Aruna tahu hidupnya tidak lama lagi. Demi suami dan putri kecil mereka, ia memilih sesuatu yang paling menyakitkan... mencari wanita yang akan menggantikannya.
Alana hadir sebagai babysitter tanpa mengetahui rencana besar itu. Adrian salah paham dan menilai Lana sebagai perusak rumah tangga. Namun, pada akhirnya Aruna memaksa keduanya menikah sebelum ia pergi untuk selamanya.
Setelah Aruna tiada, Adrian larut dalam rasa bersalah dan menjauh dari istri keduanya. Lana tetap bertahan, menjalankan amanah Aruna meski hatinya terus terluka. Situasi semakin rumit saat Karina, adik Aruna berusaha merebut Adrian dan menyingkirkan Lana.
Akankah Adrian berani membuka hati untuk Alana, tanpa mengkhianati kenangan bersama Aruna? Atau justru semuanya berakhir dengan luka yang tak tersembuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 34.
Asmara terbangun dengan kepala berdenyut. Napasnya terasa berat, tubuhnya panas, dan kelopak matanya seolah ditempeli beban. Ia mengerang pelan, berusaha menggerakkan tubuhnya.
Selimut lembut menyelimuti tubuhnya, selimut yang jelas bukan miliknya. Terlalu mahal, terlalu halus dan terlalu maskulin.
Wangi kamar itu pun tidak asing, tapi bukan aroma yang biasa ia cium. Aroma kayu sandalwood, dingin tapi hangat. Aroma laki-laki dewasa.
Matanya mulai membuka sedikit. Cahaya lampu kamar yang redup membuat ruangan terlihat seperti suite hotel atau penthouse pribadi. Dindingnya dipenuhi marmer hitam, lantainya hangat, dan tirai panjang menjuntai hingga lantai.
“Ini… di mana?” gumamnya serak.
Asmara mencoba bangkit, namun tubuhnya langsung limbung, obat itu belum benar-benar hilang pengaruhnya.
Tiba-tiba sebuah tangan besar menahan bahunya. Hangat, dan kuat.
“Pelan-pelan,” suara seorang pria terdengar dari sampingnya.
Asmara langsung menoleh, jantungnya seperti lompat sampai ke tenggorokan. Di kursi sofa dekat ranjang, duduk seorang pria tampan, dan luar biasa rapi meski sepertinya sudah sangat dewasa.
Rambut hitamnya tersisir mundur, sorot matanya tajam namun teduh. Wajahnya maskulin, rahang tegas, hidung tinggi, bibir tipis.
Setelannya hitam, lengan kemejanya digulung sampai siku. Pria itu duduk dengan posisi santai, kaki disilangkan, namun auranya…
CEO.
Kuasaan.
Dominan.
Karismatik.
“Si—siapa… kau?” tanya Asmara terbata.
Pria itu tersenyum kecil, hampir tidak terlihat. “Kau tidak mengenalku?“
Asmara berusaha mengingat, tiba-tiba matanya membulat. Sial! Dia?! Aku pura-pura nggak kenal aja, cari aman.
“A-aku nggak kenal...“ jawab Asmara.
Pria itu hanya mengulas senyum tipis, senyum yang seolah tahu segalanya. Ia paham betul bahwa Asmara sebenarnya mengenalinya, hanya saja gadis itu memilih berpura-pura tak mengenal dirinya. Mungkin karena bayang-bayang insiden di pesta pertunangan Alima dan Rendi setahun lalu masih menempel di benak Asmara. Ada rasa malu dan takut, atau keduanya.
Pria itu.... Airlangga. Seorang CEO, sekaligus kakak satu ayah dengan Rendi. Lajang, berusia 30 tahun.
Di pesta pertunangan Alima dan Rendi satu tahun lalu, Asmara berani-beraninya mengerjai Airlangga. Membuat pria itu kehilangan citra dingin dan rapi yang selalu ia jaga. Sejak kejadian itu setiap kali mengingatnya, Airlangga hanya bisa menyebut Asmara dengan satu julukan sederhana yang terasa pas di lidahnya... si gadis nakal.
Dan sekarang, gadis nakal itu berpura-pura tak mengenalnya, padahal Airlangga jelas-jelas melihat kegugupan samar di mata Asmara.
“Aku yang menghentikan pria itu tadi malam di klub.” Lanjut pria itu tanpa ingin membongkar kebohongan Asmara.
Asmara memegangi kepalanya, potongan-potongan memori datang. Pesan dari temannya—Satria, klub, pria asing, tubuhnya yang lemah, suara laki-laki yang menolongnya…
Asmara menegakkan punggung, meski tubuhnya masih goyah.
“K—kenapa aku di sini?”
“Kau butuh tempat aman tadi malam, jadi aku membawamu kesini. Kau sudah diberi obat. Kalau aku tinggalkan di sana... kau pasti sudah berada di tangan orang yang berniat buruk padamu.” Jawab pria itu santai.
Asmara terdiam. Meski wajahnya memerah malu, ia jelas menyadari pria itu benar.
