NovelToon NovelToon
Dunia Yang Indah

Dunia Yang Indah

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Spiritual / Persahabatan / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Makan Di Restoran

Setelah keluar dari gedung pelelangan yang masih gemerlap, udara malam Kota Lama menyergap mereka dengan keheningan yang kontras. Langit telah berubah menjadi kanvas hitam pekat yang dihiasi bintang-bintang berkelip. Suasana jalanan masih ramai oleh para pengunjung pelelangan yang baru saja bubar, namun keriuhan itu seolah tertahan oleh selimut gelap. Lampu-lampu minyak dan lentera ajaib di sepanjang jalan menciptakan pulau-pulau cahaya kuning yang hangat.

Lanxi berjalan dengan langkah pelan dan tenang di depan, pedang 'Bunga Salju' yang dibungkus kain tersampir di punggungnya memancarkan aura dingin yang samar. Shanmu mengikuti dari belakang, menjaga jarak yang sopan. Ia memperhatikan postur Lanxi yang tampak lebih ringan, lebih rileks.

"Dia pasti sangat bahagia," pikir Shanmu dengan polos. "Aku tidak boleh mengganggunya dengan pertanyaan bodoh."

Namun, pikirannya sendiri tidak bisa tenang. Gambar wajah Tuan Ling Sha, istrinya yang anggun, dan terutama anak lelaki jenius itu terus mengusik benaknya. Sebuah rasa familiar yang mengganggu, seperti mengingat mimpi yang hampir terlupakan, atau mengenali sebuah lagu yang nadanya hanya terdengar samar-samar. Kenapa aku merasa seperti pernah melihat mereka? Apa ada yang salah dengan pikiranku? Atau mungkin... hanya khayalan karena kagum? Ia menggeleng sendiri, berusaha mengusir perasaan aneh itu.

"Shanmu... Shanmu." Suara Lanxi yang jernih memecah lamunannya untuk kesekian kalinya hari itu.

Shanmu tersentak, seperti anak ketahuan melamun di kelas. "Ya, Lanxi?"

"Kau dari tadi diam saja. Ada apa? Apakah lelah?" tanya Lanxi, menoleh sedikit dengan ekspresi penuh perhatian.

"Tidak, tidak apa-apa," jawab Shanmu cepat, segera memasang senyum polosnya yang biasa. "Aku hanya... terkesan dengan pelelangan tadi."

Lanxi memandangnya sejenak, sepertinya tidak sepenuhnya percaya, tetapi memilih untuk tidak menekan. "Kalau begitu, ayo kita makan malam bersama sebelum kembali. Ini tidak termasuk dalam upah sepuluh koin emas untuk menemani aku tadi," ucapnya dengan senyum.

Shanmu mengangguk setuju. Perutnya memang sudah keroncongan setelah seharian penuh emosi dan hanya mengandalkan bekal makan siang.

Lanxi kemudian memimpin jalan, menyusuri jalanan yang mulai sepi. Ia membawa Shanmu ke sebuah bangunan bertingkat dua yang tampak elegan namun tidak semewah gedung pelelangan. Papan namanya bertuliskan "Restoran Pagi Sore" dengan huruf kaligrafi yang indah. Begitu masuk, aroma rempah-rempah dan daging panggang yang nikmat langsung menyambut.

Tanpa ragu, Lanxi menaiki tangga menuju lantai dua. Area di sini lebih tenang, dengan beberapa meja kayu gelap dan kursi berlapis kain. Lanxi memilih sebuah meja di dekat jendela besar yang menghadap ke jalan utama, menawarkan pemandangan kota malam yang indah dengan lampu-lampu yang berbaris seperti kunang-kunang.

Tak lama setelah mereka duduk, seorang pelayan wanita dengan seragam rapi mendekat dengan senyum ramah. "Apa yang bisa saya pesankan untuk Tuan dan Nyonya?"

