NovelToon NovelToon
Dia Dan 14 Tahun Lalu

Dia Dan 14 Tahun Lalu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers / Cintapertama / Romantis / Romansa / TimeTravel
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Spam Pink

ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 34

Clara terbangun dengan napas terengah, seolah paru-parunya dicolok jarum es. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, meski AC kamar kosnya mati sejak sore karena listrik kampus sedang dihemat.

Ia menatap jam digital di meja belajar.

02.47.

Ia memeluk dirinya. Mata terasa panas, tapi terlalu kering untuk menangis lagi.

Semua kejadian malam tadi memukul ulang kepalanya seperti palu raksasa—bayangan di bawah lampu jalan, mobil kampus palsu, pesan mengancam, Ares yang tiba-tiba muncul…

Clara menutup mata.

Seandainya Reymon ada di sini.

Ia mengusap wajah, memaksa dirinya bangkit untuk mengambil air minum di meja. Tapi tepat saat kakinya menyentuh lantai…

KREK.

Suara kecil. Sangat kecil. Seperti kertas terlipat.

Clara membeku.

Ia perlahan menunduk.

Di depan pintu kamarnya… ada kertas kecil putih, dilipat dua dengan sangat rapi. Tidak ada amplop, tidak ada gelang, tidak ada jejak lain—seolah kertas itu muncul begitu saja.

Clara menunduk semakin perlahan, jantungnya menabrak-nabrak tulang rusuk.

Ia menatap celah pintu.

Kosong.

Tidak ada siapa pun.

“Itu… nggak mungkin,” bisiknya dengan suara pecah.

Clara meraih kertas itu dengan tangan gemetar dan membukanya.

Satu kalimat.

Tulisan rapi, seperti huruf tercetak.

“Kita perlu bicara. Jangan keluar. Jangan percaya satpam itu. Aku akan datang jam 3.”

Tidak ada nama.

Tidak ada tanda.

Tapi Clara yakin satu hal—tulisan itu baru saja diletakkan. Karena ia sudah mengunci pintunya sejak masuk.

Ia menelan ludah.

Jam menunjukkan 02.48.

Itu berarti… orang itu akan datang dalam kurang dari 15 menit.

“Siapa yang nulis ini?” Clara memeluk tubuhnya. “Ares? Orang yang ngirim pesan? Atau…”

Atau sosok yang tadi berdiri di balik lampu jalan?

Clara menunduk memeluk lutut.

“Aku harus gimana…?”

Ia menatap pintu tanpa berani berkedip—tetapi saat ia melihat lebih dekat…

Pintu itu sedikit terbuka.

Padahal ia yakin—sangat yakin—tadi tertutup rapat.

“Tidak…”

Clara mundur, menabrak meja belajar.

“Tidak… tidak tidak—”

Tok. Tok. Tok.

Ketukan pelan. Tapi terdengar jelas.

Teratur.

Bukan ketukan satpam.

Bukan ketukan teman.

Ketukan seseorang yang tahu Clara sedang ketakutan, dan menikmati ketakutannya.

“Clara,” suara itu lembut.

Clara menutup mulutnya.

Dongkol.

Dingin.

Mengerikan.

“Buka. Kita bicara sebentar saja.”

Tangan Clara meraih ponsel.

Ia langsung mengetik pada Ares.

Ares, seseorang di depan kosku. Dia tahu namaku. Dia suruh buka. Apa itu kamu?

Pesan terkirim.

Detik berikutnya…

Chat menunjukkan: Ares is typing…

Clara menahan napas.

Lalu muncul balasan pendek.

Ada di mana tepatnya?

Clara terpaku.

Itu berarti…

Bukan Ares.

Bukan Ares di depan pintu.

“Clara… aku tahu kau bisa dengar aku.”

Suara itu semakin dekat.

Seperti menempel ke pintu.

“Aku punya sesuatu tentang Reymon.”

Clara langsung merinding.

“Buka. Atau aku masuk.”

Clara menutup mulut, menahan isak.

Ponselnya bergetar lagi.

Pesan Ares masuk.

Jangan buka. Clara, KUNCI DIRIMU SEKARANG.

Clara menatap pintu.

Terlambat.

Gagang pintu berputar pelan-pelan.

Clara jatuh terduduk.

“Aku sudah bilang,” suara itu terdengar tersenyum. “Kalau kau tidak buka, aku—”

BRAK!

Pintu kos Clara tiba-tiba didorong dari luar oleh seseorang yang lain—lebih keras—dengan suara hantaman kuat.

“Pergi dari sini.”

Suara itu berat. Dinginnya berbeda. Tak beremosi, tapi dapat mematikan dengan satu kalimat.

Clara mematung.

Ia kenal suara itu.

“Ares…” bisiknya.

