NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23_keputusan yang ambil.

Lauren membasuh wajahnya di kamar mandi lantai atas.

Air dingin mengalir dari keran, membasahi kulitnya yang masih terasa panas dan kering. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata bengkak, kelopak memerah, wajah pucat dengan jejak malam yang belum sepenuhnya pergi. Lauren menepuk-nepuk pipinya perlahan, seolah mencoba membangunkan dirinya sendiri dari mimpi buruk yang terlalu nyata.

“Sudah,” bisiknya pada pantulan itu. “Tenang.”

Ia mengikat rambutnya sederhana, mencuci wajah lebih lama dari biasanya, lalu membersihkan tubuhnya dengan gerakan mekanis. Rutinitas. Hal yang selalu menyelamatkannya. Setelah itu, ia kembali ke kamar, merapikan selimut yang tergeletak sembarang, menutup jendela dan pintu balkon satu per satu. Udara pagi masih tersisa di ruangan, membawa aroma dingin yang samar.

Lauren memungut ponselnya dari ranjang.

Layar gelap. Tidak ada pesan baru. Tidak ada panggilan tak terjawab selain yang semalam. Ia meletakkannya kembali, kali ini dengan hati-hati, seolah benda itu rapuh.

Semua jejak kekacauan malam tadi ia rapikan perlahan—bantal yang jatuh, tisu bekas air mata, gelas air di nakas. Tidak ada yang terburu-buru. Tidak ada yang dramatis. Hanya seorang wanita yang mengembalikan rumahnya ke bentuk yang bisa ia kendalikan.

Setelah selesai, Lauren menarik napas panjang, lalu turun ke lantai satu.

Asher masih di sana.

Ia duduk di sofa ruang tamu, posisinya sedikit berubah, namun keberadaannya sama—tenang, diam. Ia menoleh saat mendengar langkah kaki Lauren menuruni tangga.

Pandangan mereka bertemu.

Lauren tersenyum.

Senyum kecil, lembut, seperti yang selalu ia pakai untuk dunia luar. Senyum yang berkata aku baik-baik saja, meski maknanya jauh lebih rumit. Asher tidak membalas dengan senyum, hanya mengangguk pelan—sebuah pengakuan sunyi bahwa ia melihat perubahan itu, dan membiarkannya terjadi.

“Pagi,” kata Lauren ringan.

“Pagi,” jawab Asher.

Lauren tidak berhenti. Ia melangkah menuju dapur, membuka jendela kecil di atas wastafel, membiarkan cahaya pagi masuk. Lemari dibuka, wajan dikeluarkan, kompor dinyalakan. Bunyi api menyala terasa menenangkan—akrab.

Ia mengambil telur, memecahkannya ke dalam mangkuk dengan tangan yang sudah tidak gemetar. Mengocok, menambahkan sedikit garam. Panci kecil diisi air untuk teh. Semua dilakukan dengan ketepatan yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

Seolah malam itu tidak pernah ada.

Seolah tangis itu hanya mimpi.

Seolah dunia tidak runtuh beberapa jam yang lalu.

Asher memperhatikannya dari ruang tamu.

Ia melihat cara bahu Lauren menegang sesaat sebelum kembali rileks. Cara senyumnya tetap terpasang, meski matanya masih menyimpan sisa kelelahan. Cara ia bergerak—terlalu rapi, terlalu terkendali—seperti seseorang yang kembali mengenakan baju zirahnya.

Lauren menata piring di meja makan kecil. Mengangkat teko, menuang air panas. Uap tipis naik ke udara.

“Aku buat sarapan sederhana,” katanya tanpa menoleh. “Kalau kamu mau.”

Asher berdiri dan berjalan mendekat. “Terima kasih.”

Lauren mengangguk, masih dengan senyum yang sama. Ia meletakkan piring di depannya, lalu duduk di kursi seberang. Untuk beberapa saat, hanya suara alat makan yang terdengar.

Tidak ada pembicaraan tentang semalam.

Tidak ada pertanyaan.

Tidak ada penjelasan.

Dan mungkin—untuk pagi itu—mereka tidak membutuhkannya.

Lauren menyeruput tehnya perlahan. Di balik senyum yang tenang, dadanya masih terasa berat. Namun ada satu perbedaan kecil yang tak bisa ia abaikan.

Ia tidak sendirian di meja itu.