Lanxi menoleh ke Shanmu. "Silakan pilih, Shanmu. Apa yang kau mau."

Shanmu, dengan sikapnya yang selalu praktis, langsung menjawab, "Apapun itu, yang termurah saja. Makanan biasa untuk orang biasa." Ia ingat kata-kata paman gong tentang sup spiritual yang mahal, dan ia tidak ingin memanfaatkan kebaikan Lanxi.

Lanxi mengernyitkan dahinya yang halus. "Kenapa harus yang termurah? Jika kau mau, kau bisa memesan daging spiritual, teh spiritual, bahkan sup spiritual. Aku yang akan membayarnya. Anggap saja sebagai tambahan terima kasih."

Shanmu menggeleng dengan tegas, meski dengan sikap hormat. "Tidak, Lanxi. Makanan spiritual... itu adalah keinginanku sendiri. Keinginan yang ingin kuraih dengan uang hasil kerjaku sendiri. Aku tidak bisa menerima hadiah semahal itu. Itu... tidak pantas."

Jawaban yang lugu dan penuh prinsip itu membuat Lanxi terdiam. Lalu, sebuah senyum lembut yang tulus, berbeda dari senyum-senyumnya sebelumnya, muncul di bibirnya. "Restoran Pagi Sore ini terkenal karena masakan khas kultivatornya yang sedikit lebih terjangkau namun berkualitas tinggi dibanding tempat lain. Tapi jika itu pilihanmu, aku menghormatinya."

Shanmu tetap pada pendiriannya. Ia memesan semangkuk mi kuah dengan potongan daging ayam biasa dan sayuran. Lanxi memesan sepiring nasi dengan lauk ikan kukus bumbu jahe dan secangkir teh spiritual ringan untuk dirinya sendiri.

Setelah pelayan pergi, Shanmu merasa perlu meminta maaf. "Maaf, Lanxi, jika aku keras kepala."

Lanxi menggeleng, matanya yang indah memancarkan apresiasi. "Tidak perlu minta maaf. Kau berhak menentukan pilihanmu. Dan menurutku, itu adalah hal yang benar. Itu menunjukkan prinsip dan harga dirimu."

Mereka kemudian duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati pemandangan kota di luar jendela. Lampu-lampu dari rumah-rumah dan kedai membentuk mozaik keemasan di bawah langit malam. Suara riuh dari jalanan naik samar-samar, menjadi latar yang hidup.

Tak lama, makanan mereka datang. Shanmu makan dengan perlahan dan penuh perhatian, berusaha mengingat setiap etika makan yang pernah ia lihat dari Paman Gong. Ia tidak ingin mempermalukan diri sendiri atau Lanxi. Sementara itu, lantai dua restoran mulai ramai oleh para kultivator yang baru selesai dari pelelangan. Suara obrolan, tawa, dan terutama keluhan mulai memenuhi udara.

"...benar-benar dominasi mutlak! Hampir semua artefak tingkat tinggi, manual teknik langka, dan pil penerobosan dia yang menang!"

"Ya,siapa yang berani melawan Klan Ling? Selain kekayaannya yang hampir tak terbatas, mereka juga punya pengaruh politik yang sangat besar."

"Setidaknya pedang Bunga Salju tidak jatuh ke tangannya.Kudengar seorang wanita misterius yang memenangkannya."

"Pedang itu memang cocok untuk kultivator elemen air.Tapi enam puluh ribu koin emas... sungguh gila."

Shanmu mendengar semua itu dengan satu telinga, tetapi ia tetap fokus pada makanannya dan pada Lanxi di seberangnya. Ia tidak ingin terlihat seperti menguping.

Setelah mereka selesai, Lanxi memanggil pelayan dan membayar seluruh tagihan dengan selembar surat berharga dari kantongnya. Kemudian, mereka keluar dari restoran yang nyaman itu.

