Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Uwais perlahan membuka matanya. Pandangannya kabur, menyesuaikan diri dengan cahaya remang-remang di ruangan itu.
Ia merasakan sakit luar biasa di kepala dan terutama di kaki kanannya, yang terasa berat dan kaku.
Ia menyadari dirinya tidak berada di rumah. Ia berada di sebuah ruangan serba putih, dengan mesin-mesin yang berbunyi teratur di sampingnya.
Punggung tangannya ditusuk selang infus, dan ia mengenali bau antiseptik khas rumah sakit.
Uwais berusaha bergerak, tetapi rasa sakit yang menusuk membuatnya mengerang.
Di sisi ranjangnya, duduk seorang wanita dengan seragam rumah sakit berwarna mint yang tadi pagi ia lihat sekilas di lokasi kecelakaan. Wanita itu sedang mencatat sesuatu di papan klip.
Uwais melihat wanita yang menolongnya itu.
Aina, perawat yang merawatnya di shift pagi itu, segera menyadari pergerakan Uwais.
"Tuan Uwais? Anda sudah sadar?" tanya Aina dengan suara tenang, segera mendekat dan memeriksa monitor di samping Uwais.
Uwais menatapnya bingung. "S-siapa kamu?"
"Saya Aina, perawat yang bertugas. Anda mengalami kecelakaan, Tuan. Anda baru saja selesai operasi," jelas Aina.
Uwais mencoba mengingat, tetapi yang muncul hanya fragmen: amarah, kecepatan mobil, dan benturan keras. Ia menyentuh kepalanya yang terasa diperban.
"Di mana orang tuaku?" tanya Uwais, suaranya lemah.
"Mereka sudah menjenguk Anda pagi tadi. Mereka sedang beristirahat. Anda aman di sini, Tuan Uwais," jawab Aina, memberinya senyum profesional.
Aina menekan tombol panggil dan mengatur posisi ranjang Uwais agar lebih tegak, memudahkan komunikasi dan pernapasan.
"Selamat, Tuan Uwais. Anda sudah melewati masa kritis," ujar Aina sambil memegang pergelangan tangan Uwais.
Aina memeriksanya keadaan Uwais, memeriksa denyut nadinya dan mengukur suhu tubuhnya.
Setelah beberapa saat, Aina tersenyum lega.
"Tekanan darah dan semua tanda vital semuanya bagus. Anda sudah bisa makan makanan lunak. Saya akan mengambilkan sarapan Anda."
Uwais, meskipun masih terasa lemah, mengerti bahwa ia harus bekerja sama.
Uwais menganggukkan kepalanya pelan, merasakan kakunya otot di leher dan bahunya.
Ia merasakan frustrasi karena tidak bisa bergerak bebas.
Tak lama kemudian, Aina kembali dengan nampan berisi bubur, sup, dan air putih.
"Kaki Anda yang patah harus tetap imobilisasi, jadi saya akan membantu Anda," kata Aina.
Aina membantu menyuapi Uwais. Dengan sabar dan tanpa canggung, ia mengambil sesendok bubur, meniupnya sebentar, dan menyodorkannya ke mulut Uwais.
Uwais yang biasanya sombong dan independen, merasa canggung dan malu.
Ia adalah seorang pria yang dulunya memiliki segalanya, termasuk mantan istri yang rela melakukan apa saja untuknya, dan kini ia bergantung pada kebaikan hati seorang perawat.
Ia menatap Aina yang tampak tenang dan profesional.
"Terima kasih," bisik Uwais, merasa asing dengan kata-kata sederhana itu.
"Sama-sama, Tuan. Fokus pada pemulihan Anda. Anda butuh energi untuk melawan infeksi dan memulai proses penyembuhan," jawab Aina, sama sekali tidak terpengaruh oleh kekayaan atau status Uwais yang kini tak berdaya.
Saat Aina menyuapinya sesendok sup, mata Uwais melihat sekeliling.
Ia melihat ada buket bunga besar di sudut ruangan dan beberapa buah-buahan.
Ia bertanya-tanya, siapa yang menjenguknya selain orang tuanya, dan bagaimana semua biaya rumah sakit ini bisa diurus begitu cepat.
Tepat setelah Aina selesai menyuapi Uwais dan membantunya minum, pintu ruang perawatan intensif terbuka perlahan.
Orang tua Uwais masuk dan melihat putra mereka selamat terbaring di ranjang, sudah sadar, meskipun penuh selang dan perban.
"Uwais!" seru Bu Siska, langsung menghampiri ranjang dan memeluk putranya dengan hati-hati. Air mata kelegaan membasahi wajahnya.
"Nak, terima kasih Tuhan, kamu selamat," ucap Pak Rio, mencengkeram tangan Uwais.
