Kecurigaan Agnes kepada suaminya di hari ulangtahun pernikahannya yang ke enam, membuatnya bertemu dengan pemuda tampan berbadan atletis di ranjang yang sama. Siapakah pemuda itu? Lalu apa kesalahan yang sudah diperbuat oleh suaminya Agnes sehingga Agnes menaruh kecurigaan? Di kala kita menemukan pasangan yang ideal dan pernikahan yang sempurna hanyalah fatamorgana belaka, apa yang akan kita lakukan? Apakah cinta mampu membuat fatamorgana itu menjadi nyata? Ataukah cinta justru membuka mata selebar-lebarnya dan mengikhlaskan fatamorgana itu pelan-pelan menguap bersamaan dengan helaan napas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lizbethsusanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersenyum Lega
Amos akhirnya mengalah dan memeluk ibunya sambil mengusap punggung ibunya yang bergetar karena isak tangis.
"Papa kamu tidak bersalah, Amos. Kamu tahu itu, kan? Broto yang sudah menjebak dan membunuh Papa kamu. Ananta juga. Kamu harus bersihkan nama Papa kamu, Amos! Mama mohon padamu jangan pedulikan semua keturunannya Broto"
Amos hanya mengusap punggung ibunya dan diam membisu dengan geraham yang mengeras.
Saat Amos membersihkan pecahan gelas, Agnes sedang kebingungan mencari tempat tinggal karena rumah suaminya disegel oleh pemerintah dan tidak boleh dimasuki. Rumah orangtuanya pun sama ada segel kuningnya.
Agnes menoleh ke Archie yang sedang asyik makan kue kering pemberiannya Aurora. Agnes mencengkeram kemudi mobilnya dan mengeraskan geraham karena frustasi. Jika ia tidak memiliki Archie, mungkin dia sudah gila dan memilih bunuh diri. Dia psikolog tapi saat ini dia membutuhkan seorang psikolog.
Nadya sahabatnya sudah mendorong dirinya menjauh karena suaminya yang sudah menculik dan hendak menjual adiknya Nadya. Ia sudah tidak bisa lagi berkeluh kesah dan meminta pertolongan kepada Nadya. Agnes kebingungan karena ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Papanya yang tersisa tapi papanya menghilang dan tidak bisa ia harapkan.
"Ma, kue dan roti bikinannya Oma Ratna enak banget lho. Mama nggak mau makan satu?" Archie mengulurkan kue kering lidah kucing ke Agnes. Agnes mengerjap kaget dan bergegas menggelengkan kepala dengan senyum yang ia paksakan.
"Baiklah. Archie makan semuanya ya, ma?"
Agnes memaksanya diri untuk bisa tersenyum lebih lebar di depan anaknya dan mengusap kepala Archie dengan perasaan yang campur aduk.
"Nanti kalau Archie mau makan kue ini lagi, kita ke kafenya Oma Ratna, ya, ma. Archie sayang banget sama Oma Ratna dan Tante Rora"
Agnes mengangguk dan sebelum ia meneteskan airmata di depan Archie, ia menarik Archie ke dalam pelukannya dan menahan diri untuk tidak gemetar di dalam isak tangis.
Agnes melepaskan pelukannya saat ia mendengar ketukan di jendela kaca mobilnya. Perempuan itu memutar badan untuk membuka kaca jendela mobilnya.
"Ada apa pak?" Tanya Agnes.
"Anda Agnes Gunawan Howard?" Tanya pria berjas hitam dan bertampang dingin di depan Agnes.
"Iya benar, itu saya"
Pria itu mengeluarkan tanda pengenal dan berkata, "Kami dari kepolisian, Sat-Intelkam. Anda harus ikut kami ke markas kami terkait penyelidikan atas tiga kasus yang menyangkut suami, mama Anda, dan papa Anda"
Agnes menghela napas panjang lalu menganggukkan kepala. Ia kemudian melangkah ke mobil kepolisian sambil menggandeng tangan Archie.
Beberapa jam kemudian, Agnes diinterogasi sementara Archie dibawa ke ruangan khusus dengan didampingi seorang psikolog wanita. Archie berkata ke psikolog wanita itu, "Apakah saya boleh menelepon seseorang saat ini?"
"Mau menelepon siapa?"
"Teman. Saya butuh teman"
"Saya akan menjadi teman kamu"
"Anda terlalu tua untuk menjadi teman saya" Gumam Archie sambil menundukkan kepala.
"Apa yang kamu gumamkan Archie?"
Archie mengangkat perlahan wajah tampannya lalu berkata, "Saya tadi menguap, maaf, emm, apakah Anda mengerti tentang permainan catur karena saya tidak menyukai menggambar dan aktivitas anak TK seperti ini" Archie menunjuk aneka macam mainan anak-anak untuk tiga tahun ke atas yang ada di atas meja kecil dengan kerucut di bibirnya.
"Saya bisa bermain catur"
"Saya tidak butuh teman yang bisa bermain catur. Saya butuh teman yang mengerti tentang permainan catur. Apakah Anda mengerti tentang tempatkan pion dan bidak Anda di petak tengah d4, e4, d5, e5 agar lebih aktif dan memiliki ruang gerak?"
Psikolog wanita itu menggaruk pelipisnya dan menggelengkan kepala.