"Shanmu," ucap Lanxi saat mereka sudah berada di jalanan yang lebih sepi. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat di utara kota. Maukah kau menemaniku sebentar lagi?"

Shanmu, yang belum pernah benar-benar mengeksplorasi Kota Lama kecuali rute antara penginapan dan sekte, mengangguk dengan patuh. "Tentu, Lanxi."

Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong kecil yang diterangi oleh lentera jarang. Suasana menjadi lebih intim, lebih pribadi. Dalam keheningan itu, Lanxi mulai bercerita, suaranya lembut seperti angin malam.

"Aku sangat menginginkan pedang Bunga Salju itu," mulainya, matanya menerawang seolah melihat ke masa depan. "Bukan hanya karena kekuatannya atau nilainya. Aku mencari sebuah pedang yang bisa menemani perjalanan kultivasiku hingga ke puncak. Konon, menurut legenda yang kudengar, pedang ini telah melewati banyak pertempuran besar di zaman kuno, menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan, namun tetap setia pada pemiliknya yang layak. Aku ingin pedang itu menjadi saksi dan teman dalam perjalananku."

Shanmu mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya berdebar kencang. Cerita tentang kultivator, pertempuran epik, dan kesetiaan senjata selalu memicu semangat dan kekagumannya yang mendalam. Dunia itu terasa begitu jauh, namun melalui kata-kata Lanxi, ia seolah bisa menyentuhnya.

Lanxi kemudian menatap Shanmu. Sebenarnya, ia ingin membicarakan sesuatu yang lebih personal di dalam restoran, tetapi ia menahannya karena takut membuat Shanmu malu atau tersinggung di depan umum. Namun, rasa penasarannya sudah mencapai puncak.

Sejak pertama kali melihat Shanmu di ruang administrasi, ia telah merasakan sesuatu yang aneh. Aura Shanmu... hampir tidak ada. Bukan seperti kultivator yang menyembunyikan kekuatan, tetapi benar-benar kosong, seperti batu biasa di tengah taman batu permata.

Ia menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara yang berusaha netral, "Shanmu, boleh aku bertanya sesuatu yang mungkin agak pribadi?"

Shanmu mengangguk, dengan senyuman cerah khas Shanmu. "Tentu, Lanxi."

"Apakah... apakah sejak kecil kau sudah tahu kalau kau tidak bisa ber-kultivasi? Atau... pernahkah terjadi kecelakaan atau sesuatu yang membuatmu kehilangan kemampuan itu?"

Pertanyaan itu membuat Shanmu terkejut sejenak. Lalu, dengan polosnya, ia menjawab jujur. "Aku sendiri baru tahu kalau aku tidak bisa ber-kultivasi beberapa hari yang lalu, dari seorang pedagang yang membawaku ke kota ini."

Beberapa hari yang lalu? Lanxi terkesiap. Itu mustahil. Bagaimana mungkin seseorang hidup sampai usia remaja tanpa mengetahui hal mendasar seperti itu?

Karena rasa penasaran begitu menyeruak, Lanxi pun langsung bertanya tanpa ragu lagi.

"Sebelumnya... di mana kau tinggal? Bagaimana bisa kau baru tahu beberapa hari yang lalu?"

Maka, dengan jujur dan tanpa beban, Shanmu mulai bercerita. Ia menceritakan tentang Dusun Sunyi yang terpencil dan damai, dikelilingi gunung dan hutan, di mana kata 'kultivator' hanyalah dongeng pengantar tidur dari Kepala Desa. Ia menceritakan tentang kepergian orang tuanya, tentang kehidupan kerasnya sebagai anak yatim, tentang pembantaian desanya, dan tentang pengembaraan satu tahun penuh melintasi hutan belantara tanpa arah yang jelas, hanya bertahan hidup hari demi hari. Ia bercerita tentang bagaimana ia akhirnya tiba di desa pertama yang kejam, kemudian di kota ini, dan baru kemudian mengetahui tentang dunia kultivasi dan nasibnya yang tidak memilikinya.

