Safira Maharani hanyalah gadis biasa, tetapi nasib baik membawanya hingga dirinya bisa bekerja di perusahaan ternama dan menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO.
Suatu hari Bastian Arya Winata, sang CEO hendak melangsungkan pernikahan, tetapi mempelai wanita menghilang, lalu meminta Safira sebagai pengantin pengganti untuknya.
Namun keputusan Bastian mendapat penolakan keras dari sang ibunda, tetapi Bastian tidak peduli dan tetap pada keputusannya.
"Dengar ya, wanita kampung dan miskin! Saya tidak akan pernah merestuimu menjadi menantu saya, sampai kapanpun! Kamu itu HANYA SEBATAS ISTRI PENGGANTI, dan kamu tidak akan pernah menjadi ratu di istana putra saya Bastian. Saya pastikan kamu tidak akan merasakan kebahagiaan!" Nyonya Hanum berbisik sambil tersenyum sinis.
Bagaimana kisah selanjutnya, apakah Bastian dan Safira akan hidup bahagia? Bagaimana jika sang pengantin yang sebenarnya datang dan mengambil haknya kembali?
Ikuti kisahnya hanya di sini...!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
...***...
Nyonya Hanum berpura-pura merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya. Matanya menyipit mencari celah kelengahan Bastian, sembari memikirkan ide yang bisa mengalihkan perhatian putranya tersebut.
"Mami... haa-us, Bastian. Bi-bisa minta tolong ambilkan mami air minum?" pinta Nyonya Hanum dengan suara terbata yang dibuat selembut mungkin dengan tatapan memelas.
"Baiklah...!" Bastian langsung bergegas keluar, tetapi kemudian dia berhenti.
"Apa...ada lagi yang Mami butuhkan?" tanyanya sambil melihat ke arah sang ibu.
Tampak Nyonya Hanum menggelengkan kepalanya lemah, seakan tidak memiliki tenaga hanya sekedar untuk berkata.
Bastian pun langsung keluar kamar, seolah tak menaruh prasangka buruk sedikitpun pada Nyonya Hanum yang memang sangat lihai memainkan perannya. Dan begitu Bastian hilang dari pandangannya, beliau langsung tersenyum miring.
Sedangkan Dokter Wira hanya diam memperhatikan interaksi antara ibu dan anak itu, dengan berbagai pertanyaan timbul dalam benaknya.
"Dokter, saya minta tolong kerjasamanya. Tanpa saya katakan pun, Anda pasti sudah tahu apa yang harus Anda lakukan, bukan!" jelas Nyonya Hanum penuh penekanan.
Seolah mengerti maksud Nyonya Hanum, Dokter Wira pun mengangguk dan pastinya akan menuruti apa yang diminta oleh pasiennya. Karena bagaimanapun juga, keluarga Arya Winata adalah salah satu sumber pemasukan terbesarnya yang membuat rekeningnya menggelembung.
"Baiklah, Nyonya. Saya akan katakan sesuai dengan permintaan Anda," jawab Dokter Wira.
"Terima kasih," ujar Nyonya Hanum.
***
Sementara itu, Bastian yang hendak menuju dapur, menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan dan tidak menjumpai Safira istrinya.
"Di mana, Fira? Atau jangan-jangan...? Tidak mungkin...!" Bastian segera menepis pikiran buruknya.
Dia pun lantas membawa langkahnya menapaki tangga menuju lantai atas, seakan lupa dengan tujuan utamanya. Yaitu mengambilkan air minum buat sang mami.
Bastian tiba di kamar, tetapi tidak juga mendapati sang istri. Namun kemudian dia bisa mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi, dan itu artinya Safira sedang mandi.
"Alhamdulillah..." Bastian pun tersenyum lega.
Padahal tadinya Bastian sudah merasa khawatir, jika Safira pergi diam-diam meninggalkannya. Dia lantas mendudukkan dirinya di tepian tempat tidur, memutuskan untuk menunggu Safira selesai mandi.
Bastian sepertinya sudah benar-benar tidak ingat lagi dengan apa yang diminta Nyonya Hanum padanya.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Safira keluar dari kamar mandi dan memakai daster rumahan. Saat ini Safira memang merasa lebih nyaman memakai baju terusan yang longgar.
Bastian mengarahkan pandangannya ke arah Safira dan mengembangkan senyumnya, lalu berdiri dan menghampiri wanita yang telah membuat hati dan pikirannya penuh dengan bayangan sosok tersebut.
Greppp...
Bastian membawa Safira masuk dalam pelukannya dan mendekapnya dengan erat, seperti anak kecil yang takut ditinggalkan oleh ibunya.