Airlangga mengambil gelas air dan menyodorkannya. Asmara menatap gelas itu curiga, tapi lelaki itu mengangkat satu alis. “Aku tidak akan meracuni seseorang yang baru saja aku selamatkan.”
Asmara mendengus kecil. Terserah, dia pun meneguknya. Pria itu memperhatikan gerakannya seperti menilai, dan itu membuat Asmara risih.
“Berhenti menatapku seperti itu,” gumam Asmara dengan bibir cemberut.
Airlangga hanya tersenyum miring. Senyum tipis yang berbahaya dan memabukkan. “Aku hanya memastikan... kau benar-benar sudah sadar sepenuhnya. Semalam tak ada yang terjadi, dokter menyuntikkan obat penawar. Hanya sekedar informasi untukmu, jika kau berpikir ada yang terjadi antara kita.“ Pria itu sengaja menjelaskan.
Asmara tak mengatakan apapun, dia juga merasa jika diantara mereka tadi malam tak terjadi apapun. “Aku sudah cukup sadar, untuk pergi dari sini.”
Asmara mencoba turun dari ranjang, tapi dia hampir terjatuh ke lantai. Airlangga sigap menangkap pinggangnya, gadis itu membeku.
Tangan pria itu kuat dan hangat. “Jangan memaksakan diri.“
Asmara buru-buru menjauh, wajahnya memerah padahal ia jarang sekali malu. “Terima kasih, Tuan. Tapi aku bisa urus diri sendiri,” katanya sedikit jutek.
Tak marah, Airlangga malah terlihat terhibur. “Ya... aku bisa lihat itu. Saking bisa mengurus diri sendiri, kau hampir tersungkur ke lantai.“
Asmara mendelik, pria ini menyebalkan.
Airlangga lalu berdiri, tubuhnya tinggi menjulang. “Setidaknya tunggu efek obat itu hilang sepenuhnya, atau... aku antar pulang.”
“Tidak usah!” potong Asmara cepat.
Pria itu menatap Asmara, matanya seperti membaca isi kepala gadis itu.
“Baik, tapi aku tetap tidak akan membiarkanmu keluar sendirian dalam keadaan seperti ini. Lagipula, motor mu sepertinya masih tertinggal di kelab. Biar supirku yang mengantarmu pulang..."
Asmara menggigit bibir, tapi dia memang masih merasa pusing. Ia benci diatur orang asing, tapi ia juga tahu pria itu benar. “Oke.“
Ada kepuasan aneh yang merayap di dada Airlangga saat melihat Asmara menuruti perkataannya. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum yang terlalu santai untuk tidak berbahaya.
Aku akan menaklukkan sisi liar-mu, gadis nakal! Airlangga tersenyum menyeringai.
Esoknya...
Asmara menarik tangan Satria dengan kasar di tengah keramaian kampus, menyeretnya hingga mereka tiba di sudut lorong yang tak dilalui siapa pun. Begitu dinding berada di belakang mereka, Asmara mendoroong kepala Satria hingga membentuvr pelan.
“Lo berani nipu gue!” desisnya, napasnya naik turun karena emosi. “Lo nyuruh gue ke club, tapi Lo sendiri malah ngilang! Dan akhirnya gue dijebak seseorang! Kenapa, Sat?! Jawab!”
Satria meringis menahan sakit, tapi matanya membulat kaget begitu mendengar kata dijebak keluar dari mulut Asmara.
“Sumpah, Mar! Gue bener-bener nggak tau apa yang terjadi sama Lo! Gue lagi ribut sama orang, terus tiba-tiba Rendi datang ngebantuin gue. Abis itu dia ngajak pergi, gue kira semuanya udah aman. Emangnya Lo kenapa?”
Dada Asmara terasa panas. Jadi ini ulah Rendi… dia manfaatin Satria. Bajingan itu!
Cekalannya pada lengan Satria mengendur, ia melepas temannya perlahan.
Satria langsung memegang bahu Asmara, suaranya tegang. “Mar, apa ada yang terjadi? Bilang sama gue! Ada yang ganggu Lo?”
Asmara mengembuskan napas panjang. “Ini urusan gue, Sat. Yang penting, dengerin gue baik-baik. Mulai sekarang, jangan dekat-dekat sama Rendi. Dia bajingan! Pertunangan dia sama kak Alima juga udah batal. Gue nggak bisa cerita banyak sekarang…”
Asmara berbalik dan pergi, sementara Satria hanya menatap kepergian Asmara. Namun satu kalimat gadis itu terus terngiang di kepalanya, pertunangan Alima dan Rendi sudah batal.
Tiba-tiba senyum muncul di wajahnya.
“Jadi… Alima benar-benar tidak jadi dengan Rendi?” gumamnya pelan, seolah masih memastikan apakah ia tidak salah dengar. Sebuah senyum tipis muncul tanpa bisa ia tahan. “Berarti… aku punya kesempatan itu. Aku nggak mau kehilangan peluang lagi, hanya karena aku dua tahun lebih muda dari Alima. Usia bukan alasan, aku juga berhak mengejarnya… bukan?”
Untuk pertama kalinya setelah lama Satria memendam perasaan pada Alima, harapan itu terasa begitu dekat.