Cerita itu sederhana, disampaikan dengan datar, namun setiap kata mengandung beban penderitaan, ketekunan, dan kepolosan yang menyentuh. Lanxi mendengarkan dengan mulut sedikit terbuka. Hatinya berdesir. Dia... dia datang dari tempat yang begitu terisolasi? Dia melewati semua itu sendirian?

Setelah Shanmu selesai, Lanxi merasa seperti telah menyelam ke dalam sebuah kisah hidup yang sama sekali berbeda dari dunianya yang penuh dengan kompetisi, politik sekte, dan latihan keras. Rasa penasarannya terjawab, tetapi digantikan oleh rasa hormat yang dalam dan sedikit... kesedihan.

"Maaf, Shanmu," ucapnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Aku terlalu gegabah menanyakan hal itu. Aku tidak menyangka..."

Shanmu hanya tertawa pelan, cahaya lampu jalan memantul di matanya yang jernih. "Tidak apa-apa, Lanxi. Itu hal yang biasa. Tidak perlu minta maaf. Itu hanya cerita hidupku."

Hanya cerita hidupku. Kata-kata sederhana itu membuat Lanxi terdiam. Di tengah kebingungan hatinya, mereka ternyata telah sampai di tujuan.

Di depan mereka terbentang sebuah danau kecil yang tenang, permukaannya memantulkan cahaya bulan dan bintang-bintang dengan sempurna, seperti cermin raksasa. Di atas danau itu, berpuluh-puluh perahu kecil berbentuk daun teratai, diterangi oleh lentera kecil di ujungnya, berlayar perlahan. Di dalam setiap perahu, terlihat pasangan pemuda-pemudi yang sedang berdekatan, berbicara berbisik, atau hanya menikmati keindahan malam bersama. Suasana romantis dan damai menyelimuti tempat itu.

"Ini adalah Danau Cermin Bulan," bisik Lanxi, seolah takut mengganggu keheningan. "Tempat para pemuda di kota ini mencari kedamaian atau... memadu kasih."

Dengan senyum kecil di bibirnya, ia menunjuk ke sebuah dermaga kecil di tepi danau di mana beberapa perahu kosong tertambat. "Maukah kau naik perahu bersamaku sebentar, Shanmu? Sebagai akhir dari perjalanan kita hari ini."

Shanmu, yang takjub dengan pemandangan danau yang indah dan asing ini, hanya bisa mengangguk. Dengan hati yang dipenuhi oleh cerita-cerita, kenangan, dan pemandangan baru, ia mengikuti Lanxi menuju perahu, melangkah ke dalam dunia malam yang penuh dengan pantulan bintang dan bisikan air.

1
YAKARO
iya bro🙏
Futon Qiu
Mantap thor. Akhirnya Shanmu punya akar spritual
Futon Qiu
Karena ada komedi nya kukasi bintang 5🙏💦
YAKARO: terimakasih🙏
total 1 replies
Futon Qiu
Lah ya pasti lanxi kok nanya kamu nih🤣
Futon Qiu
Jangan jangan itu ortunya 🙄
HUOKIO
Baik bnget si lancip😍😍
HUOKIO
Mau kemana tuh
HUOKIO
Ini penjaga kocak 🤣🤣
HUOKIO
Angkat barbel alam 🗿
HUOKIO
Makin lama makin seru 💪💪💪
HUOKIO
Gass terus thor💪💪💪
HUOKIO
Mantap thor lanjut
YAKARO: terimakasih
total 1 replies
HUOKIO
Lanjutkan ceritanya thor
HUOKIO
Shanmu kuat banget untuk manusia 😄
HUOKIO
Ohhh i see💪
HUOKIO
Oalah kok gitu 😡
HUOKIO
Mantap thor
HUOKIO
Gas pacari lqci
HUOKIO
Makin lama makin seru
HUOKIO
Lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!