Kana Bintang Artana.
Laki-laki dingin yang mampu membuat hati siapapun menjerit melihatnya.
Bukan karena seram. Tetapi karena ketampanannya yang dapat membuat para gadis jatuh cinta padanya.
Begitupun Kaila. Gadis pemalu yang ikut andil menyukainya. Namun rasa sukanya memudar saat mengetahui betapa menyebalkannya seorang Kana.
Dan tanpa Kaila sadari, perlahan namun pasti, Kana mulai menunjukkan rasa sukanya pada Kaila.
Akankah keduanya berakhir bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Prepti ayu maharani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33
Part 33
"Pagi, Ma!" teriak Bima yang baru saja keluar dari kamar dan berjalan menghampiri Mamanya yang tengah menyiapkan sarapan.
Nabila tersenyum dan memeluk anaknya tersebut. Meskipun Bima adalah anak tirinya, Nabila menyayangi Bima layaknya anak kandungnya sendiri.
"Mama masak apa pagi ini?" Bima mengedarkan pandangannya ke atas meja. "Opor kambing?!" seru Bima melihat menu favoritnya tersebut.
"Kak, Kiara juga sekarang suka opor kambing loh!" seru Kiara.
Bima melebarkan matanya. "Apa iya?"
Kiara mengangguk.
"Yah, kalau gitu, Kakak gak bisa makan banyak dong?" ucap Bima membuat Kiara tertawa.
Nabila terkekeh. "Kemarin waktu belanja, Mama lihat daging kambing seger banget. Eh Mama langsung keinget kamu."
Bima tersenyum. "Makasih ya Ma?"
Nabila mengangguk dan menatap putranya dengan senyuman.
"Bima mau makan deh Ma." Bima duduk di kursi dan meraih piring kosong.
"Kamu gak mau nungguin Papa kamu?" tanya Nabila lirih.
Bima menggeleng dengan raut wajah yang berubah dingin.
Nabila menoleh pada Kiara. "Kiara, kamu ke dalam dulu ya? Mama mau bicara sama Kakakmu."
Kiara mengangguk. "Iya, Ma."
Nabila tersenyum tipis dan duduk di hadapan Bima. "Bima, Mama tahu kamu marah sama kamu. Tapi, sampai kapan kamu kaya gini, sayang?"
Bima menghela napas. "Bima bukan sekedar marah, Ma. Bima benci! Bima benci sama laki-laki itu. Karena dia, Bima harus kehilangan Mama Bina."
"Iya, sayang. Mama tahu. Tapi mau bagaimana pun beliau Papa kamu."
Bima tersenyum miring. "Mama juga sebenarnya benci sama dia 'kan?" ucap laki-laki itu dengan wajah serius.
Nabila diam. Anak itu bahkan tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.
Bima tersenyum dan meraih tangan Nabila. "Ayo, Ma. Ayo kita pergi dari sini. Mama capek 'kan di sakitin terus sama dia? Sampai kapan Mama nutupin semua ini dari Bima dan Kiara, Ma?"
Nabila diam. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Ma, Bima gak tahu alasan Mama mau menikah sama dia. Tapi Bima yakin, Mama menikah sama dia bukan karena rasa cinta 'kan? Mama gak cinta 'kan sama dia?"
Nabila menghela napas panjang. Dadanya terasa begitu sesak. Ingatannya pada belasan tahun silam kembali terngiang.
"Ma, Mama jujur sama Bima."
Nabila tersenyum. Ia menggeleng dan mengusap tangan Bima. "Kamu salah, sayang. Mama mau menikah sama Papamu karena Mama sayang sama dia."
Bima tersenyum miring. "Bahkan saat seperti ini pun, Mama masih bisa bohongin Bima. Ma, Bima tahu Mama gak tahan lagi. Ayolah Ma, kita pergi dari sini. Kita tinggal di tempat baru. Kita jalanin kehidupan baru, dengan Bima dan Kiara, anak Mama."
"MAKSUD KAMU APA?!"
Bima menghentikan ucapannya saat terdengar suara Hendry.
Nabila ikut menoleh ke sumber suara. Wajahnya memerah saat Hendry berjalan menghampiri keduanya dengan sorotan mata yang tajam.
Bima menghela napas dan bangkit dari duduknya. "Ma, Bima berangkat sekolah dulu. Kalau ada apa-apa, telpon Bima," lirihnya dan berjalan pergi.
"BIMA!" teriak Hendry. Namun suara laki-laki itu tak di dengar oleh anak sulungnya.
Nabila menunduk saat suaminya berada di dekatnya dengan raut wajah marah.
"Aku ke kamar Kiara dulu," lirih Nabila dan berjalan menuju kamar putrinya.