Aina segera pamit keluar, membiarkan keluarga itu memiliki waktu pribadi.
"Ayah, Ibu maaf," lirih Uwais, suaranya masih parau. Ia merasa sangat bersalah melihat betapa khawatirnya kedua orang tuanya.
"Tidak apa-apa, Nak. Yang penting kamu selamat," kata Bu Siska sambil mengusap kepala Uwais.
"Kami sangat panik. Untung ada Stela, Nak," sambung Pak Rio, duduk di kursi samping ranjang. "Dia yang kami hubungi. Dia dan suaminya, Mehmet, langsung datang ke sini tadi pagi."
Wajah Uwais menegang saat mendengar nama Stela dan Mehmet. Emosi dari pertarungan terakhirnya di kafe kembali muncul, bercampur dengan rasa malu.
"Mereka... mereka di sini?" tanya Uwais, terkejut.
Pak Rio menghela napas. "Bukan hanya di sini, Uwais. Semua sudah diurus. Pak Rio mengatakan semua sudah dilunasi oleh Mehmet."
"Apa?" desis Uwais, tidak percaya.
"Ya, Nak. Semua biaya operasi, perawatan, bahkan jaminan kamar ini. Mehmet sudah membayar semuanya. Dia bilang, jangan sampai kami khawatir soal uang, fokus saja pada pemulihanmu," jelas Pak Rio, tatapannya menunjukkan kelegaan dan rasa terima kasih yang mendalam pada Mehmet.
"Stela yang memastikan kamu mendapatkan dokter bedah terbaik. Dia meminta Mehmet untuk membantu kami. Kami sangat berutang budi pada mereka, Nak."
Uwais tidak menyangka jika Mehmet yang melakukannya.
Pria yang baru saja ia rencanakan untuk dihancurkan, yang baru saja ia hina dan ancam, pria yang ia coba pisahkan dari Stela, kini adalah orang yang menyelamatkan nyawanya dari masalah administrasi dan finansial rumah sakit.
Rasa malu bercampur dengan kejutan. Uwais yang sombong dan penuh dendam mendadak merasa tak berdaya dan sangat kecil.
Bantuan dari Mehmet ini adalah pukulan telak yang lebih menyakitkan daripada tinju yang ia terima di kantor.
Uwais menatap bubur yang ada di nampannya, kehilangan selera makan.
Ia mengambil ponselnya yang retak, yang ditaruh orang tuanya di nakas.
"Aku harus bicara dengan Mehmet," ujar Uwais, nadanya dipenuhi rasa malu dan keterkejutan.
Uwais mengambil ponselnya dan menghubungi Mehmet. Ia menekan nomor Mehmet, tangannya sedikit gemetar.
Di kantor, Mehmet sedang duduk di kursinya, membaca laporan sambil menyeruput kopinya. Ponselnya berdering dan ia melihat Uwais yang sedang menghubunginya.
Mehmet mengangkat telepon itu, senyum tipis tersungging di bibirnya.
Ia sudah menduga Uwais akan menelepon setelah mendengar kabar dari orang tuanya.
"Halo, Uwais," sapa Mehmet santai, suaranya tenang dan profesional.
"Mehmet, ini aku," suara Uwais terdengar lemah dan serak.
"Aku tidak menyangka kamu yang mengurus semuanya. Terima kasih."
"Tidak masalah," jawab Mehmet. Ia memutar kursinya, menatap ke luar jendela.
"Jangan salah paham. Ini semua berkat Stela. Dia yang memintaku, karena dia peduli pada orang tuamu. Dia tidak ingin Bu Siska dan Pak Rio panik dengan urusan rumah sakit. Aku melakukannya untuknya, bukan untukmu."
Mehmet mengambil jeda sebentar, membiarkan kata-katanya meresap.
"Soal biaya, tidak usah kamu kembalikan. Anggap saja ini sebagai biaya asuransi agar kamu tidak lagi mengganggu istriku, Stela. Fokuslah pada kakimu. Semoga kamu lekas sembuh."
Mehmet tidak menunggu jawaban Uwais lebih lama lagi.
Ia langsung mematikan panggilan itu. Ia tidak ingin menghabiskan waktunya lagi untuk pria yang sudah berada di masa lalunya dan masa lalu Stela.
Di rumah sakit, Uwais menatap layar ponsel yang sudah gelap.
Kata-kata Mehmet menghantamnya lebih keras daripada benturan mobilnya.
Ia menyadari, kebaikan yang ia terima ini adalah pengingat betapa jauhnya ia telah jatuh, dan betapa besarnya hati Stela, yang kini memilih pria yang jauh lebih baik darinya.