Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Jam menunjukkan pukul delapan malam, Sania membuka matanya perlahan-lahan.
Ia merasakan kepalanya yang sangat pusing sekali dan ia mencoba untuk mengingat semuanya.
"Mmmmpphh!"
Ia mencoba untuk memanggil Bima tapi hanya kata 'mmmph' yang keluar dari mulutnya.
Sania melihat tangan dan kakinya juga yang terikat di atas tempat tidur.
Ceklek!
Suara pintu yang dibuka oleh Salvatore yang masuk kedalam kamar.
"Selamat malam, sayang. Akhirnya kamu sadar juga." ucap Salvatore.
"MMMMPPHH!
"Oh, aku lupa."
Salvatore membuka kain yang menutup mulut Sania.
"Lepaskan aku, Salvatore!"
PLAKKK!
Suara tamparan keras yang dilayangkan oleh Salvatore ke arah pipi Sania.
"Shelena, jangan membuatkan marah."
Salvatore mengambil sapu tangan dan membersihkan darah yang ada di sudut bibir Sania.
Sania memalingkan wajahnya saat Salvatore membersihkan lukanya.
"Ssshh... Tenang dulu, sayang." ucap Salvatore.
"Salvatore, lepaskan aku sekarang juga,” desis Sania dengan suara serak.
Salvatore menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
"Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan kamu, sayang." ucap Salvatore.
Sania mencoba menarik rantai yang ada di pergelangan tangannya.
"Aku akan membukanya, Shelena. Asalkan kamu patuh kepada ku."
Salvatore berjalan menuju pintu, langkahnya pelan namun penuh kendali.
Tangannya menyentuh gagang pintu sebelum ia menoleh sekali lagi ke arah Sania yang masih terikat di tempat tidur.
"Aku akan datang lagi dan masih banyak yang harus kita bicarakan." ucap Salvatore.
Salvatore menutup dan mengunci pintu kamar Sania yang ada di lantai atas.
Tidak ada yang tahu jika ada kamar diatas, karena Salvatore sendiri yang merancangnya, memerintahkan agar ruangan itu dibuat seperti tidak pernah ada.
Saat langkah kakinya menjauh di sepanjang koridor, suara heelnya bergema pelan
Tok… tok… tok…
Setiap suara langkah kakinya membuat dada Sania terasa semakin sesak.
Sania menarik rantai yang ada di pergelangan tangannya dan berharap bisa terlepas.
"Bima, tolong selamatkan aku." gumam Sania.
Beberapa menit kemudian Sania kembali mendengar langkah kaki Salvatore.
Ceklek!
Salvatore membuka pintu sambil membawa nampan berisi nasi, ayam goreng dan sop kentang.
"Sudah tenang? Atau masih seperti tadi?" tanya Salvatore sambil menaruh nampan di samping tempat tidur Sania.
Sania tidak menghiraukan perkataan dari Salvatore, ia masih mencoba untuk melepas rantai yang ada di pergelangan tangannya.
"Lepaskan aku, Sal! Aku tidak mau disini!"
Salvatore naik ke atas tempat tidur sambil memeluk tubuh Shelena.
"Shelena, jangan membuatku marah. Kamu mau pulang kemana? Ini rumah kamu, sayang." ucap Salvatore.
Sania menggelengkan kepalanya dan meminta Salvatore untuk menjauh darinya.
"Sal, aku bukan Shelena. A-aku..."
"Sania Erwin, tunangan Adam Smith." potong Salvatore sambil tersenyum tipis .
Sania terkejut ketika mendengar perkataan dari Salvatore.
"Kamu pikir aku tidak tahu siapa kamu?” lanjut Salvatore sambil merapikan rambut Sania yang berantakan.
“Aku tahu semuanya, Sania. Bahkan hal yang kamu pikir sudah kamu kubur dalam-dalam.”
“Adam sudah tidak ada hubungannya denganku lagi. Dan aku sudah menikah dengan Bima. Aku sekarang sedang hamil anaknya." ucap Sania.
Salvatore langsung membuka pakaian yang dikenakan oleh Sania.
Ia melihat perut Sania yang sekarang mengandung anak Bima.
"Itu tidak masalah sayang, karena setelah anak ini lahir. Aku akan menjadikan dia seperti aku."
Salvatore mencium perut Sania dan setelah itu ia membuka rantai yang ada di pergelangan tangan Sania.
Sania mengambil pakaiannya dan segera memakainya.