"Jadi saya butuh teman. Saya akan menelepon teman saya untuk saya ajak bermain catur di sini"
Psikolog wanita itu tampak ragu dan Archie bergegas mengeluarkan kata, "Atau saya akan keluar dan mengobrol dengan salah satu polisi di sini. Saya suka membicarakan strategi dan......."
"Oke, baiklah. Kamu bisa menelepon teman kamu"
"Privasi?" Archie memamerkan senyum tampannya.
"Oh, oke, saya akan keluar. Lima menit, oke?" Psikolog itu berdiri setelah mengusap lembut pundak Archie.
Archie menganggukkan kepala masih dengan senyum yang mengembang di wajah tampannya.
Archie langsung mengambil ponsel dari dalam tas mamanya yang dititipkan padanya lalu ia bergegas menelepon Amos.
"Halo?"
"Om, Rumah Oma dan Papa dipasangi police line terus mama ada di kantor polisi sekarang. Dari rumah Oma melewati empat traffic light menuju ke timur lalu di traffic light terakhir belok kanan terus melewati tiga perempatan lalu belok kiri terus melewati lima rumah besar. Kantor polisinya di sebelah kiri jalan. Cukup besar dan kantor pusat kata para bapak polisi tadi. Sat-Intelkam, Intelejen dan Keamanan"
"Siap, makasih Archie and good job. Om Amos ke sana sekarang juga"
Archie tersenyum saat ia memasukkan ponsel ke dalam tas mamanya.
"Sebentar? Seingatku Agnes tidak menyimpan nomer ponselku, kan? Kalau begitu, daya ingat Archie kuat juga, ya, bisa mengingat nomer ponselku" Amos tersenyum bangga saat ia membayangkan Archie. "Padahal dia selalu tampak cuek tapi otaknya menyerap semua hal di sekitarnya dengan sempurna. Emang cerdas banget itu anak, ya. Agnes beruntung memiliki Archie" Gumam Amos sambil menekan lebih dalam pedal gas mobil jeepnya.
Sementara itu, setelah pintu menutup rapat terdengar suara, "Kenapa kamu keluar?" Tegur petugas kepolisian yang berjaga di depan pintu ruang khusus itu.
"Dia anak jenius. Butuh teman untuk berbincang tentang catur dan aku kurang paham tentang catur. Jadi aku kasih dia waktu lima menit untuk menelpon temannya dan mengajak temannya ke sini"
"Apa kau pikir ada anak jenius seumuran dia?"
"Ada. Aku yakin ada karena gizi di negara kita sudah terpenuhi dengan adanya program gizi dari pemerintah, kan?"
Petugas kepolisian itu mendengus kesal ke psikolog wanita yang kebetulan teman sekolahnya dulu. "Lalu, apa kau pikir orangtua dari temannya anak itu mau mengantarkan anaknya ke sini hanya untuk sekedar menemani anak itu bermain catur?"
Psikolog wanita itu menutup bibirnya yang ternganga lalu ia berkata, "Kamu benar" Plak! Tangan psikolog wanita itu memukul jidatnya sendiri sambil berkata, "Kenapa aku bisa sebodoh ini? Apa karena aku terpesona akan ketampanannya Archie, ya?"
"Tzk! Bodoh ya bodoh aja nggak perlu nyari alasan" Petugas kepolisan itu mendengus kesal lalu berbalik badan dengan cepat untuk membuka pintu lalu melangkah masuk dan langsung disusul oleh psikolog wanita itu.
Petugas kepolisian dan psikolog wanita itu mengerjap kaget saat mereka melihat Archie sedang bermain catur sendirian.
"Kan, kamu lihat sendiri. Dia tidak melarikan diri dan tidak melakukan hal yang aneh. Meskipun dia anak jenius dia tetaplah anak-anak" Bisik psikolog wanita itu ke petugas kepolisian.
"Oke, aku salah. Kamu lanjutkan tugas kamu dan aku akan lanjutkan berjaga di depan"
Psikolog wanita itu duduk di depan Archie lalu bertanya, "Apakah teman kamu akan diantarkan sama mamanya ke sini untuk menemani kamu bermain catur?"
"Teman saya bisa ke sini sendiri tanpa mamanya karena teman saya sudah gede"
"Oh, baiklah. Lalu, kita bermain apa sambil menunggu teman kamu?"
Archie mengangkat wajahnya untuk menatap psikolog wanita yang sedang tersenyum di depannya. "Anda bisa bermain catur?"
"Bisa tapi tidak jago"
"Kalau begitu, apa permainan yang Anda kuasai?"
"Oh, oke, mau bermain monopoli?"
Archie tersenyum.
"Emm, baiklah kita bermain monopoli sambil menunggu teman kamu"
Beberapa menit kemudian, Amos membuka pintu ruangan interogasi dan langsung menyemburkan, "Berani benar kalian menginterogasi dia tanpa pengacara?"
Semua mata sontak menoleh ke pintu dan Agnes tampak tersenyum lega melihat wajah Amos.
Amos menatap lekat wajah Agnes saat ia melangkah masuk setelah ia menutup pintu ruangan interogasi. Di belakang Amos ada seorang pria dengan setelan jas mahal melangkah pelan mengikuti Amos. Amos duduk di sebelahnya Agnes untuk berbisik, "Aku bawa pengacara yang aku percayai untukmu"
Agnes balas berbisik, "Aku hanya butuh kamu"
Blush! Kedua pipi Amos sontak merona merah.