Dan meski ia berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa, keberadaan Asher—diam, hadir, tidak menuntut—menjadi saksi bahwa sesuatu memang telah berubah.

___

Asher kembali kerumahnya.

Pintu depan tertutup perlahan, menyisakan keheningan yang berbeda dari semalam. Bukan sunyi yang menekan—melainkan sunyi yang memberi ruang. Lauren berdiri di dapur, mencuci piring-piring bekas sarapan. Air mengalir stabil, busa sabun menempel di jemarinya.

Ia fokus. Terlalu fokus.

Seolah jika ia berhenti bergerak, pikirannya akan kembali berantakan.

Setelah piring terakhir diletakkan di rak, Lauren menutup keran. Ia mengeringkan tangannya dengan lap dapur, menarik napas panjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di meja.

Ia menatap layar beberapa detik.

Nama Pak Surya ada di sana—belum ia hapus sejak acara kemarin.

Lauren menekan tombol panggil.

Nada sambung terdengar satu kali, dua kali, lalu terjawab.

“Lauren?” suara pria itu terdengar hangat, sedikit terkejut namun senang. “Pagi-pagi sekali. Ada apa?”

Lauren menegakkan punggungnya, meski tak ada yang melihat. “Selamat pagi, Pak Surya. Maaf mengganggu waktunya.”

“Tidak mengganggu sama sekali,” jawabnya cepat. “Saya justru senang kamu menelepon. Ada yang ingin kamu sampaikan?”

Lauren menatap jendela dapur, cahaya pagi menyinari lantai. “Tentang tawaran Bapak,” katanya pelan tapi jelas. “Saya sudah memikirkannya.”

Ada jeda singkat di seberang.

“Dan?” tanya Pak Surya, nadanya menahan antisipasi.

Lauren menelan ludah. “Saya… menerima.”

Keheningan sejenak. Lalu terdengar napas lega dan tawa kecil yang tulus.

“Saya tahu,” kata Pak Surya. “Saya yakin kamu akan kembali. Dan saya senang kamu mengambil posisi itu. Ketua pemasaran akan sangat membutuhkan sentuhanmu.”

“Terima kasih atas kepercayaannya, Pak,” jawab Lauren. “Tapi ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan.”

“Tentu. Silakan.”

Lauren menggenggam ponselnya lebih erat. “Saya butuh sedikit waktu sebelum resmi kembali bekerja. Suami saya sedang dinas luar kota, dan saya ingin membicarakan keputusan ini dengannya terlebih dahulu… saat dia kembali.”

Nada Pak Surya tetap tenang. “Berapa lama?”

“Beberapa hari,” jawab Lauren jujur. “Saya janji tidak lama.”

“Baik,” kata Pak Surya tanpa ragu. “Saya bisa menunggu. Keputusan besar memang seharusnya diambil dengan kepala dingin.”

Lauren menghembuskan napas lega, namun belum selesai. “Dan satu hal lagi, Pak.”

“Ya?”

“Saya mohon… untuk sementara, jangan beri tahu siapa pun di kantor. Saya ingin semuanya tetap seperti biasa sampai saya benar-benar siap.”

Pak Surya terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Masih seperti Lauren yang dulu—rapi, penuh perhitungan.”

“Maaf jika terdengar merepotkan,” ujar Lauren.

“Tidak,” jawabnya tegas. “Justru saya menghargainya. Baiklah. Ini akan menjadi rahasia kita dulu. Tidak akan ada pengumuman, tidak ada bocoran.”

“Terima kasih banyak, Pak,” suara Lauren sedikit melembut. “Itu sangat berarti bagi saya.”

“Sama-sama,” kata Pak Surya. “Dan Lauren?”

“Ya, Pak?”

“Kami menunggumu. Kapan pun kamu siap.”

Lauren memejamkan mata sejenak. “Saya akan menghubungi Bapak segera.”

Panggilan berakhir.

Lauren menurunkan ponselnya perlahan, meletakkannya di meja dapur. Ia berdiri diam beberapa saat, meresapi kalimat yang baru saja ia ucapkan—aku menerima—kalimat yang tidak pernah ia bayangkan akan keluar dari mulutnya secepat ini.

Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela.

Masih lelah.

Masih terluka.

Namun kini… tidak lagi diam.

Lauren menarik napas dalam-dalam.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak hanya bertahan.

Ia mulai melangkah.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!