Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Ayam-ayam peliharaan Haji Berkah yang rumahnya di depan rumah Dima, berkeliaran di sekitar rumah Dima. Ibunya Dima yang baru selesai memberikan kembalian ke pembeli risol buatannya, berusaha mengusir ayam-ayam itu. Ayam-ayam itu pergi, tapi tak lama kemudian balik lagi. Ibunya Dima masuk ke dalam rumah dengan derap langkah seperti Paskibra sedang baris-berbaris.
“Ayah! Itu ayam-ayamnya Haji Berkah gangguin ibu jualan aja!” kata ibunya Dima pada ayahnya yang sedang memakai jaket ojol di ruang makan yang bersatu dengan ruang tv.
Sebelum ayahnya menjawab pertanyaan ibunya dengan jawaban yang sama setiap kali ibunya mengeluhkan soal ayam, Dima turun dari lantai dua membawa gitarnya.
“Yah, Bu, mau ke sekolah dulu,” kata Dima sambil salim ke ayah dan ibunya secara bergantian.
“Sekarang kan hari Minggu, Dim,” kata ibunya merasa Dima halu atau bermimpi pergi ke sekolah di hari Minggu.
“Iya, hari Minggu. Assalamualaikum!” Kata Dima jalan ke luar rumah berjingkat karena sambil memakai kaus kaki.
“Hari Minggu sekolah?” tanya ayahnya yang menatap ibunya sambil meragukan dirinya, apakah dirinya yang salah, ataukah Dima yang salah?
“Ibu juga nggak tau, Yah,” jawab ibunya yang juga bengong.
Setelah pakai sepatu, Dima bangkit dan mengusir ayam-ayam di teras. Ayah dan ibunya keluar dari rumah bersamaan dengan Dima pergi membawa gitarnya.
Di jalan, Dima bertemu dengan Lala yang datang membawa tas ransel besar.
“Pulang, Kak?” Tanya Dima heran, biasanya Lala pulang kalau libur semester.
“Iya, minggu tenang,” kata Lala yang kemudian menggenggam lengan Dima, menahannya agar tidak jadi pergi. “Kamu mau ke mana?”
“Sekolah.”
“Hari Minggu?”
“Iya, ada itu latihan ini gitar,” jawab Dima gugup.
Mereka sadar sedang berdiri di bawah jendela kamarnya Quin.
Lala menatap jendela kamarnya Quin sambil berkata, “Urusan sama dia ya?”
“Udah ah, aku udah ditungguin!” Jawab Dima buru-buru, tidak mau menjawab pertanyaan Lala.
Meski Lala lebih pendek dari Dima, tapi genggaman tangan Lala masih bisa menahan tangan Dima. Lala mendekati Dima dan berbisik, “Kamu suka sama dia?”
Dima memejamkan mata sambil menelan ludah, lalu menatap kakaknya lagi. Rasanya dia tidak perlu menjawabnya, kakaknya itu pasti sudah tahu.
“Jangan macem-macem sama orang komplek. Beda sama orang kayak kita!” Kata Lala sambil melepaskan genggamannya pada lengannya Dima.
“Orang cuma temen,” kata Dima lalu mempercepat langkahnya, pergi menuju sekolahan.
–
Mobil papanya Quin berhenti di depan gerbang. Pak Juki tampak sedang duduk bersandar di kursi pos satpam. Terlihat beberapa anak sedang latihan senam di lapangan. Papa dan mamanya Quin di dalam mobil menoleh pada Quin yang duduk di kursi penumpang.
“Mau ditungguin?” Tanya mamanya Quin.
“Nggak usah,” jawab Quin sambil salim ke papa dan mamanya.
“Coba dulu aja ya, kalau memang nggak bisa, nggak usah dilanjutin. Nggak apa-apa,” mamanya mencoba menjelaskan bahwa dirinya selalu mau mendukung apapun pilihan Quin.
“Iya,” Quin tahu bahwa mamanya selalu mendukung pilihannya, meski kadang tetap saja selalu mendahulukan keputusan papanya.
Quin yang memakai baju bebas, celana jins biru muda dan crew neck putihnya, turun dari mobil. Ia lambaikan tangan pada mobil yang berjalan pergi. Ia balik badan menatap gerbang sambil menghela napas, “Hah, aku ini ngapain sih?”
Anak-anak kelas 10 yang sedang latihan senam di lapangan, tertegun melihat Quin melintas di lorong sekolahan, menuju ruang kesenian. Gosip bahwa Quin jadi peserta YAMI tahun ini sudah tersebar luas.
Ruang kesenian bersebelahan dengan lab komputer. Semakin mendekati ruang kesenian, semakin berat langkahnya. Terdengar suara dua orang sedang berbincang di dalam ruang kesenian. Dari jendela ruang kesenian, Quin bisa melihat Pak Adam sedang bicara dengan seseorang yang sedang duduk menggendong gitar. Quin menggelengkan kepalanya, tidak percaya bahwa ada Dima di sana. Dikeluarkannya hape dari tasnya lalu mengirimkan pesan pada Nisa.
Quin : Nisa, masa ada…
Tidak jadi. Quin menghapus pesan itu, lalu memasukkan hapenya. Menurutnya Nisa tidak usah tahu. Kalaupun tahu, pasti jawabannya tidak terlalu menguntungkan Quin. Nisa pasti akan bilang, ‘Bagus lah, dia kan emang jago main gitarnya.’
Akhirnya, walau sedikit terpaksa, Quin masuk ke ruang kesenian.
“Maaf, Pak. Terlambat,” kata Quin salim pada Pak Adam. Ia sama sekali tidak mau melihat Dima.