"Sekarang lekas makan dan jangan buat aku marah lagi," ucap Salvatore sambil menyuapi Sania.
Sania menggelengkan kepalanya ke arah Salvatore yang akan menyuapinya.
"Aku tidak lapar, Sal!"
Salvatore tetap mengambil sendok dan memaksa Sania untuk memakannya.
Ia tidak peduli dengan nasi dan kuah sop yang jatuh ke lantai. Asalkan Sania mau makan.
Setelah selesai makan, Salvatore membuka rantai yang ada di kaki Sania.
Ia memanggil pelayan untuk membersihkan kamar yang penuh dengan tumpahan kuah.
Salvatore membopong tubuh Sania dan mengajak ke kamar utama.
Sania melihat ada lima pelayan dan lima anak buah Salvatore yang ada di rumah itu.
Salvatore menutup dan menguncinya pintu kamarnya.
Ia masih membawa Sania di dalam gendongannya seolah ia adalah sesuatu yang rapuh, padahal genggamannya terlalu kuat, terlalu penuh obsesi.
Ia menurunkan Sania perlahan di atas sofa panjang dekat jendela.
Tubuh Sania masih gemetar meski rantai di tangan dan kakinya sudah dilepas.
Salvatore berjalan ke arah meja kerjanya, mengambil segelas wine, lalu berbalik menatap Sania.
“Sekarang, ada satu hal yang ingin aku tanyakan.” ucap Salvatore
Sania menelan salivanya saat mendengar perkataan dari Salvatore.
"Dimana Flashdisk itu,.Sania?" tanya Salvatore sambil menatap wajah Sania.
"A-aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Sal? Flashdisk apa?"
Sania berpura-pura tidak tahu dengan flashdisk yang dimaksud oleh Salvatore.
Ia sudah menyembunyikannya di jaket yang biasa digunakan oleh Bima.
Salvatore mendekat ke arah Sania dan langsung menjambak rambutnya.
"CEPAT KATAKAN DIMANA FLASHDISK ITU!!"
Sania menggelengkan kepalanya sambil menahan rasa sakitnya.
"Baiklah kalau kamu memaksaku untuk berbuat kasar."
Salvatore merobek pakaian Sania dan langsung menaruhnya di atas tempat tidur.
"Lepaskan aku, Sal! SALVATORE!!
Teriakan Sania di dalam kamar membuat Salvatore semakin bergairah.
Ia tidak menghiraukan tangisan maupun teriakan Sania yang kesakitan.
Setelah puas melakukannya selama hampir dua jam, Salvatore melihat Sania yang pingsan.
Ia mengambil ponselnya dan menghubungi dokter pribadinya untuk datang ke rumahnya.
Tiga puluh menit kemudian Dokter pribadinya telah datang.
Ia memeriksa keadaan Sania yang masih belum sadarkan diri.
Ia memasang selang infus ke pergelangan tangan Sania.
"Dia sedang hamil, Tuan. Jangan perlakukan dia seperti itu."
Salvatore menganggukkan kepalanya ke arah dokter pribadinya.
Setelah itu dokter berpamitan dan keluar dari rumah Salvatore.
Salvatore naik ke atas tempat tidur dan menemani Sania yang masih dalam perawatan.
Sementara itu Bima kembali ke rumah yang sekarang sudah menjadi Abu.
Salvatore duduk disana dan tangannya tidak sengaja menyenggol kayu yang ada disana.
"Ini aroma bensin...." gumam Bima.
Bima lekas mengambil ponselnya dan memeriksa cctv yang ia pasang.
Ia membelalakkan matanya saat cctv yang ia pasang telah rusak.
"Masih ada satu cctv yang masih nyala." gumam Bima yang kemudian mengaksesnya.
Rekaman cctv mulai menyala dan ia melihat Salvatore yang sedang membopong tubuh istrinya.
Setelah itu ia melihat anak buah Salvatore yang menyiram bensin ke rumahnya.
Air matanya langsung mengalir ketika ia menyadari jika istrinya masih hidup dan diculik oleh Salvatore.
"San, tunggu aku. Aku akan menjemputmu." gumam Bima.
Bima memperbesar rekamannya dan memeriksa plat nomor mobil yang dikendarai oleh Salvatore.
Ia mencatat nomor itu, lalu membuka peta digital dan mencocokkan rute yang mungkin dilalui mobil tersebut.
Bima segera masuk ke dalam mobil dan Melajukan ke tempat dimana Salvatore menyembunyikan istrinya.