"Alhamdulillah, tadinya aku sudah ketakutan. Aku takut kamu meninggalkanku." Bastian menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Safira, menghirup aroma tubuh istrinya yang membuatnya tenang dan nyaman.
"Jangan pernah berpikir untuk meninggalkan aku, Fira! Kumohon...karena aku sangat mencintaimu!" Bastian semakin mengeratkan pelukannya.
Sedangkan Safira sendiri hanya bisa memejamkan mata tanpa membalas ucapan Bastian. Dalam hati ingin rasanya dia menjerit meluapkan perasaan hatinya, tetapi sekali lagi semuanya terbentur kenyataan yang seolah ada dinding penyekat di antara mereka.
Namun beberapa saat kemudian, keduanya telah larut dan tenggelam dalam hangatnya pelukan dan pikiran masing-masing. Udara dalam kamar yang sejuk, seolah suasana mendukung, hingga mereka melanjutkannya dengan saling memberi dan menerima dengan perasaan yang menggelora penuh gairah.
***
Di kamarnya Nyonya Hanum menanti Bastian yang tak kunjung kembali. Sedangkan Dokter Wira akhirnya memutuskan untuk pamit undur diri sebab tugasnya telah selesai.
"Ke mana Bastian? Kenapa dia belum juga kembali dan membawa air minum yang kuminta?" gumamnya dengan pikiran penuh curiga.
"Atau mungkin...?" Nyonya Hanum segera bangkit dari tempat tidurnya, lalu berjalan keluar kamar.
Sebelum keluar beliau memperhatikan sekeliling memastikan tidak ada orang yang melihatnya keluar kamar. Maka dengan langkah hati-hati beliau, berjalan pelan menuju dapur untuk mengambil air minum.
Nyonya Hanum tampak tertegun, saat melihat gelas kosong lengkap dengan penutupnya terletak di atas meja makan.
"Ini kan gelasku yang tadi dibawa keluar oleh Bastian? Ke mana dia...?" Nyonya Hanum menoleh ke arah tangga. Seketika raut wajahnya langsung berubah.
"Ku*rang aj*ar...! Pasti dia ke kamarnya dan menemui perempuan kampung yang miskin itu. Ini tidak bisa dibiarkan!" gumam Nyonya Hanum dengan geram.
Dengan langkah terburu-buru disertai emosi yang membuncah, Nyonya Hanum menapaki tangga menuju ke lantai dua. Namun, karena kurang berhati-hati dan tidak memperhatikan undakan tangga dengan benar, akibatnya beliau pun tergelincir.
"Awwwwhhh... Tolooonggg...!" teriaknya dengan keras, menggema memenuhi ruangan.
Sayangnya Bastian yang sedang sibuk menyelami lautan asmara, tentu saja tidak akan mendengar teriakan Nyonya Hanum, sehingga tidak mungkin dia datang menolong.
Santi dan Rini yang kebetulan menyaksikan kejadian tersebut, langsung datang menghampiri dan berniat untuk memberi pertolongan. Namun kehadiran mereka berdua justru mendapat penolakan dari Nyonya Hanum.
"Pergi kalian...! Aku tidak mau kulitku disentuh oleh tangan kotor kalian!" tolaknya dengan ketus.
"Bastian...! Bastian...!" Nyonya Hanum berteriak lebih keras.
Santi dan Rini yang merasa niat baiknya mendapat penolakan dari Nyonya Hanum segera menyingkir, dan dalam hati mereka bersorak.
"Syukurin...emang enak jatuh! Sudah bagus mau ditolongin malah nolak!" gerutu Santi dengan kesal.
"Sudahlah...biarin saja merasa kesakitan. Toh bukan salah kita ini, salah sendiri nggak mau ditolongin." Rini menarik tangan Santi menjauh dari tempat itu.
"Udah tuwir, tapi masih saja keras kepala. Hahhh...kapan tobatnya itu, si nenek lampir!" Santi masih saja nyinyir dengan kesal.
"Bastian...! Bastian...! Tolongin mami...Bastian!" Nyonya Hanum kembali berteriak dengan kencang memanggil sang putra, tetapi hanya sia-sia.
"Panggil saja terus! Wong, Tuan Muda lagi kelon kok, diteriakin. Mana dengar coba...aneh!" cibir Rini, lalu keduanya terkekeh seraya menutup mulutnya.
"Ada apa dengan kalian, mengapa bisik-bisik sambil terkekeh begitu?" tanya Mbok Rum yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Noh... lihat, Mbok! Kanjeng Mami lagi latihan salto di tangga!" tunjuk Santi ke arah Nyonya Hanum yang tampak duduk di lantai di ujung tangga bawah.
"Astaghfirullah... Nyonya...!" pekik Mbok Rum dan bergegas menghampiri Nyonya Hanum.
***
Bersambung