhir makan aja aku sampai lupa. Saking lamanya."
"Tapi kemarin kamu habis makan pasta."
"Pizza sama pasta kan beda."
"Tapi..."
"Ayolah Om...."
Alvin mencubit kedua pipi istrinya gemas.
"Nakal ya kamu. Panggil suami sendiri Om. Aku nggak mau." Kata Alvin sambil memalingkan wajahnya pura pura marah.
"Maaf..Maaf...suamiku. Aku pengen pizza. Beliin dong. Please..."
"Cium dulu."
"Oke..oke.."
Aya mencium semua bagian wajah yang di tunjuk Alvin.
"Udah ah. Capek tau."
"Sebagai penutup. Kamu kelamaan. Ga peka." Kata Alvin mencium bibir Aya dengan rakus.
"Kita pesan saja. Ga usah keluar." Kata Alvin sambil meraih ponselnya.
"Tambah satu lagi boleh?"
"Apa?"
"Aku pengen soda."
"Enggak." Tegas Alvin.
"Ih..."
"Nanti aku batalin lo pesen pizza nya kalo kamu mau soda juga. Ga sehat tau minum soda."
"Oke.Oke."
Setelah menunggu beberapa saat pizza sudah tersaji di atas meja. Aya langsung makan dengan lahap. "Mas ga mau?"
"Suapin."
"Oke."
"Mau ngapain?" Melihat Aya mengambil potongan pizza yang baru.
"Katanya mau di suapi?"
"Bekas kamu kan ada Yang."
"Tapi.."
"Aku maunya yang bekas kamu."
"Yaudah."
"Ini lebih enak." Kata Alvin menerima suapan dari Aya.
Aya memperhatikan suaminya yang tampak pucat.
"Kamu pucat banget mas. Tangan kamu juga dingin."
Aya melepaskan hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya namun Alvin malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Aku nggak papa cuman kecapean aja." kata Alvin berusaha meyakinkan istrinya agar tidak beranjak dari ranjang. Ia begitu nyaman memeluk istri kecilnya.
"Badan kamu panas." Kata Aya setelah memegang kening Alvin.
"Aku nggak papa kok. Cuman pengen tidur meluk kamu."
"Awas dulu ah. Aku pengen bikin minuman hangat sama ambilin kamu obat."
"Aku nggak papa Yang. Kamu temenin aku disini aja."
"Iya iya. Tapi lepasin dulu aku mau ambil obat sebentar."
"Cepet balik ya."
"iya iya." Aya langsung turun dari ranjang setelah Alvin melepaskan pelukannya.
Beberapa saat kemudian Ia kembali dengan teh hangat dan obat untuk Alvin.
"Diminum dulu." Aya membantu suaminya meminum obat.
"Terimakasih."
"Ya."
"Kamu mau kemana?"
"Ke dapur."
"Tega ya kamu. Suami sakit malah di tinggalin."
"Kan aku cuman ke dapur."
"temenin aku." Manja Alvin.
"Iya iya."
Alvin memeluk istrinya erat. Merasakan kenyamanan yang tak ada tandingannya. Beberapa saat kemudian nafas pria itu mulai teratur. Menandakan sudah tertidur pulas. Mungkin karena efek obat yang membuatnya cepat terlelap. Aya melepaskan pelukan suaminya perlahan agar tidak terbangun. Ia beranjak dari ranjang lalu membetulkan selimut suaminya agar hangat.
Kini Aya tengah berada di dapur untuk membuat bubur. Kegiatannya terhenti sejenak memikirkan hidupnya. Ia duduk di salah satu kursi sambil menopang dagunya. Ia punya mimpi seperti remaja pada umumnya. Mempunyai sahabat, melukis cerita mudanya sendiri. Menikmati indahnya masa remaja. Namun harapannya pupus begitu saja. Bisa dibilang Ia begitu tertekan. Semenjak kecil kehidupannya tidak bebas seperti orang pada umumnya. Hidupnya terbatas hanya sebatas sekolah, pulang dan bersama keluarga. Memang keluarga adalah hal yang paling dia sayang. Tapi dia juga perlu merasakan bagaimana menjadi seperti mereka yang bisa bersenang senang di luar sana. Aya kadang memaklumi sikap keluarganya namun kadang juga terbesit pikiran tentang mereka yang begitu membatasi geraknya. Dan kini tiba tiba ia sudah menjadi seorang istri. 'Sudah berakhir' Batinnya membayangkan dirinya harus bertanggung jawab sebagai seorang istri sekarang. Kebebasannya otomatis tidak ada sama sekali. Apalagi Alvin orang yang paling mengekangnya dan kini menjadi suaminya. Memikirkan semua itu membuat kepalanya sedikit berdenyut. Ia pun tersadar dan melanjutkan kegiatannya.
"Sudah bangun?" Tanya Aya sambil memasuki kamar.
"Kamu dari mana Yang? tanya Alvin buru buru membantu istrinya membawa nampan.
"Aku bikinin bubur. Dari tadi kan belum makan."
"Pantesan aku tidur agak gak nyaman."
"Halah..tadi tidurnya pules gitu."
"Iya tapi kalo ga meluk kamu rasanya kurang."
"udah ah. Ini dimakan."
"Suapin."
"Iya."
"Kamu sudah makan?" Tanya Alvin di sela sela makannya.
"Aku masih kenyang banget. Tadi kan kamu suapi buah dan minum susu juga."
"Biar sehat kan harus makan buah sama minum susu."
"Tapi kok susu yang kamu sering buatin beda sama yang dulu ya?"
"Masa sih? sama kok." Jawab Alvin santai tetapi sebenarnya menyembunyikan sesuatu.
"Iya kali. Mungkin lidah aku aja." Kata Aya melanjutkan menyuapi suaminya.
"Yang seminggu lagi rumah kita udah jadi. Kita udah bisa pindah ke sana."
"Iya. Jauh nggak dari sini?"
"Lumayan lah. Rumah itu juga aku atas namakan kamu."
"Kok gitu. Harta kamu habis di aku semua. Aku ga kerja tiba tiba kaya."
"Itu sebagi bukti cinta aku ke kamu."
"Em..Aku pengen ngomong sesuatu."
"Apa?"
"Aku boleh kerja."
"Enggak." jawab Alvin tegas.
"Kamu ga usah kerja. Harta kamu ga bakal habis belasan turunan atau apalah itu. Jadi ga usah bekerja. Cukup jadi istri aku aja. Jangan bekerja. Kamu tau kan di luar sana begitu banyak pria yang menginginkanmu. Mereka bisa melakukan apa saja untuk memilikimu. Termasuk menculik kamu seperti dulu. Dan aku tak akan membiarkan itu." Jelas Alvin panjang lebar sambil memeluk istrinya karna trauma akan kehilangan.
"Baiklah. Aku ga akan kerja."
"Terimakasih sudah mau mengerti." Alvin mencium bibir istrinya.