-o0o-
Bima mengepalkan tangannya. Ia benar-benar benci dengan Ayahnya tersebut.
Siapa sangka, keluarga tersohor itu ternyata tak sesuai dengan orang luar sana pikirkan.
Semua orang mengira bahwa keluarga Aksana adalah keluarga yang harmonis, tentram, dan menjadi panutan bagi keluarga lain. Nyatanya, semua itu tak seperti yang mereka pikirkan.
Bima Aksana, yang merupakan anak pertama Hendry pun sudah muak dengan semuanya. Ia bahkan merasa menyesal telah dilahirkan dengan seorang Ayah yang begitu jahat pada Ibu kandung maupun Ibu tirinya.
"Sampai kapanpun, dia gak akan jadi Ayah dan suami yang becus." Bima menatap mobil hitam milik Ayahnya dengan tatapan kesal.
-o0o-
Kaila turun dari mobil Naira dan berlari mengejar Elsa yang sudah terlebih dulu sampai di gerbang sekolah.
"Elsa!" teriak Kaila membuat gadis yang ia panggil menghentikan langkah.
Elsa tersenyum dan menunggu Kaila sampai di sampingnya. "Tumben gak bareng Kana?"
Kaila mengangguk. "Kana gak masuk hari ini."
"Kenapa?"
"Tadi subuh dia ngabarin kalau lagi gak enak badan. Kayanya karena kehujanan waktu pulang ujian kemarin."
"Kasihan banget. Tapi hari ini dia gak ada jadwal ujian 'kan?" tanya Elsa.
Kaila menggeleng. "Jadwal ujian dia besok sama lusa."
Ya, ujian yang saat ini tengah mereka hadapi di bagi beberapa ronde. Tidak semuanya melaksanakan ujian di hari yang sama. Mereka sendiri tak tahu dengan peraturan yang berlaku tahun ini. Yang jelas, dapat mengerjakan ujian dengan lancar adalah harapan utama mereka.
"Terus lo nanti jengukin dia 'kan?" tanya Elsa.
Kaila tampak berpikir. "Pengen. Cuma, gue malu mau ke sana sendiri. Lo temenin gue mau gak?" tanya Kaila dengan senyum memohon.
Elsa berdecak. "Sorry banget, Kai. Tapi pulang sekolah nanti gue harus urus pendaftaran kuliah gue."
Kaila tersenyum. "Yaudah deh, gak papa."
"Maaf ya?" ucapnya tak enak.
Kaila mengangguk. "Iya."
"Ya udah yuk, ke kelas."
'Tin! Tin! Tin! Tin!'
Kaila dan Elsa segera meminggir saat sebuah motor mengklakson keduanya.
"Siapa sih? Perasaan jalan masih lebar," gerutu Elsa.
Kaila terkekeh melihat sahabatnya menggerutu kesal.
"Kaila! Elsa!"
Kaila dan Elsa menoleh ke arah parkiran saat seseorang memanggil keduanya.
Elsa membuka mulut lebar saat mengetahui pengendara motor tadi adalah Bima.
"Jadi lo yang ngelakson gak jelas tadi?" ucap Elsa kesal.
Bima tertawa. "Yee, gitu aja marah. Liat noh, Kaila. Marah aja kagak."
Elsa berdecak. "Lo nyamain gue sama Kaila, ya beda lah. Kaila, Kaila. Gue, gue."
Bima memutar bola matanya. "Dasar, ribet."
"Dih, kok malah ngatain gue!" ucap Elsa kesal.
Bima memutar bola matanya lalu menoleh pada Kaila. "Lo gak mau marah-marah juga kaya temen lo ini?"
Kaila tersenyum.
"Nah, 'kan. Malah senyum. Mana manis banget lagi," ucap Bima memandang lekat gadis di hadapannya.
Kaila berdecak dan menatap ke arah lain. "Udah ah, ayo ke kelas."
"'Kan kita beda kelas, Beb."
"Bab beb bab beb, memangnya gue bebek?" ucap Kaila membuat Bima tertawa. "Dih, malah ketawa!" decak Kaila.
Bima tersenyum. "Akhirnya macam betina gue bangun."
Kaila melebarkan mata. "Tadi lo ngatain gue Bebek, sekarang Macam. Mau lo apa Bima?!" pekik Kaila seraya mencubit pinggang laki-laki di hadapannya.
"Aw! Aw! Ampun, Kai, ampun!" seru Bima dengan meringis kesakitan.
Elsa tertawa. "Makanya Bima. Kaila diem, malah di pancing."
Kaila tersenyum miring dan berjalan meninggalkan keduanya.