Pertemuan Dua Bayangan

Pintu sedikit terbuka dan Clara melihat sosok berhoodie hitam yang sama seperti malam itu—Ares—menyeret seseorang dengan kasar menjauh dari pintu.

“A—Ares…” Clara mencoba berdiri, namun lututnya goyah.

Ares menoleh sebentar.

“Diam,” katanya singkat. “Jangan keluar.”

Clara menatap, takut sekaligus lega.

Di lorong kos yang remang, Ares mendorong laki-laki misterius itu hingga terjengkang.

Clara hanya bisa melihat punggung Ares dan siluet tubuh lawannya.

Lalu lawan itu berbicara dengan suara rendah, menusuk:

“Kau selalu menahannya, Ares. Kau pikir bisa selamanya begitu?”

Ares mengepalkan tangan.

“Dia bukan urusanmu.”

“Tapi Reymon urusanku,” sahut laki-laki itu, suaranya berubah lebih tajam. “Dan karena itu, Clara juga urusanku.”

Clara menutup mulutnya.

Nama Reymon membuat tubuhnya menegang.

Ares tidak menjawab. Tapi bahunya naik-turun tanda ia menahan emosi.

Laki-laki itu mendengus.

“Kau hanya bayangan. Penjaga. Pelindung yang tidak pernah paham apa sebenarnya terjadi.”

Ares menggeram.

“Satu kata lagi, dan aku buat kau menyesal datang ke kampus ini.”

“Buruk sekali,” laki-laki itu berdiri perlahan. “Kau makin mirip dia.”

Ares tampak terhuyung dalam diam, ekspresinya berubah meski Clara hanya melihat setengah wajahnya yang tertutup masker.

Laki-laki itu melangkah mundur.

“Tapi kau tidak bisa hentikan aku, Ares.”

Dia menatap Clara. “Kita akan bicara lagi.”

Ares langsung bergerak, tapi sosok itu menghilang di tikungan lorong seperti angin malam menelan langkahnya.

Ares meninju dinding.

Clara menjerit kecil.

Ares mendekat ke pintu kos, menghela napas panjang, wajahnya menegang.

“Clara,” suaranya lebih tenang, “buka pintunya sekarang.”

Clara melangkah pelan.

Telapak tangannya bahkan berkeringat saat menyentuh pintu.

Begitu pintu terbuka, Ares masuk dan menutupnya cepat.

“Kau harus pergi dari kos ini,” katanya tanpa basa-basi.

Clara geleng kepala. “Aku… aku nggak bisa tiba-tiba pergi. Semua barangku—”

“Biarkan.”

Nada Ares dingin.

“Nyawamu lebih penting.”

Clara terdiam.

Ada ketakutan yang berbeda di mata Ares. Bukan hanya kemarahan atau kecurigaan—melainkan sesuatu yang jarang muncul pada seseorang sekeras dia:

kecemasan.

“Siapa dia?” tanya Clara akhirnya. “Kenapa dia tahu nama Reymon?”

Ares mengalihkan pandangan.

“Itu...” Ia terdiam beberapa detik. “Kau tidak boleh tahu.”

Clara merasa dadanya diremas.

“Kenapa? Karena aku cuma sampingan? Karena aku cuma orang yang kalian lindungi tanpa alasan? Karena aku cuma orang yang kalian pikir nggak pantas tahu apa yang sebenarnya terjadi?”

Ares menatapnya.

“Karena kau satu-satunya alasan Reymon tetap bertahan.”

Clara terpaku.

Ares melanjutkan pelan, suaranya seperti pecah:

“Dan itu membuatmu target.”

Clara menelan ludah.

“Target… buat apa? Siapa mereka? Mereka mau apa?”

Ares mengembuskan napas panjang, lalu duduk di kursi belajar Clara, menggenggam kedua tangannya.

“Clara… Reymon bukan cuma anggota militer biasa. Dia punya masa lalu yang tidak pernah ia ceritakan padamu.”

Tatapan Ares menjadi tajam. “Dan masa lalu itu mulai mengejarnya lagi.”

Clara menggigit bibir hingga terasa asin.

“Ares… apa hubunganmu dengan Rey? Kenapa kamu selalu muncul saat—”

Ares menutup matanya sejenak.

Lalu ia berkata:

“Aku bukan musuhmu.”

“Aku bukan orang baik juga.”

“Tapi aku satu-satunya yang bisa membuatmu tetap hidup sampai Reymon kembali.”

Clara menguatkan diri.

“Mereka mau bunuh aku?”

Ares menggeleng pelan.

“Tidak.”

Lalu matanya kembali tajam.

“Mereka mau menggunakanmu.”

Clara mengusap air matanya.

“Untuk apa?!”

Ares menatapnya lekat-lekat.

“Untuk menghancurkan Reymon.”