Dima pun tidak berani melihat Quin.
“Nggak apa-apa. Kita santai aja. Bapak sama Dima juga suka rela bantuin kamu. Demi sekolah kita juga, kan?” Kata Pak Adam yang senyumnya melebihi lengkungan bulan sabit.
Sementara Dima hanya tersenyum sedikit sambil menunduk.
‘Kenapa dia kayak takut gitu sih?’ Kata Quin dalam hati.
“Ayo duduk dulu,” Pak Adam duduk di kursi di sebelah keyboard.
Quin duduk berhadapan dengan Dima yang masih menunduk.
“YAMI itu kan idol yang direkomendasikan oleh sekolah. Sebetulnya nanti kan kalau kamu masuk 20 besar, akan dilatih langsung sama mereka. Jadi yang penting kita usahakan dulu sekarang kamu masuk 20 besar,” Pak Adam menjelaskan apa yang Quin dan Dima sudah tahu.
“Iya,” jawab Quin dan Dima kompak.
“Jadi lagu apa yang mau kamu tampilkan buat audisi besok?” Tanya Pak Adam pada Quin.
“Rencananya saya mau nyanyi lagu Billie Eilish, Ocean Eyes,” jawab Quin percaya diri.
Pak Adam menganggukan kepala, “Memang lagu kekinian. Tapi usul bapak, gimana kalau kita menyanyikan lagu recycle! Lagu 90an! Biar anak-anak jaman sekarang mengenal lagu-lagu jaman dulu.”
Rasanya Quin ingin melempar semua barang yang ada di ruang kesenian ini. Kalau boleh ia ingin naik ke panggung tempat drum berada dan memukul semuanya sampai bising. ‘Udahlah namanya didaftarin orang. Udahlah orang tuanya maksa tetep ikutan, sekarang milih lagu pun dipaksa oleh gurunya? Apa nggak sekalian aja, paksa jurinya milih aku? Atau suruh aja aku sekalian terjun ke jurang!’ Teriak Quin dalam hati.
Tapi yang Pak Adam dan Dima lihat hanyalah Quin yang terdiam dengan mata melotot dan hidung kembang kempis.
“Bapak cuma usul saja, kalau kamu tidak bersedia, tidak apa-apa. Tapi kalau bisa kita coba dulu saja,” kata Pak Adam yang sepertinya bisa merasakan aura merah dari api kekesalan yang menyala di kepala Quin.
Dima tampak salah tingkah. Ia melirik Quin dan Pak Adam secara bergantian. Ia ingin menenangkan suasana, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
“Ya sudah, kita coba lagu tahun 90an,” jawab Quin dengan nada seperti orang sedang menahan kentut.
“Kita coba Ocean Eyes dulu, juga boleh,” jawab Pak Adam berusaha mengembalikan moodnya Quin.
“Nggak usah. Kita nyanyi lagu lama dulu aja. Mau lagu apa, Pak?” Tanya Quin dengan nada datar. Matanya tertuju pada Dima.
Keringat dingin mengalir di pelipis Dima. Entah kenapa, Dima jadi merasa yang disalahkan.
“Dima bisa lagu apa?” Tanya Pak Adam.
“Eh, terserah aja. Terserah Quin aja,” jawab Dima gugup.
“Mau lagu apa?” Tanya Quin pada Dima dengan nada tegas dan mata melotot, seperti mengancam, kalau tidak pilih sekarang maka Quin akan menonjok Dima.
“Oke. Lagu, lagu…” Dima melihat ke langit-langit mencoba mencari lagu yang aman.
“Lagunya Chrisye?”
“Oke,” jawab Quin.
“Bagus. Bagus itu. Yang mana?” Tanya Pak Adam.
“Bebas,” jawab Dima tapi lalu meralatnya setelah melihat Quin seperti hendak melenguh kesal, “Eh, gimana kalau Anak Sekolah aja?”
Quin tahu dan suka lagu-lagunya Chrisye, tapi ia tidak suka lagu itu. “Oke,” kata Quin tidak mau mendebat dan ingin agar hari itu cepat berlalu. Ia buka hapenya untuk mencari lirik lagu Anak Sekolah dari Chrisye.
Dima mulai memainkan gitarnya. Beberapa kali, Quin mencoba mencari nada yang tepat untuk mulai bernyanyi tapi tidak bisa. Entah karena salah nada. Entah salah ketukan. Tapi Quin tidak bisa bernyanyi lebih jauh dari bait pertamanya.
“Oke. Gini, coba Dima dulu contohkan?” Pinta Pak Adam.
Dima memainkan gitarnya dan bernyanyi.
Bukan aku tak tertarik
Akan kata rayuanmu
Saat matamu melirik
Aku jadi suka padamu…
Alunan gitar dan suara Dima terdengar bergema di ruang kesenian itu. Suara yang entah kenapa bisa membuat Quin jadi lebih tenang. Setelah itu, Pak Adam meminta Quin berduet dengan Dima. Kemudian Quin berhasil bernyanyi sendiri. Tapi kemudian mereka mencoba lagu-lagu lainnya. Tanpa terasa tiga jam berlalu. Ternyata ada beberapa anak kelas 10 yang menonton mereka dari balik jendela.
Lagu terakhir yang dinyanyikan Quin adalah Cinta Terakhir dari Ari Lasso. Dima memetik gitar membuat nada penutup dengan dentingan lembut.
Terdengar tepuk tangan anak-anak kelas 10. Dima dan Quin menoleh ke arah jendela. Mereka semua langsung ngacir pergi.
queen Bima
mantep sih