Melihat Kaila pergi, Bima pun mengikutinya.
"Heh!" Elsa menahan tangan Bima membuat laki-laki itu gagal mengikuti Kaila.
"Apa lagi?"
"Mana katanya lo mau traktir gue sama Ajeng?" ucap Elsa to the point.
Bima memutar bola matanya. "Lo aja gak becus kedeketin gue sama Kaila."
"Gak becus apanya?" Elsa melebarkan mata.
"Buktinya Kaila malah semakin deket sama Kana."
"Ya karena—"
"Karena apa?" tanya Bima dengan mata melebar.
Elsa berdecak. "Ya mungkin aja Kana lebih menggoda dari lo. Makanya Kaila lebih seneng deket sama Kana daripada sama lo."
Bima menghela napas. Ia harus bersabar mendengar ucapan gadis itu.
"Gini deh, selama ini lo gak punya kesempatan 'kan buat nganterin Kaila pulang atau nemenin dia ke suatu tempat?" tanya Elsa.
Bima menggeleng.
"Nah, cakep! Hari ini adalah kesempatan lo buat nganterin dan nemenin dia."
Bima tersenyum lebar. "Seriusan? Nemenin kemana?" tanya Bima dengan senang hati.
Elsa tersenyum. "Nemenin dia jenguk Kana," ucap gadis itu dengan senyuman dan berlari pergi.
Bima menyentuh dadanya sendiri. "Sabar, Bim. Elsa memang kerjaannya bikin lo emosi. Sabar, sabar."
-o0o-
"Kana, makan ya?" pinta Alina yang berjalan menghampiri anaknya dengan nampan berisikan sepiring bubur dan segelas susu.
Kana yang masih bersembunyi dalam selimut tak merespon.
"Kana, sayang," lirih Alina dan membuka selimut yang menutupi tubuh putranya.
Kana terlihat menggigil dengan wajah yang begitu pucat.
"Astaga, panas banget!" seru Alina setelah menyentuh dahi putranya. "Kana, bangun, nak."
Kana tak merespon, ia masih terlihat menggigil.
Alina terlihat begitu panik. "Sayang! Kavin!" serunya pada suaminya tersebut.
"Iya, kenapa Yang?" tanya Kavin yang sudah berada di ambang pintu.
"Lihat, Kana badannya panas banget," ucap Alina panik.
Kavin berjalan menghampiri dan menyentuh dahi putranya. "Oh iya, panas. Ayo bawa dia ke rumah sakit aja."
"Hmm," Kana mengguman seraya menggeleng.
Alina berjongkok dan memandang putranya. "Iya, kenapa sayang? Kamu mau apa?"
Kana tak merespon. Ia menarik selimut dan menutupi hingga sampai leher.
"Kita ke rumah sakit ya?" ucap Kavin.
"Hmm." Kana menggeleng.
"Yaudah, Mama telpon dokter aja ya?" ujar Alina.
Kana menggeleng.
"Badan kamu panas, nak. Kamu harus di periksa dokter," ucap Kavin.
Kana menggeleng. "Kaila aja," ucap Kana dengan keadaan menggigil.
Alina melebarkan mata. Ia menghela napas dan menatap lekat putranya. "Kaila bukan Dokter. Kaila gak bisa nyembuhin kamu, sayang."
"Kana mau Kaila!" gumam Kana membuat kedua orangtuanya saling memandang.
"Iya, iya, Mama janji suruh Kaila kesini."
Kana mengangguk dengan keadaan menggigil.
"Gimana?" tanya Kavin.
Alina diam. Sebenarnya, setelah ia menyangka jika Kaila adalah anak dari Nabila, ia sudah malas untuk mendekatkan putranya dengan gadis itu.
Meskipun Alina hendak melupakan masa lalu itu, namun ia tidak bisa. Hatinya tidak rela jika harus membiarkan putranya bersama anak dari mantan kekasih suaminya sendiri.
"Yang, gimana?" lirih Kavin.
Alina mendekat. "Telpon Dokter abis itu telpon Kaila."
"Aku gak punya nomor Kaila."
"Ini, Pa!" seru Kana menyerahkan ponselnya.
Alina dan Kavin menoleh.
"Kamu gak menggigil lagi?" tanya Alina.
Kana tersenyum. "Kaila obatnya."
Kavin dan Alina saling menatap.
"Bucin banget anak kamu," lirih Alina dan berjalan keluar.
-o0o-
tapi Lo biarin dia, ngizinin dia.
tolol.
seharusnya Kaila tegas dgn perasaannya kalau ga suka bilang jgn PHP anak org kan pada ujungnya sakitkan kayak Adinda dong tegas dia langsung blg ke Aji dia ga bisa