Reymon Tidak Sendiri

Sementara itu, di barak latihan—ratusan kilometer dari Clara—Reymon memasukkan ponselnya ke saku dan berlari keluar barak tanpa izin.

Ia tidak peduli.

Ia tidak bisa peduli.

Begitu melihat pesan Clara tadi—pesan panik, ketakutan, dan kata-kata “Ada orang di depan kosku”—seluruh kendalinya runtuh.

Reymon berlari menuju area latihan, memaksa dirinya diterangi sinar lampu lapangan tanpa peduli tatapan prajurit lain.

Ia menendang pintu ruangan kecil tempat Ares biasa meninggalkan laporan.

Kosong.

Tapi di meja, ada sebuah kotak kecil hitam.

Dengan tangan gemetar karena marah, Reymon membukanya.

Di dalamnya…

Gelang merah pecah.

Gelang yang dulu ia berikan pada Clara.

Gelang yang ia buat sendiri dari tali paracord, yang selalu dipakai Clara setiap hari… sampai malam itu ia melihat gelang itu di tangan musuh.

Reymon menggenggam kotak itu erat, napasnya terengah.

“Sudah cukup…”

Ia menutup mata.

“Ares, kau harus jaga Clara. Sampai aku tiba di sana.”

Ia berdiri. Tangannya mengepal.

“Kalian pikir bisa ganggu hidupku lagi? Kalian pikir aku akan diam?”

Reymon mengambil tas peralatannya.

Ia bahkan tidak menunggu izin dari atasannya.

“Sentuh Clara sekali lagi,” gumam Reymon, suaranya rendah dan berbahaya.

“Aku pastikan kalian tidak bisa berjalan lagi.”

Kebenaran yang Mulai Menguak

Clara menopang kepalanya, mencoba memahami kata-kata Ares.

“Jadi… orang yang tadi itu… dia siapa? Apa dia yang kirim pesan ke aku?”

Ares menggeleng.

“Tidak semua pesan berasal dari orang yang sama. Ada tiga pihak yang terlibat.”

Ia menunjuk lantai seolah menyusun pola.

“Dia yang mengejarmu.”

“Dia yang mengawasi dari jauh.”

“Dan satu lagi…”

Tatapannya menusuk.

“Yang kau anggap teman.”

Clara terhenyak.

“Apa maksudmu…?”

Ares berdiri, wajahnya mendadak lebih tegang.

“Clara. Mulai malam ini, kau harus tahu satu hal.”

Clara menunggu.

Ares menatapnya.

“Tidak semua orang yang ingin menolongmu… benar-benar ingin kau selamat.”

Clara merasa tubuhnya seperti jatuh dari ketinggian.

“Aku nggak percaya… aku bahkan nggak tahu harus percaya siapa...”

Ares mendekatinya, menunduk sedikit sampai wajah mereka hanya terpisah sejengkal.

“Kau tidak harus percaya siapa pun.”

“Tapi jangan pernah… tinggalkan pandangan dari bayanganmu.”

Clara menggigit bibir.

“Ares…”

Suaranya mulai pecah. “Aku takut…”

Ares memalingkan wajah, seolah tidak ingin terlihat lemah.

“Aku tahu.”

Ia meraih tas Clara.

“Kita pergi sekarang.”

Clara menggeleng cepat. “Tengah malam begini?! Kemana?!”

Ares membuka pintu kamar perlahan, menatap lorong yang kosong.

“Ke tempat terakhir yang musuhmu pikir akan kau tuju.”

Clara menelan ludah.

“Ke mana?”

Ares menoleh.

“Ke rumah Reymon.”

Jantung Clara seperti berhenti.

Dan sebelum ia sempat bicara—

Ares mematikan lampu kamar.

Gelap.

Senyap.

“Jangan menoleh,” katanya. “Dan jangan keluarkan suara.”

Clara meraih lengannya.

“Ada apa—”

Ares berbisik tepat di telinganya:

“Mereka sudah masuk gedung kos.”

Dan dengan itu—

Episode berakhir.

BERSAMBUNG…...

1
Caramellmnisss
baguss bangettt
Strawberry Mniss
baper liat clara sm reymon😩
Strawberry Mniss
sangat baguss
mindie
ga sabar eps selanjutnya author😩
mindie
lanjut dong author ceritanya, ga sabar part selanjutnya
mindie
AAAAAA saltinggg bacanya😍😍🤭
Caramellmnisss: terimakasih kak☺️
total 1 replies
mindie
layak di rekomendasikan
Charolina Lina
novel ini bagus banget 👍🏻
Caramellmnisss: terimakasih kak😍🙏
total 1 replies
mindie
baguss bngt tidak sabar menenunggu updatetanny author🤩
Caramellmnisss
kami update tiap malam yah kak, jangan ketinggalan setiap eps nya yah☺️
Miu miu
Jangan lupa terus update ya, author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!